Etika
yang Makin Merana
Erwin Moeslimin Singajuru ; Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2017
Terdapat fenomena miris
sejak reformasi 19 tahun yang lalu, sesuatu yang kalau kita hayati sangat
bertentangan dengan etika dan ruh reformasi itu sendiri.
Reformasi terutama dalam
konteks perbaikan negara telah diupayakan sedemikian rupa agar menjadi baik,
ideal, demokratis, dan sejalan dengan tujuan negara seperti tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945. Lembaga-lembaga negara yang semula tidak sejalan dengan
tujuan konstitusi, disempurnakan agar konsisten. Contoh pada pasal 1 ayat (2)
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian disempurnakan melalui amendemen ketiga UUD
1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Implikasi ayat ini di antaranya terbentuklah sistem dua
kamar.
Muncul lembaga baru DPD
(Dewan Perwakilan Daerah) sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi
di mana seluruh anggotanya yang otomatis duduk di MPR harus dipilih melalui
pemilu. Ketercelaan moral di sini muncul saat ketua DPD tertangkap tangan
(OTT) oleh KPK karena menerima gratifikasi proyek gula. Guna mewujudkan
konstitusi yaitu UUD NRI 1945 yang terjaga dan agar undang-undang tidak liar
bertentangan dengannya, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui UU Nomor
24 Tahun 2003. MK lalu berwenang melakukan judicial review terhadap UUD 1945
sebagai lembaga the bodyguard of constitution di luar kewenangan lain
membubarkan partai politik, mengadili sengketa pemilu, dan meng-impeachment
presiden dan wakil presiden.
Ketua MK Akil Mochtar dan
hakim Patrialis Akbar tertangkap tangan oleh KPK karena menerima
gratifikasi/- suap. Ketua DPR juga setali tiga uang, terindikasi korupsi
kasus e-KTP, bahkan sang ketua menjadi trending topic karena ulah yang
sejatinya sangat memalukan. Beberapa kepala daerah seperti gubernur, wali
kota, dan bupati tak luput tertangkap tangan, serta lembaga-lembaga lain
seperti para hakim yang di bawah payung Mahkamah Agung, kepolisian,
kejaksaan. Lalu bagaimana hal-hal demikian ini dapat terjadi dan seolah negara
ini tanpa etika dan moral.
Lembaga
Negara yang Hancur
Rentetan peristiwa OTT itu
jelas memperburuk citra MA, MK, DPD, DPR, pemerintah daerah, dan
lembaga-lembaga lain di mata masyarakat. Sejatinya, publik belum melihat
prestasi perbaikan kinerjanya secara serius dari berbagai lembaga itu. DPR
masih menjadi sorotan karena di bidang legislasi kualitas kinerjanya dianggap
masih jauh dari harapan. Setelah hampir empat tahun, DPR menghasilkan hanya
beberapa undangundang (UU). Singkatnya capaian legislasi ini jelas di bawah
target yang menggambarkan rendahnya kinerja DPR di bidang legislasi.
Demikian pula kepolisian
yang sempat heboh dengan rekening gendut sejumlah petingginya. Ibarat pepatah
lama, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya. Lembaga yang
sejatinya diakibatkan oleh “oknum” pejabatnya itu menerima “tulah”
masyarakat, menerima hujatan, skeptisme, sinisme, dan ketidakpercayaan.
Dengan persepsi ini, masyarakat melihat banyak anggota DPR, DPD, hakim MK,
para hakim, jaksa, Polri, kepala daerah yang tidak peduli pada perbaikan
negara-bangsa Indonesia.
Rentetan OTT itu
memperlihatkan ketiadaan niat tulus menciptakan Indonesia yang bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme sesuai perintah undang-undang. Juga tidak
sejalan dengan ruh TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa. Berbagai peristiwa itu juga menggambarkan para elite politik,
elite pejabat negara lebih asyik dengan dirinya sendiri, untuk kepentingan
dirinya sendiri, dan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan publik.
Di samping TAP MPR, masih
ada kode etik di tiap profesi/lembaga yang seharusnya menjadi acuan mereka
dalam menjabat dan bekerja. Dari beberapa poin isi kode etik yang ada,
seharusnya kehormatan lembaga dapat dijaga dengan baik dan maksimal.
Sayangnya, marwah kehormatan itu belum dapat dijunjung tinggi dengan
semestinya. Yang ada para pejabat, elite-elite ini justru menciptakan sebuah
dunia hukum, yang dijajah oleh unsur citraan (image ), khususnya apa yang
disebut citra visual (visual image ).
Mengacu pada pemikiran
Heidegger(1995), didalamdunia hukum seperti itu, ada (being ) dan kebenaran
(truth ) dijajah dalam wujud citra kebenaran (image of truth ); keadilan
(justice ) dijajah oleh citra keadilan (image of truth ), yang dikonstruksi
di dalam berbagai media. Tanda palsu (pseudo sign ) mengambil alih realitas
dan kebenaran. (Yasraf Amir Piliang,2014). Di dalam dunia hukum yang dikuasai
oleh citra kebenaran dan citra keadilan, yang tercipta adalah sebuah dunia
fatamorgana hukum. Fatamorgana hukum sebagaimana yang telah dijelaskan adalah
sebuah citra tanpa realitas, yaitu sebuah penanda oasis yang tidak mempunyai
rujukan realitasnya (oasis yang konkret), sebuah realitas halusinasi.
Di dalam dunia politik,
teknologi citraan tersebut digunakan secara intensif, dalam rangka
menciptakan berbagai citra tentang seseorang, sebuah partai, sebuah negara.
Pembangunan citra (image building ) seorang calon presiden atau calon
legislatif di dalam berbagai media, dalam rangka kampanye politik, telah
menjadi bagian inheren dari dunia politik kontemporer, sehingga citra yang
dibangun secara artifisial tersebut akan sangat memengaruhi pilihan politik
seseorang. Kini, yang dipilih orang dalam sebuah pemilihan pemimpin
(presiden, anggota dewan) bukanlah orang, melainkan citra tentang orang
tersebut yang dibangun di dalam berbagai media (televisi, radio, koran,
internet, video).
Dalam pengertian inilah,
sebagaimana dikatakan Heidegger, pandangan dunia (world view ) setiap orang
telah dijajah dan dikendalikan oleh ontologi citra. Persoalannya adalah,
bahwa selalu saja ada jarak (gap ) antara dunia citraan dan dunia realitas
yang sesungguhnya. Citra itu kini berfungsi sebagai apa yang dikatakan oleh
Deleuze sebagai simulakrum, yaitu sebuah kopi atau ikon (realitas) dalam
bentuknya yang terdistorsi, melenceng, dan terdeviasi. Citra telah memangsa
dunia realitas dan membunuh kebenaran (Jean Baudrillard, 1983).
Menegakkan
Etika
Fenomena atau peristiwa
jungkir baliknya para politisi, eliteelite pejabat negara yang mempermainkan
etika disebut Rittel dan Weber (1984) sebagai wicked problems (masalah
tercela) yang secara ekstensi mencakup wicked politic (politik tercela).
Centang perenang “gaduh DPR” dapat dimasukkan kategori “wicked problem “
karena memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan
tidak etis (Magniz Suseno, 1975).
Bahkan, jika dilihat dari
sudut agama, kejadian-kejadian OTT itu menjadi masalah tercela karena
mengandung niat dan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT.
Rendahnya etika dan moral seperti ini dikaitkan dengan adagium syair Arab,
yang artinya, “Sesungguhnya bangsabangsa itu tegak selama akhlaknya tegak,
dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu.”(Nurcholish
Madjid, 1999). Dalam konteks ketatanegaraan, peristiwa itu telah menggerus
kualitas politik-demokrasi dan hukum. Penggerusan tersebut mencerminkan
defisit etika politik, moral, atau malah tunaetika yang berpijak pada tata
pemerintahan yang baik dan bersih.
Dalam hal etika, Gunnar
Myrdal menyebut bahwa negara yang sangat beretika sebagai “negeri tegar”
(tough state ) kendati mereka sekuler, contohnya Amerika Serikat yang tetap
tak menoleransi calon presiden Gary Hart yang sangat potensial, tetapi
berselingkuh dengan seorang foto model bernama Donna Rice asal Miami,
Florida. Gary Hart pun akhirnya gagal nyapres kala itu karena melanggar
etika.
Myrdal juga menyebut
Jepang sebagai “negeri tegar”, tampak dari tradisi para pejabatnya yang
mengundurkan diri karena menjunjung tinggi etika (kadang malah harakiri) jika
kedapatan dirinya atau bawahannya melanggar etika sosial. Korea Selatan,
pelopor NICs (Newly Industrializing Countries) adalah“negeritegar”, terlihat
bagaimana mereka memberantas korupsi sampai akar-akarnya, seperti yang pernah
dilakukan terhadap mantan presiden mereka, Chun Doohwan. Bagaimana dengan
negara kita? Gunnar Myrdal mengategorikan negara kita dengan soft state
(negeri lunak), yaitu dari segi etika sosialnya.
Benar tidaknya, tentu
bukan soal gampang. Tapi sepintas lalu, boleh kita bayangkan, andaikan
kriterium Gary Hart atau kriterium Jepang yang melahirkan harakiri, atau
Korea Selatan yang membuat mantan presiden mereka hidup tragis, itu semua
diterapkan di negara kita, barangkali bisa diperkirakan betapa “hebat”nya
keadaan negara kita. Di sinilah menjadi penting baik perorangan maupun para
pimpinan dan pejabat penyelenggara lembaga negara untuk selalu melakukan
introspeksi, yaitu melakukan dan menyatakan sepenuh hati untuk menjunjung
tinggi perilaku (etiket), agar tidak menghancurkan nama baik lembaga negara.
Kita harus mengubah
paradigma buruk tadi ke imej baru, yaitu dengan menegakkan etika dan moral.
Harus dipahami, pemimpin negara adalah sosok keteladanan bagi rakyat. Jika
misi ini gagal diusung, yang terjadi adalah skeptisisme, ketidakpercayaan
publik, bahkan sinisme pada perorangan ataupun kelembagaan seperti yang
akhir-akhir ini mulai kita rasakan. Saatnya citra lembaga negara dimurnikan
sebagaimana mestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar