Ketimpangan
Media Lama dan Media Baru
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New
Media Wacth
|
KOMPAS,
23 Januari
2018
Evolusi ekologi media yang ditandai dengan
transisi masyarakat dari pengguna media lama (old media) menjadi pengakses
media baru (new media) menuntut adaptasi dan intervensi. Karena dunia media
secara keseluruhan adalah sebuah struktur yang berlapis (multilayer
structures), adaptasi dan intervensi mesti dilakukan pada level yang berbeda
pula. Pada level internal media, para pengelola media mesti menyesuaikan diri
dengan perubahan perilaku bermedia masyarakat.
Seperti dinyatakan para pakar, media
jurnalistik akan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun, para pengelolanya
mesti melakukan
penyesuaian-penyesuaian yang berfokus pada: (1) bagaimana melayani
masyarakat yang semakin terpola untuk mengakses informasi secara digital; (2)
bagaimana merumuskan relevansi media ketika problem masyarakat bukan lagi
kekurangan informasi, melainkan kelimpahruahan informasi; (3) bagaimana
bersaing dengan media baru (media sosial, mesin pencari, e-dagang, agregator
berita, news filtering services) yang hadir dengan mode komunikasi baru yang
sangat memikat masyarakat.
Timpangnya
iklim persaingan
Internet adalah segala sesuatu dan segala
sesuatu adalah internet (internet of everythings). Inilah yang sedang kita
hadapi saat ini. Determinisme teknologi yang ekstrem sedang terjadi di mana
inovasi teknologi informasi yang terus-menerus diperkenalkan secara cepat
mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat: konsumsi media, mode
interaksi sosial, bentuk partisipasi politik, gaya hidup, dan lain-lain.
Dalam konteks inilah teori agenda-setting yang menempatkan media massa
sebagai penentu utama agenda-agenda publik perlu ditinjau ulang. Masyarakat
kini telah memiliki banyak pilihan sumber informasi dan tak lagi tergantung
pada asupan informasi dari media massa. Inilah tantangan nyata yang mesti
dihadapi pengelola media massa
konvensional saat ini.
Sungguhpun telah melakukan penyesuaian diri
pada aras tersebut, belum tentu media konvensional akan berhasil
mempertahankan diri. Ada masalah struktural yang juga mesti diselesaikan pada
level yang lain. Perubahan lanskap komunikasi-informasi secara menyeluruh
menciptakan iklim persaingan media yang
timpang. Google, Facebook, Twitter, Baidu, Yahoo, dan lain-lain
sesungguhnya adalah perusahaan media. Bisnis mereka juga berbasis pada proses
komodifikasi informasi.
Seperti media konvensional, mereka juga
hidup dari pendapatan iklan. Teknologi yang digunakan dan model hubungan
dengan khalayak yang dikembangkan memang berbeda. Namun, secara ontologis,
posisi media baru itu adalah sama dengan media konvensional: dualitas antara
institusi sosial yang melayani masyarakat dengan informasi-komunikasi
sekaligus institusi bisnis yang motif utamanya adalah keuntungan ekonomi.
Namun, dalam praktiknya sejauh ini,
media-media baru itu belum sepenuhnya diperlakukan sebagai subyek hukum
perusahaan media. Mereka masih enggan untuk membayar pajak atas pendapatan
iklan yang mereka peroleh. Bandingkan dengan pajak yang mesti dibayar
perusahaan media konvensional untuk setiap transaksi iklan yang diperoleh!
Perusahaan-perusahaan media sosial juga belum sepenuhnya bertanggung jawab
atas informasi yang mereka sebarkan ke masyarakat. Hoaks sejauh ini masih
dianggap sebagai sepenuhnya urusan pengguna media sosial yang membuat hoaks.
Padahal, perusahaan media sosial paling berperan dalam penyebaran hoaks,
bahkan mengambil keuntungan darinya.
Semakin kontroversial hoaks, semakin ramai
perdebatan di media sosial, semakin besar data perilaku pengguna internet
yang dikelola perusahaan media sosial. Hal ini kemudian berkorelasi dengan
kenaikan harga saham perusahaan media sosial berikut potensi pendapatan
iklannya.
Namun, ketika muncul kasus hoaks seperti
kasus Buni Yani atau Saracen, ada impunitas untuk perusahaan media sosial
yang sesungguhnya berperan dalam kasus tersebut. Mari kita bandingkan dengan
tanggung jawab surat kabar, media televisi dan radio atas informasi yang
mereka publikasikan! Untuk setiap informasi yang dianggap merugikan pihak
tertentu, media konvensional dapat dituntut memuat hak jawab, diadukan ke
Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahkan menghadapi tuntutan
hukum.
Kita sedang menghadapi media-media baru
dengan pengaruh yang luar biasa besar, termasuk terhadap daya hidup
media-media lama. Namun, media-media baru ini belum mengalami pelembagaan
sedemikian rupa.
Secara faktual, perusahaan media sosial dan
mesin pencari telah beroperasi melayani masyarakat dengan informasi dan
komunikasi. Mereka juga telah menjalankan proses komodifikasi informasi
dengan pendapatan iklan yang semakin hari semakin besar volumenya. Namun,
secara hukum dan normatif sesungguhnya posisi mereka belum jelas.
Apakah mereka merupakan perusahaan media?
Apakah mereka bergerak di ruang publik atau ruang privat? Apakah mereka
beroperasi pada aras komunikasi massa atau komunikasi interpersonal? Apakah
mereka mesti menaati standar norma dan hukum tertentu? Jika ya, standar mana
yang digunakan? Jika muncul masalah, bagaimana mekanisme penyelesaiannya?
Mendesak,
pelembagaan media baru
Dalam konteks inilah tercipta adalah iklim
persaingan media yang timpang. Di satu sisi, media-media lama harus bergerak
dengan berbagai aturan, batasan dan larangan seperti termaktub dalam UU Pers,
UU Penyiaran, UU Perpajakan, UU Perseroan Terbatas, Kode Etik Jurnalistik,
P3SPS, Pedoman Pemberitaan Media Siber, dan lain-lain.
Meskipun dalam praktiknya sering dilanggar,
keberadaan aturan-aturan ini menunjukkan adanya pelembagaan. Di sisi lain,
media-media baru seperti beroperasi tanpa aturan dan batasan yang baku.
Mereka belum mengalami pelembagaan, tetapi telah sedemikian jauh beroperasi.
Media-media baru memang tidak sama persis
dengan media lama sehingga pengaturannya tidak dapat disamakan sepenuhnya.
Namun, pengaturan atau pelembagaan tetap diperlukan karena aktivitas bisnis
dan sosial mereka berurusan langsung dengan kepentingan publik. Lebih dari
itu, media-media baru sesungguhnya tidak sepenuhnya berbeda dengan media
lama, khususnya bahwa mereka juga bersandar pada proses komodifikasi
informasi.
Pelembagaan atas media-media baru ini
sangat mendesak untuk dilakukan. Motif utamanya bukan menghalangi praktik
bisnis raksasa digital, seperti Google, Amazon, Facebook, Yahoo, melainkan
meletakkan mereka dalam kerangka sistem hukum media nasional. Tujuannya
adalah mengupayakan iklim persaingan yang sehat dan seimbang di bidang media
dan informasi.
Dengan demikian, jika ada media massa yang
terpaksa berhenti beroperasi, semata-mata karena kegagalan dalam menyesuaikan
diri dengan perubahan keadaan, bukan karena dibiarkan tersisih dalam iklim
persaingan media yang timpang. Di sini intervensi negara dibutuhkan untuk
menciptakan iklim usaha media dan informasi yang kondusif bagi perkembangan
industri media nasional.
Tren di sejumlah negara menunjukkan,
pemerintah bersifat ”protektif” terhadap industri media nasional menghadapi
raksasa-raksasa digital di atas. Bukan dengan mengusir atau mempersulit
mereka, melainkan sekali lagi dengan membuat mereka terintegrasi dalam sistem
komunikasi nasional yang secara terbatas berpihak pada industri media
nasional.
Pertimbangan lain, institusi pers atau
media jurnalistik sangat menentukan kualitas demokrasi suatu bangsa.
Posisinya tidak sepenuhnya dapat digantikan dengan media baru. Media sosial
tidak menyubstitusi media jurnalistik.
Media sosial menawarkan sesuatu yang baru
yang memperkuat proses demokratisasi, tetapi dalam banyak kasus juga
kontraproduktif bagi prinsip ruang publik yang beradab. Tanpa mengesampingkan
potensi deliberatif media sosial, keberadaan media jurnalistik mesti
dipertahankan dalam kerangka kepentingan nasional menjaga iklim demokrasi yang
sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar