Peta
Jalan Mengatasi Intoleransi
Alamsyah M Dja'far ; Senior Officer Riset, Advokasi, dan Kebijakan
Wahid Foundation
|
KOMPAS,
11 Desember
2017
Ada banyak tumpukan kasus dan hasil riset
yang menunjukkan intoleransi kian mengembang di negeri. Misalnya kasus
seorang bocah beretnis Tionghoa yang sempat viral lewat media sosial adalah
korban perisakan. Sebelumnya, kita dipertontonkan menguatnya kebencian
terhadap umat Buddha lantaran kasus kekerasan terhadap Muslim Rohingya di
Myanmar. Kasus lain, tentu saja kasus Pilkada DKI Jakarta dan dampak
lanjutannya yang masih dirasakan hingga saat ini.
Apa yang paling bermasalah dari tindakan
intoleransi adalah karena tindakan-tindakan tersebut menyasar langsung
fondasi berbangsa-bernegara: konstitusi. Intoleransi adalah sikap yang
menghambat atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan yang dijamin
konstitusi, khususnya terhadap kelompok yang tak disukai atas dasar identitas tertentu seperti
etnis, orientasi seksual, asal-usul
kebangsaan, baik seagama maupun berbeda agama.
Perkara penting lain yang mesti dicatat,
intoleransi menjadi ”gang-gang” menuju pelanggaran dan bentuk kekerasan yang
lebih berbahaya. Tentu saja ada sejumlah faktor atau tangga bagaimana
intoleransi berujung kekerasan fisik. Intoleransi merupakan gejala yang
dimulai dari penyebaran ide, kata-kata, dan aksi-aksi yang berujung pada
kekerasan. Intoleransi bagai sumbu penyulut konflik kemanusiaan. Intoleransi
juga gerbang bagi aksi-aksi radikalisme.
Ada banyak kasus dan konflik kekerasan di
Indonesia yang dimulai dari tindakan intoleransi. Sebut saja beberapa contoh,
kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah (2005), pengusiran komunitas Syiah
Sampang (2012), atau yang menimpa Komunitas Muslim di Tolikara (2015).
Gejalanya dimulai dari kebencian, penyesatan, stigma, diperparah diskriminasi
pemerintah, dan akhirnya berbuah kekerasan.
Di luar dunia ”offline”, kenyataan
intoleransi di dunia online jauh lebih masif: penyebaran berita palsu dan
ujaran kebencian. Bagi pengguna media sosial, ujaran kebencian seolah menu
sarapan saban pagi hari. Kasus Saracen menunjukkan betapa maraknya
intoleransi di media sosial merupakan hasil dari bisnis yang nyatanya
memiliki ceruk pasar sendiri. Bahkan, terdapat beberapa kasus di mana pelaku
usaha juga jadi korban tindakan intoleransi.
Perlu
komitmen bersama
Tak ada pihak yang dapat menyelesaikannya
sendiri. Harus ada komitmen bersama, setidaknya dua pemangku kepentingan
utama: pemerintah dan masyarakat sipil. Keberhasilan usaha-usaha ini amat
bergantung pada peran yang dimainkan keduanya. Kita harus ingat bahwa
intoleransi dewasa ini bukan khas Indonesia, tetapi gejala global.
Agar gerakan ini efektif, kita amat
membutuhkan strategi nasional dan rencana aksi nasional penanganan
intoleransi. Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Lombok pada 23-25
November 2017 juga menelurkan rekomendasi kepada pemerintah untuk
mengembangkan strategi nasional menangani radikalisme. Organisasi Muslim
terbesar ini menekankan pentingnya daya upaya untuk mencegah sebelum
kasus-kasus radikalisme—termasuk terorisme—meledak.
Dapat dikatakan, strategi ini telah jadi
kebutuhan bersama antara negara dan warganya. Karena itu, proses
penyusunannya harus melibatkan seluas mungkin komponen masyarakat.
Gagasan inilah yang sekarang tengah
diupayakan oleh Wahid Foundation, lembaga yang berusaha melanjutkan gagasan
dan perjuangan KH Abdurrahman Wahid dalam menyemai Islam damai di Indonesia
dan dunia. Bersama jaringan, Wahid Foundation hendak ikut berkontribusi
mendorong adanya strategi nasional yang akhirnya jadi kebijakan pemerintah.
Tentu saja semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses ini semakin baik.
Berdasarkan berbagai kajian dan riset Wahid
Foundation, setidaknya harus ada tiga pilar yang mesti dikembangkan:
penguatan nilai, pencegahan, dan penanganan. Penguatan nilai merupakan
strategi yang mengarahkan sasaran pada menguatnya dukungan dan internalisasi
nilai-nilai toleransi dan meninggalkan aksi-aksi radikalisme. Misalnya
mendorong kelompok moderat bersuara lebih lantang dan memperkuat basis-basis
anggota mereka. Strategi pencegahan diarahkan untuk mencapai sasaran
menurunnya tingkat dukungan dan kesediaan individu atau kelompok untuk
melakukan tindakan intoleransi dan radikalisme.
Pilar penguatan nilai dapat diarahkan pada
mereka yang ”sehat”, sedangkan pencegahan diarahkan pada mereka yang
”rentan”, sementara penanganan pada
yang sudah ”sakit”. Laporan Survei Nasional Wahid Foundation tentang Potensi
Radikalisme Sosial Keagamaan dan Intoleransi 2016 menyebut responden yang
toleran (sehat) sebesar 0,6 persen, yang rentan 50,4 persen, dan yang
intoleran (sakit) 49 persen. Data itu dihitung dari 59,9 persen yang memiliki
kelompok tidak disukai.
Survei tahun lalu itu juga menyajikan satu
analisis penting ini. Jika kita ingin mengatasi intoleransi sekaligus
radikalisme, bergeraklah ke sumbu masalahnya: ketidaksukaan. Ketidaksukaan
jika tak ditangani bakal bergerak menjadi kebencian, lantas beranjak kepada
tindakan-tindakan intoleran. Tantangannya apa yang tak disukai dan disukai
sering kali dibentuk oleh informasi, termasuk lewat media sosial. Maka, upaya
menangani intoleransi juga harus bergerak dari sini. Penulis yakin, dengan
mengurangi ketidaksukaan, intoleransi bakal jauh berkurang.
Dalam menjalankan strategi nasional ini
penting pula menyepakati prinsip-prinsip dasar agar langkah besar ini justru
tak membangun masalah baru. Misalnya prinsip kerja sama dengan masyarakat
sipil dan organisasi keagamaan, mempertimbangkan nilai dan tradisi-tradisi
lokal, dan menjalankan prinsip hak asasi manusia.
Di atas semua itu, strategi dan rencana ini
hanya bakal menjadi kertas kebijakan jika tidak dibarengi dengan keseriusan
menjalankan dan mengevaluasi pelaksanaannya. Di sinilah komitmen kita sebagai
bangsa dan negara diuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar