Negeri
Ramah terhadap Koruptor
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Jajak pendapat harian
Kompas (7-9 Juni 2017) mengungkap bahwa masalah terbesar bangsa Indonesia
ialah korupsi (42,8 persen), penegakan hukum (17,7 persen), kemiskinan (12,9
persen), dan masalah SARA (10 persen). Yang membuat Indonesia mundur ialah
korupsi makin meningkat (26,9 persen), ekonomi memburuk (22,7 persen), hukum
tebang pilih (12,6 persen), sumber daya alam dikuasai luar negeri (8,4
persen), dan konflik SARA meningkat (8,4 persen).
Sebaliknya jajak pendapat
Transparency Indonesia terhadap pengusaha mengungkap bahwa 60 persen
responden menganggap korupsi bukanlah masalah penting.
Pendapat masyarakat bahwa
korupsi adalah masalah terbesar bangsa Indonesia dan bahwa yang membuat
Indonesia mundur ialah korupsi yang semakin meningkat ternyata tidak membuat
pejabat jera melakukan korupsi. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap ratusan pejabat negara, baik
di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kasus KTP elektronik yang
merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun dan melibatkan banyak pejabat negara
yang masih menjabat membuat masyarakat bertanya-tanya, kok semudah itu para
pejabat eksekutif dan legislatif mengeruk uang negara dalam jumlah yang amat
besar.
Selama ini disebutkan
bahwa koruptor adalah orang yang diduga korupsi dan tertangkap atau
dibuktikan telah melakukan tindak pidana korupsi. Yang melakukan korupsi, tetapi tidak tertangkap
atau tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi bukan koruptor. Wajar
kalau banyak yang menduga bahwa yang tertangkap adalah puncak dari gunung es
pelaku tindak korupsi yang tidak tertangkap. Yang tidak tertangkap jauh lebih
banyak daripada yang tertangkap.
Mengapa para pejabat
negara tidak jera melakukan korupsi? Menurut saya, para pejabat yang
melakukan korupsi (dan juga pengusaha yang terlibat) sudah tidak merasa malu,
tidak merasa bersalah, dan tidak merasa takut kepada Tuhan. Tidak ada
tersangka yang ditangkap KPK yang terlihat merasa malu saat muncul di depan
jurnalis televisi.
Setya Novanto tidak merasa
malu dan merasa bersalah melakukan tindakan menghindar dari panggilan KPK
sehingga mengalami kecelakaan. Yang mereka takuti hanya dimiskinkan. Kalau
hanya dihukum ringan dan tidak dimiskinkan, setelah bebas mereka masih bisa
menikmati harta haram mereka.
Penyebab lain ialah karena
bangsa Indonesia ramah terhadap koruptor. Tidak ada sanksi sosial terhadap
para koruptor atau mereka yang layak diduga korupsi atau pejabat yang sudah
disebutkan mempunyai rekening gendut.
Mereka masih dihormati masyarakat. Kita juga tidak berhasil menyelesaikan
banyak kasus dugaan korupsi sejumlah pemimpin tertinggi di negeri kita pada
masa lalu.
Pengalaman
negara lain
Di Korea Selatan, Presiden
Syngman Rhee didesak untuk mundur dari melarikan diri ke Hawaii pada 1960.
Chun Doo- hwan yang memimpin tahun 1979-1988 dijatuhi hukuman mati. Penggantinya,
Roh Tae-woo, dijatuhi hukuman lebih dari 20 tahun karena korupsi dan
pengkhianatan. Kedua pemimpin itu diampuni pada 1997. Kim Yong- sam yang
memerintah pada 1993-1998 dituduh membawa Korea Selatan ke dalam krisis
keuangan Asia, tapi juga menyaksikan putranya dipenjara karena
memperdagangkan kekuasaan.
Kim Dae-jung yang
memerintah pada 1998-2003 menerima Hadiah Nobel pada 2000 karena pendekatan
lunak terhadap Korea Utara, tetapi putranya merusak reputasi itu karena
menerima suap dari kalangan pengusaha. Roh Moo-hyun yang memerintah pada
2003-2008 bunuh diri pada 2009 di tengah dugaan anggota keluarganya menerima
suap dan kakaknya dijatuhi hukuman pada tahun yang sama.
Lee Myung-bak yang
memerintah pada 2008-2013 dipermalukan oleh anak tunggal dan dua saudara
lelakinya yang korupsi dana untuk kaum miskin.
Tahun ini Presiden Park
Geun-hye, putri Presiden Park Chung-hee, dimakzulkan dan menghadapi hukuman
seumur hidup. Dia mengulangi tragedi ayahnya pada 1979 yang ditembak mati
oleh kepala intelijennya sendiri dalam sebuah pesta karena Park Chung-hee
dianggap sebagai diktator.
Pada awal November 2017,
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman menangkap sejumlah
besar pangeran dalam keluarga besar Ibnu Saud. Pangeran Abdel Aziz bin Abdullah,
salah satu putra mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, dilaporkan
meminta suaka ke Perancis. Kakak kandungnya, yaitu Pangeran Miteb bin
Abdullah, yang menjabat sebagai komandan pasukan elite Garda Nasional, ikut
ditangkap pada awal November karena tuduhan korupsi. Selanjutnya diberitakan
bahwa Pangeran Miteb dilepaskan setelah bersedia mengembalikan sekitar 1
miliar dolar AS ke kas negara.
Kejaksaan Agung Arab Saudi
menyatakan telah membekukan rekening bank milik 367 orang. Pemerintah juga
melarang pesawat pribadi ke luar negeri. Kebanyakan dari 320 pangeran,
menteri, dan mantan menteri yang ditangkap memilih kompromi dan bersedia
mengembalikan harta dan aset mereka kepada pemerintah. Diperkirakan
Pemerintah Arab Saudi akan memperoleh dana 50 miliar dollar AS hingga 100
miliar dollar AS dari pengembalian harta itu.
Masih
adakah harapan?
Jajak pendapat lain dari
harian Kompas (10-13 Oktober 2017) mengungkap bahwa 50,7 persen responden menganggap bahwa perilaku
plagiat, korupsi, dan suap di dalam masyarakat amat parah dan 43,1 persen
menganggap hal itu parah. Terhadap pernyataan bahwa kasus korupsi dan plagiat
sering terjadi karena tak adanya sanksi yang berat dan membuat jera, 88
persen responden setuju.
Pertanyaan lain ialah
”apakah tindakan menyuap dan korupsi dipicu kebiasaan berbohong di
masyarakat?” Yang setuju 74,9 persen dan yang tak setuju 23,9 persen.
Pertanyaan lain ialah tentang tingkat kebohongan di beberapa kalangan. Di
kalangan aparat penyelenggara negara: yang selalu dan yang sering jujur
sebanyak 10,5 persen, yang selalu dan sering bohong sebanyak 38,9 persen,
yang kadang jujur sebanyak 45,5 persen.
Di kalangan penegak hukum:
yang selalu dan yang sering jujur sebanyak 7,5 persen, yang selalu dan yang
sering bohong mencapai 43,7 persen, yang kadang jujur 45,3 persen. Di
kalangan agamawan: yang selalu dan sering jujur sebanyak 45,7 persen, yang
selalu dan sering bohong 9,3 persen, yang kadang jujur sebanyak 38,7 persen.
KPK dibentuk karena
dianggap bahwa kepolisian dan kejaksaan tidak cukup mampu untuk memerangi
korupsi. Anggapan itu tampaknya sesuai dengan hasil jajak pendapat di atas
yang mengungkap bahwa di kalangan aparat penegak hukum, yang sering dan
selalu jujur hanya mencapai 7,5 persen. Kini ada gagasan untuk membentuk
Densus Tipikor.
Apakah dalam waktu belasan
tahun terakhir telah terjadi perbaikan yang amat berarti dalam lingkungan
aparat penegak hukum sehingga kita yakin kepolisian dapat menjalankan tugas di dalam Densus
Tipikor dengan baik? Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian tidak
terlalu tinggi. Apakah Densus Tipikor dapat bersikap independen dan
profesional kalau harus menangani korupsi di dalam kalangan kepolisian?
Dalam jajak pendapat
tentang kejujuran di atas, di kalangan pelajar/mahasiswa yang selalu dan
sering jujur mencapai 9,8 persen, yang selalu dan sering bohong sebanyak 36,6
persen, yang kadang jujur sebanyak 50,5 persen. Kita juga harus berusaha
menaikkan tingkat kejujuran pelajar/ mahasiswa jauh lebih rendah dibandingkan
dengan yang selalu dan sering bohong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar