Membangun
Narasi Republik
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen
Politik FISIP
Universitas Airlangga;
Tenaga Ahli Deputi Pengkajian dan Materi UKP-PIP
|
KOMPAS,
11 Januari
2018
Pancasila hadir kembali
dalam praktik kehidupan bernegara bukan untuk disusun sebagai sebuah kumpulan
doktrin komprehensif kaku yang dijejalkan oleh aparat negara terhadap
rakyatnya.
Pancasila tampil kembali
untuk menjalankan fungsi restoratifnya, sebagai inspirasi untuk membangun
narasi tentang republik dan kebersamaan di tengah padatnya ruang publik yang
terjejali oleh narasi kebencian, berita fitnah (fakenews), dan kabar-kabar
burung yang perlahan memorakporandakan ikatan kita sebagai bangsa Indonesia.
Tahun 2017 yang telah
silam ditandai oleh sebuah fenomena traumatis dalam kehidupan kebangsaan
kita. Fenomena itu adalah menyebarnya narasi kebencian berbalut politik
identitas yang menyebar bagai virus, membelah satu pihak dengan pihak lainnya
berdasarkan kategorisasi kultural yang enggan untuk dikompromikan. Narasi
pribumi versus nonpribumi ataupun narasi berbasis antagonisme agama dan ras
menjadi racun bagi pertarungan politik semenjak Pilpres 2014 dan kian
mengeras setahun belakangan.
Hal yang mengherankan,
sentimen kebencian yang membelah ruang sosial ini mendapatkan pengikut lintas
kelas dan lintas jenjang pendidikan ketika ironisnya kabar-kabar tersebut
dirangkai oleh informasi palsu dan data yang sumir. Narasi tentang 15 juta
kader PKI yang siap bangkit, kabar tentang 10 juta imigran kerja dari China
yang akan menginvasi Indonesia, sampai dengan seruan kebencian terhadap yang
berbeda menghiasi tidak saja perbincangan di warung kopi pinggir jalan,
tetapi juga grup-grup interaksi dunia maya dari kalangan terdidik dan kelas
menengah di berbagai penjuru Indonesia.
Narasi
Pancasila
Narasi kebencian yang
tersirkulasi dalam perbincangan sosial lintas kelas dan lintas profesi ini
hadir di tengah absennya narasi alternatif yang dapat melampauinya, yakni
perbincangan yang berpijak pada narasi republik, narasi kebersamaan, yang
dalam konteks Indonesia adalah narasi yang dihidupi oleh nilai-nilai dasar
Pancasila. Sampai sejauh ini, respons terhadap merebaknya narasi kebencian di
sekitar kita masih bersifat reaktif, dengan sekadar menampilkan data yang
valid dan argumen ilmiah untuk menangkalnya.
Padahal, seperti
diutarakan intelektual progresif asal Inggris, George Monbiot (2017), dalam
karyanya, Out of the Wreckage, berkaca pada penyebaran politik radikal sayap
kanan di Eropa, sebuah narasi yang berpijak pada kebencian dan data yang
sumir tidak bisa diredam kecuali oleh tampilnya narasi baru yang lebih solid.
Dalam penjelasannya,
Monbiot menguraikan bahwa sebuah narasi berperan untuk menavigasi pikiran
kita dalam memahami dunia. Melalui pemahaman atas sebuah cerita, otak kanan
yang mengelola kemampuan emosional manusia memahami data dan argumen rasional
yang diserap oleh otak kiri kita.
Kecenderungan utama dari
mayoritas manusia saat mencoba memahami kompleksitas masalah tidak terutama
pada pencarian informasi dan data yang valid, tetapi kita lebih menangkap
cerita atau narasi yang meyakinkan dan koheren yang dapat menjelaskannya.
Terkait dengan konteks
merebaknya narasi kebencian di sekitar kita, persoalan utama dari cara kita
menghadapi persoalan itu bukan terletak pada kuat dan solidnya narasi
kebencian diciptakan. Persoalan yang muncul adalah kekuatan sosial yang
mencoba membangun kesadaran literasi cenderung melupakan usaha untuk
membangun sebuah narasi yang solid dan kuat untuk melampauinya. Padahal, kita
memiliki modal untuk membangun narasi kebersamaan yang luar biasa di dalam
Pancasila.
Teberkatilah para pendiri
Republik yang telah mewariskan kepada kita Pancasila yang berlandaskan atas
nilai-nilai perenial yang menjadi archetype dasar umat manusia. Seperti
diutarakan ahli neuroscience C Daniel Batson (2011) dalam karyanya, Altruism
in Humans, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang suka menolong.
Gotong royong adalah
kodrat utama kemanusiaan kita. Pada umur 14 bulan, seorang bayi mulai
menolong bayi lainnya, pada umur 2 tahun mereka belajar untuk berbagi sesuatu
yang ia sukai dan pada usia 3 tahun, seorang anak sudah mampu memprotes
terhadap pelanggaran moral oleh masyarakat. Selanjutnya, apabila mereka hidup
di dalam lingkungan yang sehat, nilai-nilai kasih dan gotong royong akan
melekat sebagai karakter internal dalam dirinya, demikian sebaliknya.
Di atas fondasi keadaban
publik yang sendi-sendinya dibangun oleh nilai-nilai di dalam sila-sila
Pancasila inilah kita membangun narasi baru, narasi republik yang bersumber
dalam sejarah revolusi Indonesia. Upaya untuk menoleh ke belakang dalam
rangka membangun narasi kebersamaan ini bukanlah merupakan langkah mundur yang romantik.
Di dalam penelusuran atas
kekayaan khazanah historis bangsa kita, untuk membangun narasi republik
inilah, kita menemukan inti dari pandangan Walter Benjamin dalam Theses on
the Philosophy of History yang ia tulis di tengah kepungan narasi kebencian
Fasisme Hitler pada awal 1940-an. Bagaimana sebuah aksi politik progresif
meminjam dan menunjukkan solidaritasnya dari role model sebelumnya untuk
meresapi sari pati nilai-nilai di dalamnya, menghormati capaian-capaian
politik mereka, dan mengaktualisasikan dalam tugas-tugas politik masa kini.
Sebuah lompatan ke depan yang harus dilakukan melalui prasyarat kemampuan
reflektif untuk membaca sejarah kita sendiri.
Dalam rujukan atas sejarah
revolusi Indonesia dan perumusan Pancasila sebagai rumusan kesepakatan bersama,
narasi-narasi baru kebersamaan dapat dibangun melalui pengedepanan
prinsip-prinsip hidup yang berpijak pada republikanisme ala Indonesia. Narasi
yang melampaui kerja reaktif dan mengkritik, tetapi berorientasi—meminjam
istilah Bung Karno—Pancasila sebagai meja statis (landasan pemersatu) dan
leitstar (bintang penunjuk arah kedepan).
Narasi republik yang mampu
memberikan jawaban solid bahwa dengan gotong royong dan kolaborasi kita dapat
menyembuhkan bangunan kebangsaan kita. Narasi kebangsaan yang dengan semangat
suka menolong tanpa memandang latar belakang sosial di antara kita, cita-cita
keadilan sosial dapat perlahan-lahan diwujudkan di bumi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar