Merebut
Masa Depan Pertanian
Sofyan Saf ; Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB
|
KOMPAS,
15 Desember
2017
Empat bulan lalu, seorang profesor
sosiologi senior dari universitas ternama di Indonesia bertandang ke kantor
kami, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian
Bogor. Kedatangan profesor tersebut tidak lain hanya ingin menyampaikan bahwa
para sosiolog harus mampu keluar dari ”jebakan masa lalu” dan bersatu untuk
”merebut masa depan pertanian dan desa” sebab, ungkapnya, ”di situlah masa
depan kesejahteraan Indonesia berada!”
Ketika bertemu, sang profesor sosiologi
senior tersebut memulai dengan pernyataan, ”kita lagi mengalami kekalahan
teori-teori pembangunan sosial Timur dari teori-teori pembangunan sosial
Barat”. Ungkapan yang terkesan
pesimistis sang profesor senior tersebut sangat beralasan, karena dari
pengamatannya, telah terjadi penyimpangan pembangunan pertanian dan desa yang
tidak bersesuaian dengan konteks sosio-kultur bangsa ini.
Ironi
pembangunan
Menurut sang profesor, para intelektual dan
teknokrat yang terlibat dalam desain pembangunan pertanian dan desa saat ini
seolah ikut tenggelam dan kehilangan daya kritis dengan pencapaian
angka-angka produksi, pertumbuhan, investasi, dan sebagainya, yang, menurut
dia, menafikan kondisi dan realitas masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Akar masalah semua itu, menurut sang profesor senior, adalah keyakinan para
intelektual dan teknokrat Indonesia dengan kemampuan teori-teori pembangunan
dari Barat untuk memecahkan ragam persoalan pembangunan di Indonesia.
Padahal, kenyataannya tidak demikian!
Saya pun menyadari bahwa kearifan
intelektual sang profesor senior mengingatkan kita bahwa paham berkelanjutan
(sustainabilism) dalam pembangunan yang memperoleh tempat hari ini merupakan
kelanjutan transformasi dari developmentalism (modernisasi) dan globalism
(liberalisasi). Keseluruhan isme (paham) tersebut menyisakan masalah-masalah
pembangunan. Untuk itu, sang profesor risi melihat para intelektual dan
teknokrat kita yang bangga dengan khotbah-khotbahnya tentang green
development, low carbon development, blue development, dan berbagai konsep
yang sesungguhnya di luar tapak perkembangan masyarakat Indonesia.
Tentang hal di atas, Prof Sajogyo di medio
1973 dengan lantang mengatakan modernisasi tidak memeratakan pembangunan,
sebaliknya memperkuat polarisasi si miskin dan si kaya. Ungkapan ini kemudian
dikenal dengan istilah modernization without development. Sepuluh tahun
kemudian, seorang ekonom bernama Mabhul Haq (1983) mengungkapkan bahwa
terdapat tujuh dosa perencanaan pembangunan, yakni: (1) permainan angka; (2)
pengendalian yang berlebihan; (3) investasi yang menggiurkan; (4) pendekatan
yang dianggap benar; (5) perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah; (6)
sumber daya manusia yang terabaikan; dan (7) pertumbuhan tanpa keadilan.
Lalu bagaimana dengan faktanya di negeri
kita ini? Pertama, desa-desa kita kaya potensi pangan, tetapi ironinya negeri
ini tak berhenti melakukan impor pangan. Dalam catatan kami, dari 74.754 desa
dan 8.430 kelurahan, sebanyak 73,14 persen adalah desa-desa bertipologi
pertanian.
Kedua, hal yang menyedihkan, desa-desa
bertipologi pertanian tersebut dominan berstatus desa tertinggal (29,135
persen) dan berkembang (40,666 persen), sisanya desa mandiri (3,977 persen).
Ketiga, selama 72 tahun Indonesia merdeka, problem substansi bangsa
(kemiskinan) belum mampu teratasi dengan baik meskipun angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 5,8-8 persen.
Keempat, golongan muda sebagai subyek dari
kemiskinan ekstrem. Catatan White (2011) menyebutkan, setengah populasi
penduduk negara-negara berkembang adalah penduduk yang tergolong pemuda dan
70 persennya hidup dalam kemiskinan ekstrem dan tinggal di pedesaan. Kelima,
terjadi lost generation, yakni keadaan ketika pemuda desa tidak lagi tertarik
pada pertanian, melainkan bekerja di sektor lain atau bermigrasi ke daerah
lain (Vellema, 2011). Untuk kasus Indonesia, fenomena tersebut disebabkan
minimnya sosialisasi orangtua ke generasi muda, kohesivitas teman sebaya yang
rendah, dan pertanian dianggap sebagai penggerak pekerjaan yang tidak
menjanjikan secara ekonomi (Ningsih & Sjaf, 2015).
Keenam, ancaman narkoba untuk golongan muda
Indonesia. Badan Narkotika Nasional
(2016) mencatat 5,1 juta penduduk (2,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia)
menyalahgunakan narkoba. Beberapa penelitian menyebutkan, hal tersebut
disebabkan gaya hidup yang cenderung boros dan golongan muda kita tidak
mengenal dengan baik peluang dari potensi sumber daya pertanian dan pedesaan
yang ada saat ini.
Ketujuh, maraknya indikasi korupsi dana
desa. Fakta terakhir ini disebabkan adanya kesenjangan pengetahuan, sikap,
dan perilaku aparat desa; dominannya elite desa dalam sistem perencanaan
desa; regulasi pemerintah yang tak kontekstual terhadap persoalan yang ada di
desa; serta lemahnya sistem monitoring dan evaluasi partisipatif dalam
penggunaan dana desa.
Merebut
masa depan
Ketujuh fakta pembangunan di atas
mengisyaratkan bahwa pertanian dan desa ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan dan memiliki akar masalah serta bangunan isu strategisnya.
Adapun akar masalah yang penting dikenali
terkait pertanian dan pedesaan adalah kebijakan yang berorientasi pada
produksi, tetapi melupakan dimensi sosial dan budaya petani dan masyarakat
desa; komodifikasi pangan; disorientasi kebijakan; lemahnya politik pangan
dan kepemimpinan; ketidakberdayaan desa; minimnya kesadaran spasial dalam
pembangunan desa yang ditunjukkan oleh pemanfaatan dana desa yang belum
sesuai dengan tipologi/potensi desa; serta problem pandangan hidup generasi
muda yang cenderung dan berharap terserap pasar dunia kerja daripada
menciptakan peluang dan pasar kerja.
Dengan demikian, isu strategis pertanian
dan pedesaan adalah aksi pembangunan pertanian dan pedesaan yang menggerakkan
petani dan pemuda desa secara transformatif dan partisipatif untuk kemakmuran
rakyat Indonesia. Isu strategis ini akan memiliki efek terhadap kesejahteraan
apabila didukung dengan tiga pilar, yaitu pertanian sebagai basis ekonomi
desa, petani dan pemuda desa sebagai subyek, serta inovasi teknologi sebagai
instrumen aksi.
Ke depan, populasi penduduk akan terus
bertambah, akan terjadi perebutan sumber daya di pedesaan, dan akan terjadi
kemajuan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah
kemampuan kita mengorganisasi potensi bonus demografi (dominasi golongan muda
produktif), pertambahan kelas menengah, dan kekayaan sumber daya agraris yang
kita miliki. Dengan kata lain, kita harus merebut masa depan Indonesia,
merebut masa depan pertanian dan desa!
Merebut masa depan pertanian dan desa
dibutuhkan dua hal, yakni pengorganisasian desa dan pengorganisasian pemuda
tani. Kedua bentuk pengorganisasian tersebut memerlukan tata kelola
pembangunan pertanian dan desa yang baik dan benar. Tiga unsur tata kelola
pembangunan pertanian yang dibutuhkan ke depan adalah: (1) kebijakan dan
penguatan akses petani/pemuda desa terhadap input produksi; (2) inovasi dan
pengembangan strategi riset pertanian; serta (3) penguatan kelembagaan
produksi dan pascaproduksi.
Sementara itu, terdapat tiga unsur tata
kelola pembangunan pedesaan, yakni: (1) penataan dan perencanaan desa yang
benar; (2) membangun kerja sama antardesa; serta (3) mengelola aset desa dan
investasi masuk desa melalui badan usaha milik (BUM) desa/BUM desa bersama.
Baik tata kelola pembangunan pertanian maupun tata kelola pembangunan desa
harus diletakkan pada subyek pembangunan itu sendiri, yang tidak lain adalah
masyarakat petani dan pemuda desa!
Oleh karena itu, strategi pemberdayaan
(empowerment strategy) menjadi sentral dalam tata kelola pembangunan
pertanian dan desa. Tanpa pemberdayaan, tidak akan mungkin tata kelola
pembangunan pertanian dan desa terwujud! Oleh karena itu, tiga dimensi yang
perlu ditekankan dalam strategi pemberdayaan dalam tata kelola pembangunan
pertanian dan desa adalah pengetahuan, kesadaran, dan tindakan. Ketiga
dimensi ini akan berdampak pada posisi tawar petani dan masyarakat desa,
kemampuan berdikari, kapasitas yang mumpuni, dan tumbuhnya ekonomi lokal yang
diikat dengan kekuatan solidaritas.
Waktu terus berjalan. Dua puluh sampai tiga
puluh tahun ke depan kita akan menghadapi persoalan yang genting di negeri
ini. Kekhawatiran sang profesor sosiologi akan terjawab seiring kita
memperkuat petani dan pemuda desa dengan berbagai inovasi yang memberdayakan.
Inovasi yang memberdayakan tersebut akan menciptakan tata kelola pembangunan
pertanian dan desa yang mampu mewujudkan desa kuat, Indonesia kuat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar