Kecerdasan
(Ber)demokrasi
Tulus Sudarto ; Rohaniwan; Bekerja di Paroki St Theresia
Sedayu, Yogyakarta
|
KOMPAS,
02 Januari
2018
Ada sesuatu yang berbeda
mengenai isu politik mutakhir, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
menyangkut cara masyarakat bangsa ini meresponsnya.
Terpilihnya Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto ternyata tidak memproduksi meme sebanyak adegan
”tiang listrik” ala politisi tertentu ataupun foto-foto gubernur Jakarta
memberi excuse teologis mengenai problem banjir di Jakarta.
Lagi-lagi, atas motivasi
politis murahan tapi begitu laris, nama istri yang ”tidak Indonesia” yang
dipakai sebagai isu jualan utama. Selebihnya hanyalah spekulasi mengenai probabilitas
kekuatan petahana dalam tahun politik nanti yang semakin menipis gara-gara
semakin banyaknya ”pembelot”.
Dua hal bisa dianalisis
dari hal ini. Pertama, peran negara dalam menjamin hak setiap warga sekaligus
mengaturnya sedemikian rupa sehingga demokrasi tak berarti ”apa-apa boleh”
dan ”sekenanya bisa”. Ketegasan negara melalui Kementerian Komunikasi dan
Informatika untuk registrasi ulang nomor-nomor telepon seluler pribadi dalam
tingkat apa pun telah membangun suatu psikologi kepatuhan tertentu dalam diri
masyarakat.
Sebagai contoh, berita
yang tersebar mengenai walk-out-nya seorang pianis di tengah sambutan kepala
daerah hanya berhenti pada bentuk media sosial khusus, tidak lagi melalui
Whatsapp (WA). Setelah rangkaian pesan melalui WA berpindah dari satu telepon
ke telepon lain, tiba-tiba ada isi pesan yang memperingatkan dengan keras
tentang kebenaran info tersebut disertai ancaman pemrosesan secara hukum
menyangkut pencemaran nama baik.
Tidak pernah diketahui
siapa yang mengirim pesan mengenai ancaman tentang penyebaran info melalui WA
tersebut. Tetapi, senyatanya telah terbentuk ”ketakutan tertentu” di tingkat
akar rumput untuk tidak meneruskan isi pesan tersebut dan hanya terbatas
perbincangan atau guyonan sembari minum kopi. Akibatnya, wawancara pada
pianis tersebut di kemudian minggu tidak lagi semenarik berita beberapa jam
persis setelah acara tersebut berlangsung. Level tegangan (suspense) sudah
terlebih dahulu menurun dan lama-lama hilang.
Kewaskitaan
generik
Kedua, dan paling utama, adalah
cara masyarakat ”membaca” politik dengan kacamata awam. Setelah Trio Macan
diperkarakan dalam pengadilan karena telah menyebarkan berita dengan tingkat
akurasi tinggi, awam nyaris tak punya sumber informasi lagi mengenai
pergerakan ataupun manuver politik para elite.
Bukan berarti kaum awam
tak dapat mengakses berita paling sahih ataupun paling aktual. Kaum awam
tetaplah awam yang memiliki kemampuan analitis tersendiri dalam berpolitik.
Yang aneh bukan pertama-tama media sosial yang bagai tsunami membanjiri
masyarakat dengan info-info politik terkini. Namun, de facto makin
transparannya perebutan kekuasaan yang dilakukan secara brutal dan vulgar,
itulah yang membuat masyarakat awam dapat membaca dengan jelas mengenai
perpolitikan di negeri ini.
Bahwa meritokrasi baru
berjalan 2-3 langkah dengan terseok-seok tetapi langsung dibabat habis oleh
kekuatan birokratif lama, itulah hal pertama yang dibaca oleh masyarakat
awam. Pematahan secara sistematis melalui penggalangan kekuatan politik yang
lebih tersistem telah bersifat abortif atas benih demokrasi yang asli.
Bahwa politik berisi
tikung-menikung dan tikam-menikam antarkubu, itulah yang dibaca oleh kaum
awam yang mengkristalkan ujaran klasik betapa tak ada musuh atau kawan abadi
dalam politik dan yang ada hanyalah kepentingan abadi. Ibaratnya, sistem
meritokrasi saat ini semakin kehilangan orang- orang kuat yang menopang
setelah poros-poros tertentu telah digerogoti oleh kekuatan-kekuatan ”musuh
dalam selimut”.
Persis seperti dalil
Nietzsche, kekuasaan selalu bersifat merusak. Kehendak untuk berkuasa demi
kekuasaan itu sendiri senantiasa korup. Bahwa ada atmosfer tertentu di setiap
benak warga kalau bangsa ini benar-benar membutuhkan figur pemimpin demi masa
depan dan bukan demi masa lalu, itulah yang pelan-pelan menjadi sekadar
utopia karena telah dihantam oleh kekuatan-kekuatan spartan yang bersekutu
dari pelbagai penjuru.
Ibaratnya, Indonesia tidak
butuh santo. Orang sebaik apa pun tidak akan menjadi pemimpin yang bisa
diterima jika tidak ikut berkotor-kotor dalam sistem. Selain itu, Indonesia
juga tak butuh ”Rambo”. Sistem sudah demikian mengakar kuat jadi labirin yang
begitu rumit dan ruwet.
Satu hal yang tetap adalah
soal cara cerdas masyarakat dalam berdemokrasi. Memang peran massal dari kaum
awam seolah nyaris tidak menunjuk sebagai variabel aktif dalam kehidupan
demokrasi. Namun, masyarakat tetaplah masyarakat yang memiliki insting
politik tertentu yang sering kali tidak dihiraukan oleh para penguasa
politik.
Sekali tidak dianggap
sebagai partisipan aktif dan hanya dianggap sebagai massa anonim, para elite
politik yang berburu kekuasaan sungguh akan menerima nasib mereka
ditinggalkan oleh akar rumput. Dan, kekuatan akar rumput ini tidak pernah
bisa dibeli dengan uang. Sangat mungkin ancaman yang bersifat harian dan
secara kolektif akan membuat masyarakat akar rumput ini patuh pada kekuasaan.
Tetapi, cara berpolitik masyarakat awam ini telah sedemikian bertumbuh secara
kualitatif.
Persis seperti
jungkat-jungkit: di satu sisi, kubu tertentu begitu menggebu dalam mengejar
kekuasaan. Kubu lain berisi masyarakat akar rumput yang lebih sumeleh karena
mengendus aroma syahwat kekuasaan yang tak tertahankan.
Kontraproduktif
Penampakan rebutan
kekuasaan yang banal dan ugal-ugalan tidak pernah dapat merebut hati
masyarakat akar rumput. Behaviorisme demokrasi selalu saja bohong. Ibarat
gunung es, tampilan-tampilan periferal demokrasi memendam 90 persen
bawah-sadar kultur politik yang substansinya adalah dekonstruksi total.
Bagian terbesar dalam demokrasi inilah yang merupakan kecerdasan masyarakat
akar rumput.
Lubang hitam demokrasi
Indonesia tidak terletak pada ”kebodohan masyarakat” ataupun keterbelakangan
awam yang bersifat massal. Namun, problem tunggal yang abadi dalam sejarah
demokrasi kita selalu saja mengenai rebutan kekuasaan, yang ujung-ujungnya
bersifat ”fulusofis” daripada filosofis.
Macetnya demokrasi
senantiasa terletak pada ”fulusofi” (baca: fulus, uang!) kekuasaan, bukan
filosofi kekuasaan. Fulusofi kekuasaan lebih mengandalkan ”otot” daripada
”otak”. Fulusofi kekuasaan paralel lebih mengutamakan ”okol” (kekuatan fisik)
daripada ”akal” (kekuatan nilai). Istilah dalam bahasa Jawa, asu gedhe menang
kerahe. Anjing besar menang rebutan.
Sayangnya, masyarakat akar
rumput tak lagi berada pada level berdemokrasi untuk cari makan, tetapi sudah
naik tingkat pada level nilai. Berapa banyak masyarakat akar rumput yang mau
menerima uang dari penguasa tetapi tetap keukeuh pada pilihan politik yang
lebih menjamin nilai? Berapa banyak masyarakat yang justru nyinyir melihat
elite politik menggebu-gebu dalam pencitraan, tetapi sebetulnya hanyalah
periferal dan artifisial? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar