Genderang
Perang
R William Liddle ; Profesor Emeritus, Ohio
State University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
11 Januari
2018
Bunyi perang, bagi orang
yang bisa mendengarkannya, meski sangat awal dan redam, sudah mulai
kedengaran. Pemerintah China
dilaporkan mempersiapkan kamp-kamp pengungsi di kawasan perbatasan Korea
Utara. Sumber daya militer sedang digeserkan
untuk mengamati tentara Korut. Materi
kritis sedang dipindahkan dan diperbarui serta pasukan sedang digalang. Hanya isyarat terbesar—evakuasi warga
Amerika Serikat dari Korea Selatan—belum bernyala merah. Namun, demi keterkejutan, hal itu mungkin
tak akan terjadi.”
Analisis yang berdarah
dingin dan menakutkan ini diterbitkan baru-baru ini oleh Eliot Cohen, staf
tetap The Atlantic, majalah Amerika ternama yang bersemboyan Of No Party or
Clique, Tidak berpihak pada partai atau kelompok apa pun, sejak pendiriannya
pada 1857.
Cohen sendiri adalah
ilmuwan politik dan intelektual publik yang bergabung dengan Partai Republik
pada awal kariernya di masa pemerintahan George W Bush. Ia terkenal sebagai tokoh neo-konservatif
yang ikut mendorong Presiden Bush untuk menggulingkan pemerintahan Saddam
Hussein di Irak dan menggantikannya dengan rezim demokratis.
Selama pemerintahan
Presiden Barack Obama, tokoh Demokrat, Cohen berada di luar pemerintah,
tempat ia menjadi pengkritik tajam kebijakan luar negeri Obama. Pada 2016, ia menerbitkan The Big Stick:
The Limits of Soft Power and the Necessity of Military Force.
Menurut Cohen, Obama dan
para politisi Demokrat lainnya terlalu mengandalkan soft power—nilai-nilai
seperti demokrasi dan hak asasi serta alat-alat seperti diplomasi dan kerja
sama internasional—ketimbang hard power atau pendekatan militer. Kiranya cukup jelas bahwa di dunia
kebijakan keamanan nasional Cohen merupakan anggota teras kubu hawk, burung
elang, yang berlawanan dengan kubu dove atau merpati.
Korut bagi Cohen merupakan
ancaman serius terhadap Amerika.
Pemerintahnya sudah lama bersedia menjual apa pun kepada pembeli mana
pun: hal ini pasti akan berlaku pula bagi senjata nuklir. Sebentar lagi Pyongyang pasti mampu
memusnahkan Los Angeles. Lagi pula,
rezim itu sudah membuktikan bahwa ia tidak menghormati norma, apalagi hukum
internasional. Pemimpinnya, Kim Jong
Un, sudah membunuh musuh domestiknya, dan hidup dalam ”kepompong psikotis
yang ia ciptakan sendiri”.
Trump
dan Korut
Mengetahui semua fakta
ini, presiden Amerika Serikat yang terpilih pada 2016, baik Demokrat maupun
Republik, tentu wajib mempertimbangkan kemungkinan melakukan preventive war,
perang untuk mencegah tindakan militer dari Kim. ”Namun,” tegas Cohen, ”setelah
dipertimbangkan, presiden Amerika mana pun pasti tidak akan memilih jalan
itu.”
Alasan utamanya adalah
ongkos yang bakal dibayar oleh Korea Selatan, yang sudah menjadi negara
modern dan makmur selama paruh kedua abad ke-20. ”Akankah rakyat Korsel memaafkan Amerika
setelah warga dan kota-kotanya dibinasakan atas dalih melindungi warga dan
kota-kota Amerika? Apakah China akan
tinggal diam kalau rezim Kim dihapuskan?
Dan, apa yang akan terjadi setelah itu?”
Sayangnya, Cohen meragukan
apakah Presiden Donald Trump akan memilih jalan damai meski jelas jalan
terbaik. Kenapa? Dari awal percaturan presidensial 2016,
Cohen melawan pencalonan Trump. Bagi
Cohen, dan sejumlah kecil intelektual publik Partai Republik yang bertindak
selaku naluri bangsa, Trump sama sekali tidak memenuhi syarat paling dasar
untuk menjadi presiden. Masalah inti adalah
watak dan temperamennya.
Cohen mengacu pada tulisan
panjang Dan P McAdams, profesor psikologi di universitas ternama,
Northwestern University, The Mind of Donald Trump. Artikel itu terbit lebih awal di The
Atlantic, Juni 2016, dua bulan sebelum Trump dicalonkan.
Meski Trump tidak pernah
menjadi pasiennya, McAdams mengaku bahwa selaku ilmuwan psikologi, ia bisa
menggali banyak dari riwayat seorang selebritas seperti Trump. Lagi pula, Tump telah menulis sejumlah buku
sendiri dan beberapa biografi ditulis oleh orang lain. Tak kurang penting, Trump sudah
bertahun-tahun sering ”curhat” melalui kicauannya.
Penemuan apa yang
meyakinkan Cohen bahwa Trump akan melakukan preventive war terhadap Korea
Utara? Menurut McAdams, Trump adalah
seorang narsis yang terfokus hanya pada tercapainya kepentingannya
sendiri. Kepentingan didefinisikan
selaku winning, kemenangan secara pribadi terhadap orang lain, juga
dimengerti secara perseorangan.
Di luar negeri, pandangan
ini diterapkan terutama dalam bidang ekonomi, dengan proteksionisme, dan
keamanan, dengan andalan pada hard power.
Dalam buku kampanyenya, Crippled America, Trump menulis: ”Semua mulai
dengan tentara yang kuat. Semua”. Modelnya adalah penaklukan Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS). Penaklukan kelompok ini, tahun lalu, merupakan
keberhasilan militer pertama pemerintahannya.
Tentang Korut, Trump sudah
bersitegas, negara itu harus melepaskan senjata nuklirnya, atau Amerika akan
memaksanya dengan kekuatan militer.
”Kami tak punya jalan lain,” kata Trump di depan massa
pendukungnya. Usaha menteri luar
negerinya, Rex Tillerson, untuk membuka jalur diplomasi diremehkan oleh
Trump. Kim Jong Un dilecehkan sebagai
”Little Rocket Man”.
Alihkan
perhatian
Akhirul kata, Cohen
mengakui bahwa masih ada kemungkinan Trump tidak cukup berani untuk menyerang
Korut, ”meski ia sudah membuat garis merah yang lebih besar dari semua
presiden sebelumnya”. Namun, hal itu
akan berarti bahwa ”Amerika akan mengalami suatu penghinaan besar”. Yang lebih mungkin: serangan terhadap Korut
pada suatu waktu di 2018 yang akan merupakan bagi Trump ”suatu momen mulia,
pemenuhan janji kampanye serta kesempatan untuk mengalihkan perhatian
masyarakat Amerika dari pengusutan Special Counsel Robert Mueller tentang
hubungan kampanyenya dengan Rusia”.
Sebagai warga Amerika,
saya sendiri merasa kagum bahwa ada orang seperti Cohen yang dari awal tidak
bersedia melihat partai dan negaranya dikuasai oleh pemimpin yang jahat dan
kebijakan yang biadab. Mudah-mudahan
era Trump tidak akan berlanjut lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar