Arah
Tranformasi dan "Digital Crisis" 2018
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
28 Desember
2017
Mendiang Presiden Kennedy
pernah mengatakan, hati-hati menggunakan kata Crisis. Dan kata itu kembali
menguat di akhir tahun ini, tatkala lembaga riset Forrester mengeluarkan
outlook bisnis tahun 2018. Salah satu poin pentingnya, akan terjadinya
digital crisis di tahun 2018.
Ini menjadi penting untuk
anda yang tengah merumuskan visi 2018, sebab ekonomi digital benar-benar
telah merasuki hampir seluruh kehidupan manusia.
Dan bagi Forrester,
digitalisasi bukanlah sebuah elective surgery, melainkan mandatory. Sementara
60 persen CEO merasa mereka sangat tertinggal.
Di tanah air, bahkan lebih
dari 80 persen CEO dan pengusaha lama merasa masih menjadi pemula (beginners)
yang gaptek. Dan celakanya itu dialami perusahaan-perusahaan yang menjadi
bintang bagi generasi X dan di atasnya.
Merek-merek besar yang
selalu unggul dan menguasai pasar dengan jaringan distribusi yang selama ini
solid, tetapi serba manual dan eye-contact.
Namun kalau kita mau
kembali ke peringatan Kennedy, maka kata crises tidak boleh dibaca linear
sebagai “keadaan yang berbahaya”, melainkan “ada kesempatan dalam bahaya.”
Kemana
hilangnya kapal-kapal layar?
Supaya jelas kemana arah
transformasi yang perlu dipersiapkan para pelaku usaha di tahun 2018, saya
ajak anda membuka sedikit catatan sejarah ke belakang. Ya, ini soal
kapal-kapal layar yang lenyap di era revolusi industri.
Anda mungkin masih ingat
gambar di buku-buku sejarah yang mengesankan perdagangan global dengan
kemunculan ribuan kapal layar pengangkut segala barang, termasuk rempah-rempah.
Kapal layar pernah berjaya
merajut kesatuan nusantara dan penghubung perdagangan dunia. Entah itu kapal
Pinisi, atau kapal VOC.
Kapal-kapal layar itu
hilang sejalan dengan munculnya mesin uap. Bagi kaum muda saat itu, mesin uap
adalah opportunity untuk mengganti pemain-pemain lama yang enggan berubah.
Namun bagi pengusaha lama, mesin uap adalah bahaya. Maka yang terjadi, mereka
memang mengambil jalan transformasi, tetapi separoh hati.
Ya, alih-alih melakukan
transformasi yang penuh, para pemilik kapal hanya tergoda membeli mesin dan
memasangnya di lambung kapal. Di atasnya tetap layar yang ditiup angin, namun
di bawahnya ada mesin yang bisa memicu kecepatan.
Sementara kapal-kapal baru
bermunculan yang didesain tanpa layar sama sekali. Ukuran kapal pun berubah.
Jumlah muatan yang diangkat terus diperbesar. Dan dermaga-dermaga baru di
manca negara terus dibangun menyesuaikan diri dengan bentuk kapal-kapal baru.
Kedalaman laut di tepian
dermaga juga diperdalam karena bobot kapal lebih besar. Sementara di sini,
dermaga-dermaga kita hingga tahun 2000 masih sama dengan keadaan 30-40 tahun
sebelumnya.
Pemilik kapal-kapal mesin
baru itu adalah pengusaha-pengusaha baru. Sementara mesin-mesin kapal dibeli
oleh para pemilik kapal layar yang masih menggunakan angin sebagai kekuatan
dengan dimensi kapal yang tak berubah.
Begitu terusan Suez dan
terusan Panama dibuka, kapal-kapal layar perlahan-lahan mulai berguguran.
Para pemiliknya bergumam, “Kami mati karena daya beli menurun, orang tak lagi
melakukan perdagangan karena resesi ekonomi.”
Padahal pemilik barang
memilih berdagang dengan kapal-kapal baru yang jauh lebih cepat, dan biayanya
jauh lebih murah.
Kapal uap mulai dikenal
pada tahun 1813. Menurut catatan Gale & Aarons (2017), kapal-kapal layar
itu mulai kehilangan pasar pada tahun 1849 setelah dibangun terusan Panama
yang membutuhkan kapal yang dimensinya lebih besar. Kecepatannya lebih tinggi
dan daya angkut yang lebih, menyambut dunia yang lebih terbuka.
Transformasi
separoh hati
Kisah tentang kapal-kapal
layar yang dipasangi mesin-mesin uap itu kini tengah kita hadapi dalam
perekonomian Indonesia. Khususnya ketika kita tengah memasuki perdagangan
digital yang sangat disruptif.
Perusahaan-perusahaan
berlomba membeli teknologi dan menguasainya, tetapi bentuk kapalnya tetap
sama. Demikian pula leadership, business capabilities, customer engagement,
mindset pegawai dan corporate culture-nya. Semua masih hidup di atas “kapal
layar,” yang kini diberi “mesin uap” (teknologi).
Perusahaan-perusahaan
demikian seperti tengah berkelahi melawan fakta-fakta baru bahwa bisnis
mereka tengah berada dalam ancaman kematian. Semakin dekat kita memasuki
perdagangan digital, maka semakin besar desakan kematian itu.
Tengok saja saat manusia mulai
mengeksplorasi dunia digital 50 tahun lalu, rata-rata perusahaan terkemuka di
dunia bisa bertahan lebih dari 50 tahun dalam daftar Fortune 500. Tetapi
kini, di tahun 2018 diperkirakan mereka hanya bisa ada dalam daftar itu
sekitar 15 tahun saja.
Raksasa-raksasa yang
branded dan innovative itu begitu cepat digantikan pemain-pemain baru yang
rata-rata CEOnya jauh lebih muda dan perusahan-perusahaannya sama sekali
tidak dikenal di masa lalu.
Mau berlindung pada
pemerintah lewat aturan-aturan lama ternyata juga tak bisa karena netizen
berkata lain lewat customer enggagement yang lebih intim.
Mengapa raksasa-raksasa
itu berguguran? Jawabannya adalah transformasi yang mereka lakukan
benar-benar separuh hati, mereka membeli teknologi sekedar ikut-ikutan. Orang-orang
lama tidak dilatih ulang, cara berpikirnya tidak diperbaiki, supply-chain
management-nya tetap sama, sehingga cost structure-nya tidak berubah.
Sepenuh
hati
Maka di tahun 2018,
menurut catatan saya, akan bertambah banyak perusahaan-perusahaan besar lama,
lintas kategori, yang akan semakin tegang memandang perubahan ini dan
menyalahkan keadaan.
Apakah itu sektor
keuangan, industri pengolahan, perdagangan dan retail, media, transportasi,
farmasi, hospital, otomotif, dan masih banyak lagi yang akan memasuki
masa-masa yang sulit.
Saya tentu tak bermaksud
menakut-nakuti, melainkan menuntut perhatian agar eksekutif lebih berani
mengambil langkah-langkah yang lebih mendasar.
Ibarat kapal layar yang
telah memberi kesempatan ekonomi yang besar di masa lalu, maka kehadiran
mesin uap di awal abad 18 perlu disambut dengan kapal yang benar-benar baru,
baik bentuk, dimensi, dan cara-cara kerja baru.
Demikian pula kehadiran
teknologi digital di abad 21, tak dapat dihadapi semata-mata dengan menambah
kapabilitas teknis.
Harap diingat, 75 persen
software-software baru yang powerful yang dibeli perusahaan dalam lima tahun
belakangan ini pun kurang berhasil mengantarkan kemajuan perusahaan.
Masalahnya, perusahaan
hanya mengandalkan orang-orang IT saja untuk menginstalasi software,
sementara cara berpikir dan leadership capabilities manajemen tidak berubah.
Hanya dengan transformasi
“sepenuh hati” perusahaan-perusahaan Indonesia bisa berlayar lebih cepat.
Untuk itu, cara para
pemimpin dan pengamat ekonomi dalam mengkontekstualisasi dunia ini, pun harus
berubah. Sebab mereka juga mengantarkan cara berpikir para CEO dan pemimpin.
Selamat berselancar dalam
gelombang besar perubahan yang penuh kesempatan, bagi mereka yang sepenuh
hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar