Palestina,
Nasibmu!
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
12 Desember
2017
Sudah berlangsung 69 tahun sejak berdirinya
Israel pada bulan Mei 1948, rakyat Palestina tidak pernah putus dirundung
malang. Ribuan telah tewas dalam mempertahankan hak hidup di buminya sendiri
yang dirampok kaum Zionis. Entah berapa ribu pula yang terpaksa jadi imigran
ke berbagai pojok bumi dengan segala penderitaan yang menyertainya.
Sementara itu, negara-negara Arab dan
bahkan Iran dan Turki yang sama-sama berada di kawasan itu tidak pernah
serius dalam membela rakyat tertindas ini. Ironisnya lagi, rakyat Palestina
sendiri juga tidak satu dalam menghadapi Israel.
Donald Trump, presiden Amerika, dengan
pengakuan barunya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah semakin
membuyarkan harapan perdamaian antara Palestina dan Israel. Bagi Trump, apa
yang bernama resolusi Dewan Keamanan PBB tentang kedaulatan Palestina atas
wilayah pra-Perang 1967 dianggap angin lalu saja. PBB yang keropos ini tidak
berdaya menghadapi politik jingoisme buta Amerika Serikat.
Protes dunia atas politik luar negeri
Amerika yang biadab ini nyaris tidak ada dampaknya bagi nasib Palestina. Sangat
ironis, demokrasi Amerika telah memunculkan seorang Trump yang berbeda tipis
dengan Kim Jong-un.
Negara-negara Eropa yang telah mengakui hak
kemerdekaan Palestina juga tidak mampu menekan Amerika sebagai kekuatan
imperialis kesiangan agar bersikap lebih beradab dalam menjalin hubungan
antarnegara. Amerika di bawah Trump dengan tingkahnya yang aneh dan buruk
tanpaknya sedang menggiring dunia ke dalam situasi yang amat mencemaskan.
Kita belum dapat memperkirakan ujung dari
hubungan mesra antara Raja Salman bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed
bin Salman dengan Trump yang terjalin sejak beberapa bulan yang lalu.
Semuanya berada dalam teka-teki yang serba tidak pasti.
Dalam pada itu, perebutan hegemoni antara
Saudi Arabia yang didukung Amerika dan Iran yang didukung Rusia dengan negara
satelitnya masing-masing di kawasan panas itu, situasinya semakin tak
terkendali. Posisi rakyat Palestina yang rentan adalah ibarat seekor kancil
yang terjepit antara pertarungan gajah-gajah yang beringas.
Adapun Islam sebagai agama yang dipeluk
oleh mayoritas rakyat di kawasan itu sudah lama dipinggirkan, kecuali dalam
kemasan retorika politik yang sangat dangkal. Retorika ini sudah lama
dimainkan oleh negara-negara Muslim untuk saling menjatuhkan di sana.
Sementara itu, Turki di bawah Erdogan yang
semula memberi harapan untuk turut mencerahkan dunia Muslim malah menyeret
dirinya ke jurang perpecahan dan permusuhan dengan Fethullah Gulen yang
pernah menjadi mitranya saat berhadapan dengan pihak militer, penerus politik
Kemal Ataturk dengan panji-panji sekularismenya yang gagal itu.
Akibatnya, rakyat Turki terbelah dan
terpolarisasi gara-gara perseteruan elitenya sendiri yang kehilangan
perspektif masa depan yang semestinya bisa melampaui usia sebuah rezim. Sekarang
hampir tidak ada lagi sebuah negara Muslim pun yang dapat menolong Palestina,
termasuk Indonesia.
Dalam situasi yang serba tidak menentu ini,
saya teringat akan renungan seorang intelektual Yahudi anti-Zionis, Prof
Richard A Falk, pada 1998 yang lalu, dua tahun sebelum memasuki abad ke-21:
Kedatangan milenium baru setidak-tidaknya menyiratkan sebuah imajinasi. Ia
adalah tanda petunjuk yang dilemparkan ke pantai di gelap malam, sementara
sungai sejarah mengalir dengan deras.
Yang terlihat tidak lebih dan tidak kurang
selain apa yang diizinkan oleh imajinasi itu, terutama harapan-harapan kita
yang terdalam dan kecemasan-kecemasan kita yang mengerikan. Berlalunya
milenium ini mendorong kutub-kutub harapan [ke jurusan] yang berlawanan:
berakhirnya dunia atau bermulanya sebuah tatanan baru. (Lihat: Just
Commentary, No 8, Januari 1998, hlm 1).
Dunia memang belum berakhir. Sekalipun
percobaan peluru balistik Korea Utara sebagai wujud tingkah gila dari Kim
Jong-un terus saja berlangsung, harapan bagi terciptanya sebuah tatatan baru
bagi umat manusia juga belum tampak.
Dengan Trump sebagai penguasa baru Amerika
yang ditentang sebagian besar rakyatnya, nasib Palestina semakin tidak pasti,
sementara negara-negara Muslim di kawasan Asia Barat dan Afrika Utara sibuk
dengan masalah domestinya masing-masing yang berketiak ular, tidak jelas
ujung-pangkalnya.
Tetapi, orang tidak boleh patah harapan.
Sebab, di tengah kabut gelap manusia gila kuasa, masih saja ada manusia lain
yang masih waras, tempat dunia mengadu dan bertanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar