Kontroversi
Jerusalem
Broto Wardoyo ; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional,
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
11 Desember
2017
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump
untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem memicu kontroversi.
Keputusan tersebut diambil di tengah kevakuman proses perdamaian dan hanya
akan mendorong pada meningkatnya tensi.
Jerusalem merupakan salah satu agenda
perdamaian paling rumit dalam konflik Palestina-Israel. Masalah Jerusalem
memiliki tiga dimensi yang berkelindan menjadi satu. Dimensi pertama yang
sifatnya materialis adalah batas. Perdebatan mengenai batas ini menjadi rumit
karena kedua pihak sama-sama mengklaim Jerusalem bersatu, untuk merujuk pada
Jerusalem Timur dan Jerusalem Barat sebagai ibu kota negara. Israel secara
resmi mengadopsi UU Jerusalem tahun 1980 yang membuat negosiasi batas menjadi
semakin sulit untuk dilakukan.
Kedua, masalah Jerusalem juga terkait
pengungsi dan permukiman yang berkaitan dengan masalah identitas. Morris
(2004) menjelaskan secara detail kebijakan Haganah dalam mengusir pemukim
Arab dari berbagai wilayah, termasuk Jerusalem, dalam Perang 1948. Selama
ini, Israel hanya mengakui eksistensi pengungsi pada mereka yang diusir paksa
dalam perang ini, tanpa memasukkan mereka yang secara mandiri pindah karena
takut akan jadi korban perang.
Posisi ini jauh berbeda dengan posisi
Palestina yang juga mempertimbangkan mereka yang mengungsi secara mandiri
dalam perang ini dan mereka yang diusir paksa sesudah Perang 1948. Masalah
pengungsi juga beririsan dengan kebijakan pembangunan Yahudi yang mendorong
wilayah Israel untuk menguasai Jerusalem. Apalagi, dalam periode pemerintahan
Benjamin Netanyahu, pembangunan permukiman Yahudi baru di Jerusalem terjadi
secara masif.
Ketiga, dan mungkin yang paling rumit,
masalah Jerusalem juga terkait keberadaan situs suci bagi tiga agama
Abrahamik. Masalah terakhir ini, yang sifatnya supranatural, menjadi ganjalan
paling serius bagi penyelesaian final isu Jerusalem.
Kian
rumit
Usulan bagi penyelesaian Jerusalem selama
ini didominasi oleh penyerahan Jerusalem di bawah kontrol internasional,
terutama PBB. Meski usulan ini sebetulnya baik, tetapi tak punya dukungan
politik yang memadai, terutama dari kedua pihak yang bertikai. Tahun 2000,
Presiden Bill Clinton mengusulkan kontrol atas wilayah suci di tangan kedua
pihak, Palestina atas Haram al-Syarif dan Israel atas Tembok Ratapan, atau
kontrol bersama untuk menyelesaikan masalah Jerusalem. Hanya saja, usulan
tersebut tidak mendapat dukungan dari kedua pihak.
Negosiasi perdamaian Palestina-Israel
sendiri mandek sejak berakhirnya perundingan Camp David tahun 2000 atau
beberapa bulan sebelum usulan Clinton (Clinton Parameters). Meski setelah
Camp David terdapat beberapa perundingan antara Palestina dan Israel, tidak
ada kesepakatan signifikan yang dicapai. Kemandekan proses perdamaian
tersebut berdampak pada melemahnya dukungan publik Palestina dan Israel
terhadap proses negosiasi.
Di Palestina, melemahnya dukungan tersebut
diisi dengan peningkatan dukungan pada pilihan bersenjata yang diambil Hamas
dan berkontribusi pada meningkatnya posisi politik mereka. Fatah yang
mendominasi pemerintahan memilih langkah membawa penyelesaian masalah
Palestina melalui jalur multilateral. Langkah tersebut dalam beberapa taraf
berhasil dengan pengakuan Palestina sebagai negara pengamat non-anggota PBB
tahun 2012. Selain itu, Palestina juga diterima sebagai anggota di beberapa
organ utama PBB.
Di Israel, kegagalan proses perdamaian
membawa publik pada pilihan politik yang lebih kanan. Partai-partai nasional
dan ortodoks mendapatkan kemenangan politik dengan agenda ekonomi mereka.
Secara sistematis mereka juga mengambil kebijakan yang mendorong okupasi
lebih jauh terhadap wilayah-wilayah sengketa, termasuk Jerusalem. Dalam
konteks ini, kemandekan proses perdamaian pun dibayar mahal dengan semakin
rumit situasi di lapangan yang membawa dampak pada tingkat kesulitan lebih
tinggi dalam menyelesaikan ketiga dimensi masalah Jerusalem.
Kian
memburuk
Salah satu faktor yang berkontribusi
signifikan memburuknya kondisi tersebut adalah berkurangnya peran AS sebagai
mediator perdamaian. Sejak 2000, tak ada negara atau aktor lain yang sanggup
memainkan peran sebagai penengah negosiasi. Meski peran AS sebagai mediator
sering mendapatkan kritik karena cenderung pro-Israel, dalam realitasnya
mereka mampu berperan sebagai buffer untuk mendorong status quo semaksimal
mungkin. Keputusan yang diambil Trump hanya mempertegas sikap AS yang
cenderung pro-Israel.
Selama ini, sikap AS dalam isu posisi
Jerusalem sebagai ibu kota Israel cenderung mendua. Kongres AS meloloskan
Jerusalem Embassy Act tahun 1995. Dalam tataran domestik, calon-calon
presiden AS senantiasa menjanjikan pemindahan, terutama ketika mereka bertemu
kelompok Yahudi untuk mendapatkan dukungan. Hanya saja, ketika sudah
menjabat, mereka akan lebih memilih menandatangani waiver untuk mencegah
komplikasi pada proses perdamaian.
Lebih dari satu dekade sebelumnya, setelah
Israel mengadopsi UU Jerusalem, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478,
yang menyatakan bahwa UU itu tak bisa diberlakukan dan harus dicabut. Dari 15
anggota DK PBB, AS satu-satunya negara yang abstain meski tidak menolak.
Resolusi tersebut juga memerintahkan negara mana pun yang sudah memiliki
perwakilan diplomatik di Jerusalem segera memindahkannya.
Di luar mandat resolusi tersebut, keputusan
memindahkan kedutaan ke Jerusalem juga memiliki komplikasi keamanan. Wilayah
Jerusalem, terutama Jerusalem Timur, salah satu wilayah paling rawan di Tepi
Barat. Pada Juli 2017, misalnya, 91 dari 222 serangan terjadi di Jerusalem.
Bulan selanjutnya, 25 dari 110 serangan terjadi di Jerusalem. Pada September
2017 terjadi 29 serangan di Jerusalem dari total 103 serangan di seluruh
wilayah yang ada di bawah kontrol Israel. Terakhir, Oktober, 18 dari 71
serangan terjadi di Jerusalem, satu di antaranya terjadi di dalam garis
hijau.
Angka tersebut jauh lebih besar jika
dibandingkan serangan yang terjadi atau dilakukan dari Jalur Gaza. Pemindahan
kedutaan AS ke Jerusalem hanya akan membawa konsekuensi pada meningkatkan
jumlah serangan di Jerusalem. Apalagi sejak Trump berkuasa, kebijakan AS
terhadap Palestina cenderung negatif, termasuk ancaman penutupan kantor PLO
di Washington DC, beberapa waktu lalu.
Sikap tegas harus ditujukan pada keputusan
Trump. Penolakan secara resmi terhadap kegilaan sesaat tersebut harus tetap
disampaikan. Namun, lebih mendasar dari hal tersebut, upaya menghidupkan
kembali negosiasi antara Palestina dan Israel harus dilakukan. Peran mediator
harus diisi agar komunikasi di antara kedua pihak yang bertikai bisa
dilakukan dan perubahan-perubahan yang sifatnya mendasar di lapangan bisa
dicegah. Hal tersebut juga akan meminimalkan perilaku petualang seperti yang
diambil Presiden Trump. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar