Kamis, 11 Januari 2018

2018 dan Efek Kupu-kupu

2018 dan Efek Kupu-kupu
Boni Hargens  ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
                                                      KOMPAS, 10 Januari 2018



                                                           
Pada 2017, Freedom House di Washington, AS, kembali menempatkan Indonesia di wilayah kuning dalam peta kebebasan demokratik dunia. Selama empat tahun terakhir (2014-2017), kita berlari di tempat.

Indonesia tidak beranjak dari skor 3 dalam skala 1-7 (1=terbaik; 7=terburuk) dengan rincian 2 untuk indikator hak politik (political rights) dan 4 untuk kebebasan sipil (civil liberties). Maksudnya, Indonesia dinilai tidak sepenuhnya demokratis. Padahal, sepanjang 2006-2013, Indonesia masuk wilayah hijau alias demokratis.

Pilkada DKI Jakarta 2017 salah satu isu serius yang membuat posisi melorot, yaitu saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diserang dengan sentimen primordial yang memakai hukum penistaan sebagai ujung tombak. Dalam pengantar, laporan Freedom House (2017) menggarisbawahi sejumlah pekerjaan rumah besar Indonesia ke depan, yaitu melawan politisasi hukum tentang fitnah dan penistaan (agama), diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, separatisme Papua, termasuk korupsi sistemik yang masih merajalela dari pusat sampai daerah.

Ancaman politisasi agama

Kini kita berada di tahun politik 2018. Ada perhelatan besar, yaitu pilkada serentak di 171 daerah yang mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Peluang politisasi agama masih mengancam. Apalagi, tahun 2018 adalah momen persiapan menuju Pemilu/Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan sibuk di tahun ini sampai awal tahun depan. Partai politik pun begitu. Penguasaan Pilkada 2018, dalam perspektif matematika politik, menentukan peta penguasaan politik 2019. Dengan demikian, wajar partai-partai besar ekstra hati-hati dalam menentukan calon di sejumlah daerah strategis, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, termasuk Kalimantan Timur dan Sumatera Utara.

Apakah tahun 2018 menjadi penting karena pilkada serentak? Kalau demokrasi sudah matang, politik   berproses secara sehat, nihil urgensi membahas pilkada serentak selain ritual teknis. Namun, Pilkada 2018 penting dalam dual hal, yaitu (1) siapa yang memainkan bandul dan (2) bagaimana proses pilkada itu berlangsung.

Sentimen primordial yang dihidupkan lagi dalam Pilkada 2017 bukan perkara sepele. Ketika organisasi massa (ormas) radikal dibubarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, muncul protes keras dari dua kubu, yakni (1) kubu radikal yang dirugikan secara langsung dan (2) kubu libertarian yang atas nama hak asasi manusia menuduh keputusan pemerintah antidemokrasi.

Tak perlu kita tenggelam dalam perdebatan konseptual. Yang jelas, kekuatan radikal, yaitu mereka yang menghalalkan kekerasan sebagai alat perjuangan ideologi dan kepentingan politik, ingin memainkan bandul di sejumlah pilkada. Isu primordial dihidupkan lagi di Kalimantan Barat melalui sejumlah aksi berjubah agama. Ini bukan perkara hak asasi saja, melainkan soal eksistensi sebuah negara.

Formula ”politik Jakarta 2017” sudah dimainkan di Jawa Barat semenjak tahun lalu. Ada kelompok politik yang diuntungkan oleh kehadiran kubu radikal dan memelihara relasi mutual itu sebagai komoditas politik. Meminjam istilah Edward Norton Lorenz (1917-2008), inilah butterfly effect, efek sayap kupu-kupu, dari politik primordial. Badai meniup di Jakarta, kupu-kupu mengepak dari Sabang sampai Merauke.

Yang waras mungkin sudah bosan dengan tuduhan ”komunis”, ”anti-Islam”, termasuk dikotomi usang ”pribumi-nonpribumi”. Cukup lama media sosial dipadati dengan tautan yang membodohkan macam itu. Faktanya, demokrasi hari ini masih ditandai sentimen tidak sehat sebagai modus operandi.

Mampukah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang baru dibentuk mengatasi fenomena siber yang meresahkan ini? Tanggung jawab Kepala BSSN Djoko Setiadi akan berat, lebih dari sekadar kontroversi ”hoaks membangun” yang dianggap lelucon oleh warganet.

2018 ujian demokrasi

Tahun 2018 adalah waktu ujian bagi masa depan demokrasi Pancasila. Apabila kekuatan primordial memenangkan pilkada di daerah-daerah strategis, bencana akan sulit dibendung pada 2019. Menyelamatkan Pilkada 2018 adalah menyelamatkan demokrasi dan Indonesia. Inilah inti renungan politik 2018. Bukan isapan jempol ada kekuatan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ide lain. Kekuatan ini tengah memainkan panggung bersama para politisi pecundang yang tidak ideologis, tetapi sarat libido.

Pelaksanaan dan pengawasan pilkada harus dipersenjatai aturan hukum yang kuat dan penegakan yang sungguh karena KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah tulang punggung dari seluruh proses ini. Aparat keamanan hanya bertindak dalam koridor ketertiban dan keamanan pilkada. Yang menentukan mutu dari proses adalah KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat pemilih. Selain mengawasi praktik curang, seperti politik uang, manipulasi data pemilih, dan pencurian suara, Bawaslu seyogianya memantau politisasi isu SARA, baik oleh individu, ormas, maupun partai politik.

Untuk itu, perlu ada aturan yang rinci. Misalnya, dilarang khotbah politik di mimbar agama, seperti gereja, masjid, dan wihara. Tokoh agama boleh berbicara politik, tetapi dalam ranah moral politik. Kita butuh pesan moral tokoh agama untuk menguatkan fondasi moral dan etika dalam berpolitik. Namun, undang-undang mesti membuat ketentuan bahwa ruang ibadah tidak boleh dijadikan ruang kampanye politik.

Bagaimanapun, politik demokrasi kita tidak menganut moralitas konsekuensialis Machiavelli (1469-1527) yang menghalalkan segala cara demi konsekuensi yang lebih besar. Eksistensi agama sebagai anasir penting dalam hidup berbangsa dan bernegara menandai keniscayaan bahwa kita menganut moralitas deontologis.

Implikasinya, bobot tindakan tidak ditentukan oleh konsekuensinya, tetapi oleh standar pokok yang disebut ”imperatif kategoris” oleh Kant (1724-1804). Agama memberi kita standar moral yang menjadi acuan. Maka, membebaskan agama dari politik praktis adalah upaya menjaga kesucian agama an sich sekaligus wujud dari sikap moral orang beragama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar