Keluar
Waktu Kultural
Acep Iwan Saidi ; Pembelajar Semiotika; Dosen di ITB
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Tiba lagi kita di
pergantian tahun. Jika kita selalu sebut tahun yang akan dimasuki sebagai
tahun baru, itu berarti bahwa tahun yang ditinggalkan sebagai tahun lama.
Akan tetapi, tidak ada dalam pengetahuan masyarakat tentang tahun lama,
setidaknya ia tidak pernah disebut.
Meminjam Jung (1990), hal
ini bisa jadi merupakan ketidaksadaran kolektif tentang sebuah keyakinan
bahwa masa depan adalah harapan, sedangkan masa lalu kesuraman. Harapan harus
ditumbuhkan, kesuraman harus ditimbun. Inilah konotasi waktu yang terus
berulang. Inilah mitos waktu (Barthes, 1976).
Dalam mitos waktu
demikian, imaji penutur kiranya mengidentifikasi bahwa waktu melintas di atas
interval linearitas. Ia membentang dari belakang ke depan. Bersama waktu,
masa depan disongsong. Di situ, hidup manusia dilihat sebagai urutan
peristiwa dalam narasi (Genette, 1989). Catatan seluruh urutan peristiwa itu
lantas membentuk pengetahuan yang disebut sejarah.
Perspektif penghadiran
”entitas waktu” pada linearitas sejarah tersebut dalam berbagai hal sering
menyebabkan keengganan melihat ke belakang. Masa depanlah yang cenderung
didengungkan. Itu sebabnya, sekali lagi, perayaan tahun baru lebih disukai
ketimbang mengevaluasi masa lalu (tahun lama). Paling banter, tahun lama
hanya dilihat sebagai sebuah kaleidoskop.
Membayangkan
kemajuan
Itulah cara manusia modern
menyikapi waktu. Modernisme, yang menjadi basis filosofi paradigma modern,
mengajarkan bahwa masa lalu itu tidak perlu. Modernisme itu antisejarah,
antitradisi (Barret, 1997). Pada percaturan global, perbincangan mengenai hal
ini memang sudah kedaluwarsa. Pun demikian di sini, bagi segelintir pemikir,
tema di atas juga sudah lusuh. Para seniman kontemporer telah lama hengkang
dari perspektif demikian.
Akan tetapi, dalam
kehidupan keseharian berbangsa, modernisme telah menjadi paham ”melaten”,
menjadi semacam iman yang menubuh (embodiment). Ini karena lembaga pendidikan
kita mengajarkannya hingga kini, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Kurikulum pendidikan
sekolah dasar hingga perguruan tinggi boleh berganti, tetapi modernisme
sebagai basis filosofisnya bergeming. Kita masih membayangkan kemajuan
sebagaimana dulu dibayangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kita harus
mengejar kemajuan di depan, yang telah dicapai bangsa lain.
Itu sebabnya, visi
universitas adalah menjadi kelas
dunia. Sementara program studi yang fokus kepada kebudayaan sendiri tetap
menjadi periferi. Di sekolah menengah, pengetahuan dan kekayaan tradisi masih
tetap saja ditempatkan sebagai muatan lokal. Terdapat semacam ketakutan
bersama, jika tidak menjadi maju seperti bangsa yang diandaikan maju itu,
kita akan tergilas.
Oleh sebab itu, ukuran
pencapaian pembangunan dalam berbagai bidang adalah nomor urut pada daftar
hadir dunia, bukan kemandirian diri yang kokoh sebagai bangsa berkarakter.
Presiden Jokowi mungkin menyadari hal ini sebagai kekeliruan sehingga ia
selalu menggemborkan pendidikan karakter untuk merevolusi mental. Tapi,
bagaimana mentalitas dan karakter bisa dibangun jika kultur dilupakan.
Identitas
yang dibayangkan
Ambisi menjadi maju dalam
pengertian tersebut akhirnya menyeret kita keluar dari apa yang ingin saya
sebut ”waktu kultural” yang terbingkai dalam jam kebudayaan. Kita keluar dari
situ seraya membayangkan sebuah tempat yang bisa diraih sebagai alamat baru,
identitas yang dibangun dari sebuah dinamika tidak berkesudahan: bangsa maju
dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi. Imajinasi ini tidak hanya milik
pemerintah, tetapi juga telah merupakan ”kosakata” populer masyarakat.
Tentu kepemilikan pada
daya fleksibilitas yang tinggi tersebut penting, tetapi satu hal telah
dilupakan, yakni fleksibilitas itu bukan kekuatan tanpa modal dasar. Dengan
kata lain, ia tidak dimulai dari ruang kosong. Beranalogi kepada Deleuze dan
Guattari (1989), dalam superioritas wacana sosial (baca: global) yang
mendominasi, sejatinya kita tetap memiliki ”tubuh tanpa organ yang
anti-oedipus” yang bersumber dari diri sebagai subyek yang terus
menginterupsi.
Deleuze mengidentifikasi
”hasrat skizoprenik” dalam tubuh tanpa organ sebagai kebebasan dan keliaran
diri. Saya ingin menyebutnya sebagai kebebasan (ekspresi) kultural yang telah
meng-alamiah (natural), yang secara genetis diwariskan dari generasi ke
generasi. Ia tidak boleh punah apalagi dibuat menjadi punah. Alih-alih
demikian, ia harus terus-menerus dibangkitkan menjadi semacam atavisme
(penghidupan roh lama pada kebaruan).
Jika kita memaklumi bahwa
kebudayaan yang ideal hari ini adalah sebuah instabilitas tak berkesudahan,
ekspresi kultural sebagai atavisme itulah yang harus terus-menerus
menjadikannya berada dalam ketidakstabilan tadi. Dengan kata lain, dalam
tataran global, kebudayaan kita harus terus-menerus menjadi ”pengganggu”,
bukan sebaliknya. Pada titik ideal dalam politik identitas, fleksibilitas
adalah daya untuk mewarnai, bukan diwarnai; kekuatan memanggil, bukan
dipanggil.
Keberagaman
antropologis
Dengan cara itu, hemat
saya, kita bisa menikmati pergantian tahun dalam konteks waktu kultural tadi.
Harus dipahami bahwa waktu kultural kita tidaklah bergerak di atas interval
yang linear, tetapi pada garis yang melingkar. Saya tidak sedang mengatakan
bahwa sejarah selalu berulang. Hal yang ingin disampaikan adalah situasi
bahwa sebenarnya kita tidak sedang hidup pada abad ke-21, tetapi dalam 21
abad sekaligus.
Di negeri ini, tradisi dan
modernitas hidup berdampingan. Fetisisme antropologis dan fetisisme komoditas
campur baur. Tuhan klenik dan Tuhan cyborg saling berkelindan. Indonesia
adalah negeri keberagaman pada arti yang sebenarnya.
Fakta keberagaman
sedemikian sejatinya bukan permasalahan. Sejak awal sejarah, kita telah lahir
sebagai bangsa berumpun-rumpun. Keberagaman adalah soal hubungan dalam
keberumpunan, relasi dalam kolektivitas. Relasi ini diniscayakan muncul oleh
keikhlasan, oleh kebesaran hati untuk tidak membandingkan satu dengan yang
lain. Di situ, keberbedaan dilihat sebagai ciri khas kelompok.
Berdasar hal itu, berabad
lamanya keberbedaan telah diterima dengan mutlak. Tidak ada upaya saling
memaksa, bahkan sekadar memengaruhi agar yang satu mengikuti yang lain. Orang
Sunda tidak pernah meminta orang Batak menjadi Sunda, misalnya. Jika pun
terdapat kesalingpengaruhan, dasarnya adalah cinta.
Pernikahan kultur antara
Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu (keluarga Presiden Jokowi) tahun ini bisa
ditunjuk sebagai contoh. Penambahan gelar Siregar pada Kahiyang adalah peleburan
keberbedaan dalam kesadaran kultural. Inilah keberagaman antropologis.
Hubungan antaretnik sejak berabad lalu telah memberikan pelajaran ini.
Keberagaman
politis
Namun, kini kita acap
gagap melihat keberagaman. Ini karena, di luar waktu kultural, keberagaman
tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai kultural. Alih-alih demikian, tumpuan
keberagaman kini adalah kepentingan. Saya ingin menyebutnya sebagai
keberagaman politis. Dalam keberagaman politis, posisi diri di hadapan orang
lain menjadi fokus utama.
Kita menghargai
keberbedaan, tapi dalam relasi itu diri sendiri
(dapat dibaca: kelompok
dengan homogenitas kepentingan) harus lebih unggul. Relasi ini lantas
disahkan bersama dengan istilah ”kompetisi”.
Sejauh ini, keberagaman politis sedemikian memang tetap bisa
dipersatukan. Tapi, dasar kebersatuannya juga politis. Lihatlah, kita dapat
bersama dalam keberbedaan semata-mata diikat oleh fakta politis bahwa kita
hidup di sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkali-kali
ikatan itu hendak lepas,
bukan?
Kehendak diri untuk unggul
dalam keberagaman sedemikian lagi-lagi merupakan produk pendidikan modern.
Dapat diperiksa, sistem pendidikan modern kita cenderung mencetak individu unggul ketimbang membangun kultur
kebermanfaatan dalam kebersamaan. Benih-benih intoleransi bisa jadi juga
berasal dari sini. Tentu ini sebuah ironi. Jam pelajaran sekolah menjadi
momen bagi siswa untuk keluar dari waktu kebudayaan dirinya sendiri. Sudah
sedemikian jauh. Tapi, tentu kita masih bisa berharap. Selepas jam istirahat,
setelah tahun berganti, kiranya kita bisa kembali masuk ke dalam pusaran
waktu kultural kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar