Keluar
dari Kepungan Asap
Hamdhani ; Anggota Komisi IV DPR
RI, Fraksi Partai NasDem
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2018
SEKITAR September 2015,
medsos diramaikan tagar #TerimaKasihIndonesia yang dicicitkan warganet
Malaysia dan Singapura. Tagar itu sindiran terhadap RI lantaran kerap tak
mampu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatra.
Imbas kebakaran itu membuat warga dua negara tetangga terganggu dalam
menjalani aktivitas sehari-hari.
Kala itu, kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi memang luar biasa masif.
Di tengah gencarnya pembicaraan dunia tentang pelestarian lingkungan, RI
malah dinilai tidak mampu mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.
Di dalam negeri, kebakaran
hutan dan lahan gambut berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
Banyak warga terjangkit penyakit gangguan sistem pernapasan, aktivitas warga
juga terganggu.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, kerugian yang harus ditanggung
pemerintah RI akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 mencapai Rp16,1
triliun. Angka itu belum ditambah kerusakan lingkungan akibat kebakaran yang
terjadi.
Upaya
penanggulangan
Pada awal 2016, Presiden
Jokowi meminta seluruh pihak terkait melakukan upaya pencegahan dan
kesiapsiagaan dini. Penerapan early warning system, sosialisasi maklumat yang
dikeluarkan Polri kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman, serta patroli
ketat.
BNPB juga menyiapkan 26
helikopter untuk water bombing di Sumatra dan Kalimantan. Mereka juga
mengerahkan tiga pesawat untuk hujan buatan, sebagai upaya menanggulangi dan
mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan (karlahut). Tidak ketinggalan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) pun membentuk
Posko Krisis Bencana Kebakaran Lahan/Hutan untuk menjadi tempat rujukan,
pengaduan, sekaligus sumber informasi. Selain itu, penegakan hukum juga salah
satu cara penanganan karlahut. Tidak hanya menyasar pelaku perorangan,
tetapi juga perusahaan/korporasi. Upaya penegakan hukum ini kerja sama antara
Polisi dan PPNS Kementerian LHK. Kasus-kasus hukum kebakaran hutan yang
ditangani PPNS KLHK meliputi tiga sisi, yakni sanksi administratif, pidana,
dan perdata.
Salah satu contoh
ketegasan penegakan hukum dari Kementerian LHK pada korporasi penyebab
karlahut yang paling baru ialah gugatan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar
terhadap PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) atas kejadian karlahut yang
ditimbulkan aktivitas perusahaan itu. PT RKK dinyatakan bersalah dan harus
membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan ekologis Rp191.804.261.700.
Menurunnya
titik api
Upaya-upaya di atas
ternyata membuahkan hasil. Pada 2017, beberapa negara seperti AS, Australia,
Jepang, dan Indonesia melalui BMKG mengeluarkan prakiraan cuaca dan
disimpulkan bahwa RI akan mengalami musim kemarau hingga Oktober/November
2017. Hal itu menjadi peringatan untuk mewaspadai kemarau Juni-September 2017
mengingat karlahut kerap terjadi musim kemarau panjang. Kita bersyukur,
peristiwa pahit 2015 tidak terulang dan ini buah kerja keras pemerintah.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 2015-2017, jumlah titik api, berikut
luas kebakaran lahan dan hutan, menurun di atas 80% jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Pada 2015, jumlah titik
api 70.971, berkurang jauh pada 2016 hanya 3.844 titik api. Luas area
kebakaran hutan mengalami penurunan dari 2,6 juta ha pada 2015, menjadi
438.363 ha pada 2016. Pada 2017, berdasarkan data terakhir, jumlah titik api
kembali menurun menjadi 2.370. Total luas area kebakaran hutan kembali turun
menjadi 125 ribu ha, atau sekitar 15% dari 2016. Kita patut mengapresiasi
keberhasilan Kementerian LHK dan berbagai pihak dalam mengendalikan titik api
dan kebakaran hutan dan lahan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang, hingga
Desember 2017 nyaris tidak ada lagi berita tentang kebakaran hutan dan lahan.
Kerja
sama berbagai pihak
Karlahut telah menimbulkan
dampak besar dari segi lingkungan, pendidikan, politik, ekonomi, kesehatan,
hubungan antarnegara, dan citra RI di mata dunia. Karena itu, hal itu harus
menjadi perhatian serius berbagai pihak. Upaya mencegah dan menanggulangi
karlahut semestinya tidak hanya dilakukan pemerintah, dalam hal ini
Kementerian LHK dan BNPB, tapi juga harus mendapat dukungan penuh masyarakat
dan swasta. Pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian, Kementerian LHK,
dan Bappenas telah menyusun grand design mencegah karlahut.
Itu patut kita apresiasi
mengingat ruang lingkup grand design difokuskan kegiatan dan pemantauan yang
akan dilaksanakan baik pemerintah maupun swasta, pada 2017-2019. Kita tentu
berharap, prinsip permanen, lintas sektor, terpadu, komprehensif, cepat,
responsif, dan tepat sasaran yang terkandung dalam arah kebijakan dan strategi
pencegahan karlahut benar-benar dapat dilaksanakan. Selain itu, penjabaran ke
dalam strategi penyediaan insentif dan disinsentif, penanganan pranata
sosial, penegakan hukum dan sinkronisasi peraturan perundangan, serta
penguatan fire early response bisa diimplementasikan.
Menurunnya titik api dan
luas karlahut pada 2017 tidak boleh membuat kita terlena. Tantangan ke depan
memberikan penyadaran kepada masyarakat agar mau bekerja bersama
mengoptimalkan pencegahan. Masalah kebakaran hutan dan lahan bukan hanya
kerugian material, melainkan juga sosial. Karena itu, keluar dari kepungan
asap ialah pekerjaan bersama kita semua, bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar