Menghadapi
Tahun Ketidakpastian
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
|
KOMPAS,
23 Januari
2018
Bisa jadi benar, tahun ini akan diwarnai
berbagai ketidakpastian. Kebijakan pemerintah juga tampak gamang, bergerak
zig-zag seperti tengah mengakomodasi berbagai kepentingan. Mulai dari
keputusan impor beras, kompromi penggunaan alat tangkap cantrang, polemik penenggelaman
kapal, hingga perombakan kabinet terbatas. Belum lagi soal gejala
meningkatnya kebijakan populis pemerintah menjelang Pemilu 2019. Perlukah
cemas terhadap situasi ini?
Pertama, ketidakpastian terkait dinamika
politik tak hanya terjadi di dalam negeri. Bahkan, pada level global,
ketidakpastian jauh lebih serius. Edisi spesial akhir tahun majalah The
Economist berjudul ”The World in 2018” menegaskan, tahun ini akan ada banyak
kejadian mendebarkan terkait ketidakpastian politik. Presiden Amerika Serikat
Donald Trump yang semakin kontroversial, kompromi politik yang sulit dicapai
di Jerman, bangkitnya pemimpin ultrakanan di Eropa, hingga potensi krisis
nuklir Korea Utara bisa menimbulkan ketidakpastian.
Baru saja Pemerintah AS dinyatakan tutup
(government shutdown) akibat ketidaksepakatan pemerintah dan senat terkait
anggaran operasional. Intinya, ketidakpastian tak bisa dihindari, tetapi
harus dimitigasi. Dibandingkan dengan ketidakpastian global, tingkat
ketidakpastian di dalam negeri relatif rendah.
Kedua, dalam derajat tertentu, populisme
ekonomi menghadapi momentum politik justru positif, bahkan diperlukan. Paling
tidak, itu pendapat Dani Rodrik dari Universitas Harvard dalam artikel
pendeknya berjudul ”In Defense of Economic Populism”. Kebijakan ekonomi yang
populis justru diperlukan agar populisme politik tak berkembang. Kebangkitan
populisme politik belakangan ini mengkhawatirkan sehingga membutuhkan
kompromi tertentu dalam kebijakan ekonomi.
Menguatnya gejala politik inward looking
juga dibahas dalam laporan triwulanan Dana Moneter Internasional (IMF), World
Economic Outlook edisi Oktober 2016. Laporan ini mengingatkan, stagnasi
ekonomi yang masif akan membangkitkan kaum proteksionis. Tesis ini telah
terbukti dalam kasus AS dan banyak pemilu lain di dunia.
Dalam jangka menengah, proteksionisme
justru akan menghambat dinamika perekonomian global. Akibatnya, kalaupun
terjadi peningkatan kinerja perekonomian, sepanjang sikap proteksionis masih
berkembang, tak akan signifikan.
Menghadapi tahun ketidakpastian (global)
ini, perekonomian sebetulnya berjalan baik. Pertama, laporan triwulanan IMF
Oktober 2017 menaikkan proyeksi pertumbuhan global dari 3,5 persen menjadi
3,6 persen pada 2017 dan 3,6 persen menjadi 3,7 persen pada 2018. Kedua,
realisasi pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2017 diperkirakan mencapai 6,9
persen, lebih tinggi daripada perkiraan pemerintah 6,5 persen dan konsensus
pengamat 6,7 persen. Secara umum, kinerja perekonomian global sudah mulai
meningkat.
Membaiknya proyeksi pertumbuhan global
membawa angin segar bagi perekonomian kita. Ekspor diperkirakan mulai
meningkat, apalagi dengan kenaikan harga komoditas, investasi naik, dan
likuiditas global masih masuk. Di dalam negeri, permintaan domestik juga
mulai pulih, seiring membaiknya kinerja ekspor. Lalu, apa lagi yang
dikhawatirkan?
Tak berlebihan jika Presiden meminta para
pelaku usaha tak perlu cemas terhadap situasi politik karena semuanya
terkendali. Dunia usaha diminta tidak menahan investasi. Meskipun demikian,
pemerintah punya tugas yang tidak ringan guna meyakinkan dunia usaha,
khususnya terkait investasi asing. Paket kebijakan ekonomi harus
dikonsolidasikan kembali agar memberi manfaat nyata, bukan lagi jargon.
Paket kebijakan berorientasi mengubah
lanskap dunia usaha agar lebih mendukung para pelaku ekonomi. Namun,
implementasinya tidak mudah karena melibatkan banyak pihak. Tidak
terkoordinasinya berbagai kebijakan belakangan ini menjadi catatan tersendiri
yang, jika tak segera ditangani, bisa melebar pada tahun ini. Tarik-menarik
dalam rangka Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 berpotensi menaikkan miskoordinasi
dalam kebijakan.
Pemilihan kepala daerah tak sekadar
menimbulkan polarisasi kekuatan politik, tetapi juga punya implikasi ekonomi.
Peran pemerintah daerah sangat penting dalam eksekusi program pemerintah
mengingat sebagian besar budget ada di level pemerintah daerah.
Bank Dunia mencatat, pada tahun 2000,
pemerintah pusat masih mengendalikan sekitar 84 persen anggaran. Namun, pada
tahun 2015 tinggal menguasai 47 persen sehingga peran pemerintah daerah makin
penting. Sementara tata kelola, kapasitas, dan kinerja pemerintah daerah
beraneka ragam. Ketimpangannya besar.
Kasus gizi buruk dan wabah penyakit di
Kabupaten Asmat, Papua, menjadi salah satu cermin kendala di tingkat daerah.
Selain persoalan geografis dan isu logistik, persoalan tata kelola dan
kapasitas tak boleh dinafikan. Sepanjang 2018 ini akan ada 171 daerah yang
menggelar pesta demokrasi. Tak bisa disangkal, itu akan menurunkan kinerja
pemerintah dalam meningkatkan layanan. Secara ekonomi mungkin saja peredaran
uang akan meningkat dan mendorong pertumbuhan di daerah, tetapi layanan
menjadi isu besar.
Tantangan pemerintah pusat cukup berat.
Berbagai upaya perlu terus dilanjutkan. Pertama, momentum pergantian kabinet
yang nuansanya memperkuat konsolidasi politik harus dimanfaatkan. Apa pun
alasannya, konsolidasi politik diperlukan agar kebijakan ekonomi bisa
diimplementasikan dengan baik. Kedua, konsolidasi kebijakan harus terus
didorong sehingga kegaduhan bisa ditekan.
Ketiga, kebijakan ekonomi yang bersifat
populis dilakukan secara proporsional agar dinamika masyarakat lapis bawah
bisa terus bergerak. Jika mandek, justru berpotensi mengundang kebangkitan
pemimpin politik populis sektarian. Keempat, memastikan pemerintah daerah
tetap bekerja melakukan fungsinya sebagai pelayan publik meski tersita
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar