Pembangunan
Berstrategi Budaya
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
27 Desember
2017
Mesti diakui, istilah
kebudayaan—terlepas dari apa yang dipahami tentangnya—belakangan jadi bahan
perbincangan atau sorotan media publik.
Negara, melalui
pemerintah, seolah menaruh perhatian besar pada masalah di seputar istilah
tersebut. Setidaknya lewat berbagai wacana hingga simbol-simbolnya, seperti
yang ditampilkan dalam perayaan kemerdekaan di Istana Negara beberapa waktu
lalu. Bahkan, Persatuan Purnawirawan AD pun baru-baru ini menyelenggarakan
seminar nasional mengenai hal tersebut, entah berdasar urgensi apa.
Namun, di tengah
pergumulan diskursif yang sebenarnya lebih dipenuhi ungkapan sloganistik itu,
ternyata masih sering kita temukan pengertian yang salah kaprah memahami
kebudayaan (di tingkat ideal/abstrak hingga konkret/praksisnya). Hal ini
terjadi tidak hanya pada masyarakat umum secara wajar, tetapi juga di
kalangan terdidik atau kelas menengah. Lebih mengkhawatirkan lagi, kekeliruan
itu pun terjadi hampir secara permanen di kalangan elite, khususnya mereka
yang punya kuasa menentukan kebijakan.
Dalam pemahaman keliru
itu, kebudayaan bukan saja dimunculkan dan dibesar-besarkan menjadi semacam
bubble atau gelembung besar yang kosong, secara politis dan sosial, tetapi
juga disikapi dan dikonkretkan dalam kebijakan yang jika tidak dipinggirkan,
dinafikan, bahkan cenderung dihina oleh mereka: para pengambil kebijakan, di
pusat ataupun di daerah.
Di tingkat infrastruktur,
atau lebih dini lagi dalam anggaran negara (APBN), apa yang dulu saya
sesalkan di depan presiden terdahulu—negara menghina kebudayaan dengan
memberi anggaran hanya Rp 2.000 per kapita untuk mengurus begitu banyak hal di
seputar bidang itu—ternyata tidak berubah sama sekali keadaannya hingga hari
ini. Presiden keenam yang saya kritik itu akhirnya menaikkan anggaran
kebudayaan lebih dari dua kali lipat pada APBN 2015 menjadi Rp 1,7 triliun,
katakanlah menjadi Rp 6.000 atau sekitar 2,5 dollar AS per kapita.
Masih sangat belum
memadai, tetapi mungkin memberi sinyal baik, seperti ditunjukkan APBN
berikutnya yang disusun pemerintahan baru, menambah anggaran kebudayaan
(walau sedikit) menjadi Rp 1,85 triliun. Namun, dalam APBN-P tahun yang sama,
jumlah itu malah menyusut jadi Rp 1,5 triliun.
Di banyak daerah pun
kondisinya serupa. Taman Budaya Medan, Sumatera Utara, misalnya, sudah lama
disebut ”rawa” atau kolam buaya karena setiap hujan deras auditorium utama
menciptakan kolam air yang tidak hanya menghalangi ekspresi seni, tetapi juga
sukses merangsang imajinasi seniman setempat membayangkan reptil purba santai
bermukim di kolam itu. Atau salah satu provinsi di Jawa, mengalokasikan dana
untuk dewan kesenian setempat hanya Rp 75 juta per tahun. Nilai yang bahkan
terlalu minim untuk membuat satu perhelatan seni/pertunjukan saja. ”Apa ini
bukan penistaan atau penghinaan pada kebudayaan?”
Di Ibu Kota, kondisinya
setali-segobang. Anggaran kebudayaan dalam APBD 2018 di kisaran Rp 100 miliar
dari total APBD yang Rp 77 triliun lebih. Itu pun, tentu saja, harus dibagi
dua dengan urusan pariwisata. Sebuah kode politik yang memberi makna bahwa
kebudayaan sama sekali tidak lebih penting, bahkan dari urusan pemuda dan
olahraga yang tiga kali lipat budgetnya, bidang komunikasi dua kali lipat.
Anggaran kebudayaan malah lebih rendah daripada urusan (dinas) pemadam
kebakaran.
Jika ditanya langsung,
semua pejabat negara/publik tentu dengan penuh bunga kata-kata akan
melambungkan posisi dan fungsi kebudayaan yang fundamental dalam pembangunan.
Semua jawaban yang menyiratkan betapa para pengambil kebijakan di negara ini
memang mempermanensi komprehensi yang keliru, sebagai pre-teks untuk tidak
membuang uang bagi kegiatan bergenit-genit di dunia artistika atau estetika.
Pembangunan
tiada adab
”Bergenit-genit” tentu
saja adalah ekspresi yang sinistik terhadap pemahaman para pengambil
kebijakan terhadap kebudayaan sebagai ”hanya” kerja di seputar kesenian.
Praktik kebijakan pemerintah di semua levelnya hanyalah turunan atau
konsekuensi logis dari pemahaman yang keliru-akut tentang kebudayaan. Apa
yang diurus dan dihasilkan dari semua kebijakan itu hanyalah bentuk-bentuk
yang dominan material/fisikal, yang tidak lain merupakan ”produk kebudayaan”,
bukan kebudayaan itu sendiri selaku produsen dari semua produk berbentuk
artefak, ecofak, ideofak, dan sebagainya.
Kebudayaan yang
dijargonkan sebagai fondasi atau tulang-tulang dari gedung pembangunan tentu
saja bukanlah manekin-manekin yang genit secara artifisial juga virtual itu.
Dia tidak lain adalah produsen yang memungkinkan manusia atau sebuah bangsa
memproduksi karya-karya yang menjadi indikator, tolak ukur, juga isi dari
pembangunan itu. Dia adalah sebuah khazanah abstrak berisi ide-ide (yang idealistik,
bisa dipelesetkan jadi ”ideologis”) dari sebuah komunitas atau bangsa yang
berisi wawasan dunia (weltanschauung), di mana visi (masa depan) dan misi
(cara mencapainya) menjadi ”keluaran”-nya.
Maka, sungguh hidup (baca:
pembangunan) akan sia-sia jika hanya disibukkan dengan menghias produk-produk
kebudayaannya, bukan ide atau gagasan di baliknya, bukan apa yang dapat
menghasilkan itu semua, bukan manusia di mana ide itu berkelindan di
dalamnya. Kesia-siaan itu akan terbukti ketika semua pembangunan
infrastruktur, misalnya, baik yang fisik, sistemik, maupun institusional
tidak berfungsi, bahkan rusak total ketika manusia sebagai pengguna atau
pengelolanya tidak memiliki adab (yang diisi oleh kebudayaan) di dalam
dirinya. Manusia itu tidak hanya akan memanipulasi, mengkhianati, tetapi juga
mendestruksi semua (pem)bangunan(an) itu demi kepentingan sektoral/sektarian
atau individual, seperti terlihat pada melimpahnya kasus kriminal di kalangan
pejabat publik dan swasta belakangan ini.
Keadaban bangsa kita pun
merosot drastis sebagaimana terlihat mulai dari jalan raya hingga gedung
tinggi yang dihuni para pejabat pengemban amanah konstituen atau rakyatnya.
Ketakberadaban yang kita perlihatkan dengan pengingkaran juga pengkhianatan
pada simbol-simbol, properti, hingga konstitusi negara itu sebenarnya menjadi
bukti apabila kebudayaan tidak dapat dimengerti (melulu) sebagai urusan
seputar ”genat-genit” seni, tradisi, cagar budaya, atau galeri. Namun, juga
dengan semua tindakan sosial kita, pada semua dimensi kehidupan kita.
Manusia
subyek utama
Posisi, peran, dan fungsi
kebudayaan, seperti terpapar di atas, selayaknya jadi bagian dari strategi
kebudayaan, basis atau landasan dari proyek pembangunan yang kita kerjakan
secara represif saat ini. Pembangunan yang secara imperatif memberi fokus
yang cukup besar pada pembangunan manusia sebagai aktor atau pemeran utama
dari saga pembangunan ini. Karena cuma manusia yang mampu melakukannya, dan
karena memang manusia yang menciptakan, mengembangkan, dan mampu merusaknya.
Karena, justru, pembangunan manusia adalah tujuan dasar dan utama kebudayaan.
Karena itu, apa yang
secara normatif kita sebut sebagai ”peningkatan SDM” bukanlah sekadar
meningkatkan kapasitas fisikal atau intelektual saja, terlebih
intelektualitas untuk sekadar jadi ”tukang” (vokasional). Akan tetapi, SDM
yang juga berkualitas dalam kapasitas mental-psikologikal dan spiritualnya.
Manusia yang hidup dalam kesadaran sinergis dan integratif di antara empat
kapasitas atau kesadaran ilahiahnya: fisikal, intelektual, mental, dan
spiritual.
Saya memandang, apabila
kita masih mengacu pada konstitusi, apalagi mukadimahnya, ”kecerdasan
bangsa”, sebaiknya dielaborasi dari pemahaman kultural di atas. Elaborasi
yang tentu saja tidak dalam program-program terurai di bagian atas, apalagi
jika penyelenggara negara mengikuti turunan konseptual-regulatifnya dalam UU
Pemajuan Kebudayaan. UU yang jika dilaksanakan bukan saja berpeluang
menciptakan bias dan kekeliruan, juga menciptakan kerapuhan pada bangunan
materialistik negara ini.
Sebagai acuan konstitutif
pemerintah, UU di atas sudah membingungkan mulai dari judulnya. Apa yang
hendak ”dimajukan” dari kebudayaan? Apakah manusia yang jadi tujuan dari
terciptanya budaya itu? Karena, ternyata kata manusia, terlihat tidak menjadi
bagian utama dalam isi dan tujuan UU tersebut. Kata kerja terpenting, yang
tampaknya jadi turunan kata ”pemajuan” dalam judul, yakni pelindungan,
pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Merujuk pada batasan atau rumusan
(sangat) pendek tentang kebudayaan di pasal terawal, sebagai ”hasil karya
masyarakat”, tentu saja kata kerja itu lebih tertuju pada ”produk”, bukan
kebudayaan sebagai produsen atau manusia sebagai aktor utama.
Hal itu menjadi jelas
dalam keseluruhan isi UU yang menempatkan ”obyek kebudayaan” justru sebagai
subyek utama dari ”pemajuan”, yang tak lain adalah produk atau ”hasil karya”.
Inilah substansi yang berulang kali saya tegaskan kepada sejumlah pihak yang
merasa paling otoritatif menyusun UU itu. Judul UU, karena itu, jika ia harus
ada, sebaiknya menggunakan istilah ”Produk Kebudayaan”, di mana negara bukan
saja bisa, tetapi wajib mengurus/mengembangkannya.
Kebudayaan jangan sampai
dikerdilkan begitu tragisnya hingga hanya menjadi sekadar ”obyek”. Sebuah
strategi pembangunan yang berkebudayaan harus memilih ”subjek” utamanya
manusia, sebagaimana menjadi imperasi konstitusi. Karena dengan subyek
manusia, katakanlah dalam frase ”karakter/pribadi yang berkebudayaan” ala
Sukarno, pembangunan akan jauh lebih memberi makna pada manusia/masyakarat
yang juga secara substansial menjadi subyek pembangunan.
Pemerintah, juga siapa dan
apa pun di negeri ini, sebaiknya melepas obsesi dan ilusi mereka untuk
menyetir atau mengendalikan kebudayaan. Sebaiknya, jika tidak mampu terlibat
dalam diskursus tanpa akhir dari kebudayaan nasional kita yang bahari dan
purba ini, mereka berkontribusi dalam menciptakan ruang-ruang yang lebih
lapang bagi terjadinya diskursus yang kadang memang turbulensif itu.
Dengan kontribusi—yang
dapat dilakukan dengan mengorbankan atau menghibahkan sebagian dari kapasitas
berlebih yang dimilikinya, baik dalam bentuk fasilitas, finansial, jaringan,
akses, relasi, dan sebagainya—itu, para pelaku kebudayaan dapat leluasa
berkreasi, berekspresi, dan menyalurkan inovasinya atau gagasan-gagasan
pembaruannya di pelbagai lapangan kehidupan. Melahirkan karya-karya
kebudayaan yang pada akhirnya memberi makna dan fungsi positif bagi
pemerintah dan kaum elite itu sendiri.
Bukankah negeri semacam
itu yang kita idamkan, yang menjadi visi para pendahulu kita? Bukankah negara
semacam itu yang memiliki daya saing tinggi, atau mampu menaikkan kedaulatan
juga derajat bangsanya? ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128