Tantangan
Baru Eropa
A Agus Sriyono ; Diplomat; Pemerhati Masalah-masalah
Internasional
|
KOMPAS,
15 Desember
2017
Proses panjang integrasi Eropa yang dimulai
tahun 1950-an masih menyimpan sedikitnya tiga tantangan. Pertama, Jerman
sebagai pilar utama Uni Eropa sedang kesulitan membentuk koalisi
pemerintahan. Kedua, partai-partai ultrakanan menguat di sejumlah negara
Eropa. Ketiga, Spanyol menghadapi gerakan separatisme di Catalonia.
Sampai dua bulan setelah pemilu Parlemen
Jerman pada 24 September 2017, Angela Merkel belum juga berhasil membentuk
koalisi pemerintahan baru. Serangkaian pembicaraan gagal menyepakati koalisi
Uni Demokratik Kristen (CDU)/Uni Sosial Kristen (CSU) pimpinan Merkel dengan
Partai Demokrat Bebas (FDP) dan Partai Hijau. Artinya, Merkel yang berhaluan
konservatif menolak kompromi dengan FDP yang probisnis dan Partai Hijau yang
berorientasi kepentingan ekologis.
Apabila Merkel tidak juga berhasil
membentuk pemerintahan baru, Eropa akan guncang. Sejauh ini Merkel dinilai
sebagai figur utama pendukung integrasi Uni Eropa (UE) serta pengusung
nilai-nilai demokrasi liberal di Eropa. Merkel juga menjadi simbol kemakmuran
dan stabilitas Eropa.
Kegagalan Merkel membentuk pemerintahan
dikhawatirkan menciptakan instabilitas politik di Jerman yang berdampak pada
instabilitas Eropa mengingat Jerman merupakan kekuatan militer dan ekonomi
utama Eropa.
Tantangan lain berupa menguatnya dukungan
rakyat terhadap partai ultrakanan. Umumnya, partai-partai ini mengusung
slogan anti-Islam, antipendatang, antikemapanan, dan anti-UE. Pandangan
demikian berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut selama ini.
Proses keluarnya Inggris dari UE serta upaya pemisahan diri Catalonia dari
Spanyol merupakan tantangan lain dalam mempertahankan keutuhan UE.
Instabilitas
Jerman
Jalan buntu yang dihadapi Angela Merkel
dalam negosiasi pembentukan pemerintahan baru dapat berujung pada
instabilitas politik. Sejak 1949, sistem politik Jerman selalu disangga oleh
pemerintahan koalisi dengan budaya konsensus. Namun, kehadiran Partai
Alternatif bagi Jerman (AfD) yang berhaluan ultrakanan di Parlemen tampaknya
mengikis budaya konsensus. ”Absolutisme politik” menggeser tradisi konsensus
yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.
Memang, idealnya CDU/CSU berkoalisi dengan
Partai Sosial Demokrat (SPD) sebagaimana pemerintahan sebelumnya. Hanya Ketua
SPD Martin Schulz pernah menyatakan tidak bersedia duduk dalam pemerintahan.
Konsekuensinya, CDU/CSU berkoalisi dengan partai lain. Pilihan koalisi dengan
FDP dan Partai Hijau gagal sepakat. Akibatnya, Ketua FDP Christian Lindner
pada 19 November 2017 menyatakan menarik diri dari perundingan. Belakangan
muncul optimisme ketika SPD bersedia berunding tentang kemungkinan membentuk
”grand coalition” dengan CDU/CSU.
Sulitnya mencapai konsensus di antara empat
partai politik berakar pada masalah migrasi, perubahan iklim, dan perpajakan.
Sebagaimana kemudian ditawarkan Merkel, jalan keluar dari kebuntuan ini dapat
berupa pembentukan pemerintahan minoritas atau diselenggarakan pemilu ulang.
Opsi pemerintahan minoritas jelas riskan secara politik; sedangkan pemilu
ulang tidak menjamin menciptakan stabilitas politik. Bahkan, sejumlah
pengamat memperkirakan hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan pemilu
sebelumnya.
Mencermati perkembangan di atas, kini Eropa
dan dunia menunggu dengan cemas babak akhir proses pembentukan pemerintahan
baru di Jerman. Menurut Thomas-Brockhoff, Direktur the German Marshall Fund,
tidak tercapainya konsensus keempat partai politik karena tidak ada coalition
of the willing.
Kecenderungan menguatnya partai-partai
politik ultrakanan di Eropa menjadi tantangan tersendiri. Sejauh ini,
partai-partai politik ultrakanan sudah menyebar di Perancis, Belanda,
Austria, Swedia, Norwegia, Finlandia, Denmark, Yunani, Italia, Spanyol, dan
Swiss.
Meskipun umumnya partai-partai ini belum
memerintah, ke depan bukan mustahil mereka menang dalam pemilu di negaranya.
Dalam pemilihan presiden Austria tahun lalu, Norbert Hofer, calon Partai
Kebebasan yang ultrakanan, memperoleh 46,7 persen suara meskipun tidak
terpilih sebagai presiden.
Kebangkitan
ultrakanan
Partai politik ultrakanan (far-right)
mengalami kebangkitan dan mulai populer di Eropa pada dekade 1990-an. Menurut
Jean-Yves Camus dan Nicolas Lebourg dalam buku Far Right Politics in Europe
(2017), ideologi ultrakanan Eropa merupakan pertemuan antara nasionalisme,
sosialisme, anti-Semitisme, dan autoritarianisme. Kebangkitan partai-partai
ultrakanan merupakan wujud pencarian identitas nondemokrasi karena demokrasi
pada hakikatnya menghargai pluralisme, persamaan hak, dan kebebasan individu.
Menguatnya gerakan ultrakanan seiring
dengan munculnya nasionalisme baru di Eropa sebagai antitesis terhadap membanjirnya
imigran dari kawasan Miditerania, Afrika, dan Timur Tengah. Nasionalisme baru
di Eropa merekonstruksi ”bangsa” sebagai imagined community berdasarkan
kesamaan bahasa, keyakinan, dan keturunan sehingga bercorak antipendatang.
Perlu dicatat, antara negara asal imigran
dan negara tujuan umumnya memiliki hubungan sejarah. Negara asal imigran
biasanya merupakan bekas koloni negara-negara Eropa.
Sikap politik partai ultrakanan yang
anti-UE tentu saja merupakan ancaman bagi integritas UE. Kaum ultrakanan
berasumsi, UE sudah jadi sebuah ”negara federasi” yang menafikan kedaulatan
dan kepentingan nasional setiap negara. Dalam bahasa Geert Wilders, pemimpin
Partai Kebebasan Belanda, ”UE telah merampas uang, identitas, demokrasi, dan
kedaulatan Belanda”.
Referendum
Catalonia
Keluarnya Inggris dari UE, disusul
referendum di Catalonia 1 Oktober 2017 yang menghasilkan 90 persen suara
memilih pisah dari Spanyol dan pernyataan kemerdekaan Catalonia, merupakan
tantangan lain bagi Eropa. Meskipun Pemerintah Spanyol kemudian menerapkan
Pasal 155 dari konstitusi yang intinya memberikan kewenangan pemerintah pusat
mengontrol wilayah otonomi, gerakan separatisme semacam ini bisa
menginspirasi kelompok-kelompok lain.
Terkait UE, mengingat Spanyol negara
anggota UE, dukungan politik UE terhadap keutuhan negara Spanyol mutlak
perlu. Di sini UE selayaknya memberikan dukungan penuh kepada kedaulatan dan
integritas negara Spanyol. Dukungan politik ini kedepan bisa menjadi preseden
bagi anggota UE lain apabila menghadapi masalah serupa.
Meski sejauh ini prospek kemerdekaan
Catalonia kurang karena resistensi Pemerintah Spanyol, tidak ada dukungan UE dan
internasional terhadap kemerdekaan Catalonia, isu Catalonia bisa jadi
pelajaran berharga bagi UE.
Di sisi lain, keberhasilan pelaksanaan
referendum di Catalonia bisa menguatkan keinginan Skotlandia menuntut
referendum kedua: menentukan apakah tetap atau keluar dari Kerajaan Inggris.
Salah satu alasan karena saat referendum UE, 62 persen rakyat Skotlandia
berkeinginan tetap bergabung dalam UE. Apakah kelak Catalonia dan Skotlandia
akan berhasil memisahkan diri, menjadi pekerjaan rumah UE. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar