Kaleidoskop
Komunikasi Politik 2017
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2017
Waktu seolah berlari
cepat. Ragam peristiwa telah menjadi penggalan sejarah kehidupan kita
sepanjang tahun 2017.
Tahun pun segera berganti,
oleh karenanya sepatutnya kita berefleksi, menyusuri setiap kejadian yang
dilalui bangsa ini. Banyak fenomena komunikasi politik yang mengemuka dan
mewarnai jagat politik nasional sehingga perlu diberi catatan penutup untuk
perbaikan di masa mendatang.
Komunikasi dan Konflik
Komunikasi sesungguhnya diarahkan untuk membangun kesepahaman (mutual under -
standing) di antara para pihak yang secara bersamaan menjadi komunikator dan
komunikan sekaligus dalam model yang kini lebih banyak berpola timbalbalik
(resiprokal).
Tapi di sisi lain ragam
aktivitas komunikasi juga menimbulkan sejumlah soal politik nasional,
terutama saat politisi, partai politik, media massa, pemerintah hingga warga
biasa tak mampu mengelola komunikasi secara baik, etis, dan berkeadaban.
Komunikasi yang harusnya membentuk kohesi sosial dan politik justru kerap
menjadi akar persoalan yang berujung konflik.
Kita tentumasihingat,
diawal tahun ini, konflik yang ma sif dan bersifat eksesif terjadi akibat
ketidakdewasaan ba nyak pihak dalam berkomuni kasi di tengah kontestasi yang
men capai titik kulminasinya pada Februari 2017. Saat itu Pilkada DKI Jakarta
menjadi “arena pertarung an” opini yang luar biasa panas. Meskipun ada 101
pilkada, sorotan media massa begitu gencar, masif, dan kumulatif di DKI.
Hal itu bisa dimaklumi
meng ingat begitu strategisnya penguasaan Ibu Kota, terutama efek domino dan
efek psiko-politis bagi kepentingan partai-partai di masa mendatang. Bara
pilkada menyala luar biasa pada ragam kanal komunikasi warga.
Mulai darimedia mainstream
seperti televisi, koran, radio yang berhadap-hadapan dengan begitu partisan
hingga media sosial yang su dah pada tingkat mengkhawatirkan! Isu berdaya
ledak tinggi, yakni isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), mengemuka
dan di jadikan senjata oleh para pihak.
Strategi propaganda dan
kontrapropaganda mem buncah, tumpah ruah di tengah warga yang melek politik
nya masih rendah serta terfasilitasi teknologi yang kian mudah. Pilkada
menunjukkan wajah gandanya. Satu wajah penuh harapan, optimisme, gairah untuk
berubah dan mewadahi kuasa rakyat secara terbuka.
Satu wajah lainnya adalah
berita palsu (hoax), ujaran kebencian (hatespeech), dan lubang hitam
ketidakdewasaan warga dalam menyikapi perbedaan. Karena itu pilkada tak
semata menghadirkan buramnya cerita politik berbiaya tinggi saat kandidasi
dan money politic saat membeli suara, tetapi juga paradoks peradaban dalam
narasi penuh kebencian, polarisasi dukungan yang dibalut kemarahan, serta
bisnis hitam di panggung belakang.
Feno mena Saracen yang
meledakkan isu SARA menjadi permainan bisnis yang menyasar pasar pemilih
bermental bigot. Atas nama instrumen pengelolaan branding, positioning, dan
segmenting dalam marketing politik, kandidat dan timnya sering kali bergerak
ke kutub ekstrem yang membahayakan persatuan dengan tujuan mendapatkan
“tempat” dengan mengeksploitasi jaringan sosial primordial.
Dalam perspektif teori
konflik, Lewis Coser (dalam Wallace & Wolf, 1986) sesungguhnya memandang
konflik tak selalu merusak sistem sosial. Coser membedakan dua tipe dasar
konflik yang realistis dan nonrealistis. Konflik pilkada sebenarnya masuk
kategori realistis, artinya konflik akan segera mereda melalui ragam cara
pada koridor demokrasi seperti di ranah hukum maupun komunikasi.
Tapi tak jarang pula
konflik mengarah ke yang kedua, yakni konflik non realistis. Hal ini terjadi
saat konflik mengarah ke kutub ekstrem yang tak rasional
dancenderungbersifatideologis. Dalam hal ini antara lain konflik mengarah
pada benturan antar agama, antar etnik, antarkepercayaan yang sulit
dipersatukan dalam jangka pendek.
Lagi-lagi solusi utamanya
sesungguhnya adalah komunikasi. Saat rekonsiliasi dikedepankan dan adanya ke
inginan kuat untuk membangun kekitaan di atas egosentrisme keakuan, sesung
guhnya konflik masih bisa dikelola menuju penyelesaian.
Komunikasi
Elite
Fenomena lain yang
menonjol pada 2017 tentang konflik yang bersumber dari komunikasi adalah
agresivitas verbal politisi. Pernyataan Viktor Laiskodat, politikus Partai
Nasional Demokrat (NasDem), di Tarus, Kabupaten Kupang , Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada Selasa (1/8) tentang partai-partai ekstremis dan
pro-khilafah serta pernyataan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono yang
menganggap wajar jika PDI-P disamakan dengan PKI merupakan contoh agresivitas
verbal yang sangat riskan menimbulkan persoalan.
Jika memakai pendekatan
Dominic Ifanta dalam tulisannya Argumentativeness and Verbal Agressivness
(1996), biasanya ada dua sifat agresi yang kerap dominan dilakukan, yakni
kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan
tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Sementara
itu keagresifan verbal adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau
konsep diri di mana argumen bernalar.
Ketidak dewasaan politisi
dalam mengeluarkan pernyataan di muka publik juga bisa berpotensi memicu
konflik. Serangan komunikasi kepada Jokowi pada tahun ini juga kian
menjadi-jadi. Contoh aktual adalah label diktator yang disematkan kepadanya.
Tentu tuduhan ini serius dan menarik dicermati sekaligus dielaborasi dari
perspektif akademik maupun politik praktis.
Apakah Jokowi diktator?
Jelas, baik dari kebiasaan pribadinya maupun konteks demokrasi Indonesia yang
ada saat ini, Jokowi bukan diktator. Kritik mengalir sepanjang hari nyaris
tanpa jeda dan melalui beragam kanal komunikasi, warga bisa bicara lebih
terbuka. Gaya komunikasi politik Jokowi juga equalitarian style (gaya
kesetaraan).
Orang dengan gaya
komunikasi ini biasanya arus verbal dan nonverbalnya selalu mencoba dua arah
(two way traffic communication). Dengan demikian tuduhan Jokowi diktator
sangatlah berlebihan dan terlalu mendramatisasi keadaan. Komunikasi politik
elite lain nya yang menarik pada 2017 adalah menyangkut pergantian ketua umum
Partai Golkar.
Krisis yang dialami Golkar
terkait dengan Setya Novanto sebenarnya bisa disebut sebagai smoldering
crisis, yakni krisis serius yang sesungguhnya terjadidi institusi, tetapi
sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi. Krisis jenis
ini biasanya muncul akibat konflik internal atau persoalan hukum yang
mengemuka.
Merujuk pada pan angan
Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:
48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu
muncul men jadi aktual yang diketahui kha layak luas, terlebih mendapat kan
liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak.
Pilihan atas Setya Novanto
yang sudah lama memiliki persoalan hukum menjadi pelajaran ber harga bahwa
citra dan reputasi organi sasi akan sangat rentan dan tidak berwibawa saat di
pim pin orang yang memiliki per soalan, tetapi dipaksakan menjadi wajah utama
organisasi.
Membangun
Kekitaan
Catatan komunikasi politik
yang sangat positif pada tahun ini adalah panggung kebersamaan antarmantan
Presiden RI dalam puncak peringatan 17 Agustus 2017. Tak dapat disangkal,
berkumpulnya Presi - den Jokowi dengan para presiden serta wakil presiden di
Istana memberikan resonansi sangat positif pada persepsi khalayak.
Perjumpaan para elite bisa
saja kita maknai mulai adanya ini siatif untuk merajut titik temu politik
kebangsaan. Artinya di banyak momentum politik, mereka bisa saling menyaingi,
berbeda kongsi, bahkan ber beda gagasan dan kepentingan. Tapi di lain
kesempatan mereka bisa bertemu satu sama lain, berbagi, dan saling menguat
kan.
Simbol pakaian daerah yang
digunakan secara semarak saat pidato kenegaraan di DPR/ DPD/MPR pada 16
Agustus 2017 juga bisa menjadi simbol kekitaan yang kuat. Bahwa Indonesia
adalah bangsa yang beragam, tak hanya Jawa, tetapi juga ada suku-suku lain di
Nusantara. Inilah pesan kekitaan yang tak hanya memesona, tetapi juga
meneguhkan landasan prinsip kebinekaan. Warga dan elite harus menguatkan
semangat kekitaan sebagai vaksin kekebalan mental berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar