Generasi
Milenial
Budi Darma ; Sastrawan, tinggal di Surabaya
|
JAWA
POS, 13 Desember 2017
ADA generasi diam, ada generasi baby
boomers, ada generasi X, ada generasi Y, ada pula generasi Z, dan
masing-masing punya ciri-ciri sendiri. Generasi diam lebih ditujukan kepada
perempuan: Berapa pun anak mereka, mereka menerima apa adanya. Kalau jumlah
anaknya dua itu baik-baik saja, kalau jumlah anaknya anak tujuh juga tidak
apa-apa, dan kalau jumlah anaknya sembilan ya tidak ada masalah. Itulah tipe
perempuan zaman pra-Perang Dunia (PD) I sampai beberapa tahun setelah PD I
usai. Dalam pemikiran Elaine Showalter, perempuan semacam itu berada pada
tahap female. Yaitu, perempuan diapa-apakan tidak apa-apa, toh bagaimanapun
mereka adalah perempuan. Dan perempuan menerima kodratnya sebagai mana
adanya.
Kendati PD I dianggap sebagai perang yang
sangat dahsyat, jumlah negara yang terlibat dan akibatnya tidak sedahsyat PD
II. Pada 1939 Jerman menduduki Polandia. Dan dari peristiwa itulah PD II
meletus. Jumlah negara yang terlibat bukan main banyak, demikian juga jumlah
orang yang cacat akibat perang, nyawa yang melayang, harta yang hangus, dan
kesedihan-kesedihan lain. Akibatnya pun jauh lebih hebat daripada akibat PD
I.
Meskipun banyak korban berjatuhan, PD I dan
PD II memberi berkah: Kesadaran akan pentingnya teknologi makin meningkat,
dan karena itu teknologi berkembang dengan cepat serta kemakmuran pun segera
datang. Kemakmuran selepas PD II juga jauh lebih besar daripada kemakmuran
selepas PD I.
Kemakmuran seusai PD I tampak jelas
sebagaimana digambarkan oleh Hemingway dalam novel The Sun Also Rises. Novel
itu menggambarkan apa yang dinamakan the lost generation, yaitu generasi yang
”hilang” karena mereka kaya, tapi spiritualitas mereka kosong. Mereka
berfoya-foya tanpa tahu tujuan hidup mereka yang sebenarnya.
Dengan berakhirnya PD II, dunia dilanda dua
pola yang bertentangan. Yaitu kesedihan karena banyak nyawa melayang selama
PD II dan kegembiraan karena kemakmuran menanjak dengan cepat. Dua pola yang
bertentangan itu kemudian melahirkan generasi baru, yaitu generasi baby
boomers. Jumlah kelahiran bayi meningkat untuk menggantikan mereka yang
kehilangan nyawa karena perang dan kondisi ekonomi juga mendukung kelahiran
banyak bayi. Berbeda dengan generasi yang hilang sebagai produk dari PD I,
generasi selepas PD II mempunyai pikiran yang lebih matang dan sikap
bertanggung jawab yang lebih besar.
Kelahiran bayi selepas PD II itu melahirkan
generasi baru, yaitu generasi X, generasi kelahiran sekitar akhir 1940-an
sampai sekitar pertengahan 1960-an. Karena pada waktu itu perkembangan
teknologi informasi (TI) masih lambat, generasi X dianggap sebagai generasi
gagap TI. Komputer pada waktu itu berukuran luar biasa besar dan berat.
Jumlahnya pun sangat terbatas. Bahkan, pada awal 1990-an pun, ketika TI sudah
maju untuk ukuran waktu itu, yang dinamakan komputer masih berukuran besar
dan bukan main beratnya. Dalam waktu relatif lama, komputer besar dan berat
diikuti dengan kelahiran peranti baru, yaitu laptop. Untuk ukuran sekarang,
laptop waktu itu masih benar-benar primitif.
Generasi X melahirkan generasi Y, yaitu
mereka yang lahir sekitar akhir 1970-an sampai sekitar akhir 1990-an. Mereka
lahir ketika TI sudah maju. Juga, karena itu, kemampuan mereka mengoperasikan
gawai sudah lumayan. Perkembangan gawai, sementara itu, makin hari makin
cepat. Juga karena itu, mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman bisa mengikuti perkembangan TI dengan cepat pula. Dan
kecepatan itu dengan mudah diikuti generasi berikutnya, yaitu generasi Z,
kelahiran sekitar akhir 1990-an sampai sekarang. Mereka lebih tanggap dalam
menghadapi perkembangan TI, tapi itu pun bergantung individu-individunya.
Karena itu, antara generasi Y dan Z, perbedaannya tidak signifikan.
Berbeda dengan generasi baby boomers,
generasi X dan Y sudah sadar akan pembatasan jumlah kelahiran. Salah satu
tolok ukurnya bisa kita lihat pada perkembangan sikap mahasiswi terhadap
pernikahan. Awalnya, tujuan kebanyakan mahasiswi bukanlah ”to be”, melainkan
”to get”, yaitu bukan menjadi sarjana, melainkan mendapat sarjana sebagai
suami. Pada tahap berikutnya, kebanyakan mahasiswi ingin menjadi sarjana.
Lalu, begitu lulus sebagai sarjana, mereka merasa sudah benar-benar siap
untuk menikah. Perkembangan berikutnya, sesudah menjadi sarjana, mereka tidak
mau segera menikah, ingin mencari pekerjaan terlebih dahulu. Pada tahap
berikutnya, yaitu generasi Y, banyak mahasiswi yang tidak memikirkan untuk
menikah.
Kalau gagasan kritikus sosial Elaine
Showalter diikuti, inilah tahap feminisme: Perempuan ingin mandiri; tidak mau
dimarginalkan oleh laki-laki; dan apabila diperlakukan dengan tidak baik oleh
laki-laki, perempuan akan protes. Tahap feminisme lahir antara lain berkat
kesetaraan pendidikan. Perempuan bebas mencari pekerjaan dan bebas mengelola
penghasilannya sendiri. Perempuan tidak lagi merasa bergantung kepada
laki-laki. Dalam mengikuti perkembangan TI, perempuan tidak kalah oleh
laki-laki pula.
------------------------------------------ part 2
-----------------------------------------
SEMENTARA ITU, pengategorian usia juga
mengalami perubahan. Dulu ada kategori children (anak-anak), teenagers
(sekitar umur belasan sampai awal dua puluhan tahun), young adults (remaja),
dan adults (dewasa). Karena anak-anak dan remaja setiap hari dihadapkan pada
sajian untuk orang dewasa lewat gawai, istilah teenagers sekarang sudah tidak
dipakai lagi. Sebab, pada dasarnya sekarang teenagers sudah tidak ada lagi.
Teenagers dan young adults digabung menjadi satu, yaitu young adults.
Generasi Y dan Z sekarang juga sudah bercampur baur.
Dalam kategori usia, teenagers tersingkir.
Dalam kategori generasi, generasi X juga tersingkir. Demonstrasi para
pengemudi taksi dengan tujuan menghapus taksi daring (online) menyiratkan
tanda bahwa generasi X sudah tersingkir, meskipun tentu saja bergantung
orangnya. Sampai sekarang, misalnya, ada beberapa orang berusia lanjut yang
mampu mengoperasikan gawai dengan baik.
Generasi Y dan Z tidak mungkin lepas dari
gawai. Juga, hampir selamanya mereka abai terhadap lingkungan karena gawai.
Karena itulah, setelah terjadi beberapa kali kecelakaan lalu lintas di
Hawaii, pemerintah negara bagian Hawaii mengancam dengan denda berat kepada
mereka yang mengoperasikan gawai di jalan-jalan. Nafsu selfie antara lain
juga muncul karena generasi itu abai akan lingkungannya. Karena itu, ada
selfie diri sendiri, ada pula selfie bareng-bareng yang kadang-kadang
mengundang bahaya: jatuh dari jendela, tergelincir dari karang laut, terseret
arus sungai, dan terlindas kendaraan.
Sebagaimana halnya selfie, mereka juga
ingin bebas, tidak mau dikekang orang lain. Karena itu, mereka suka pindah
pekerjaan dan berusaha mendirikan usaha sendiri, baik perseorangan maupun
bersama kelompoknya. Perusahaan-perusahaan start-up pun bermunculan. Di pihak
lain, perusahaan-perusahaan, baik yang sudah mapan maupun masih baru, tidak
suka mempekerjakan seseorang dalam waktu lama. Dari sini, muncullah sistem
outsourcing, yaitu kontrak kerja, tanpa jaminan masa depan.
Karena hampir semua data pekerjaan ada di
dalam gawai, mereka tidak lagi ambil pusing soal kantor. Mereka bisa bekerja
di mana pun mereka berada, selama ada colokan listrik dan wifi. Itulah salah
satu pemicu tumbuhnya kafe, tempat mereka bekerja, bersantai, bertemu dengan
teman-teman, dan menciptakan koneksi-koneksi baru.
Kepandaian mereka mengoperasikan gawai
menyebabkan mereka akrab dengan iklan-iklan promo, antara lain promo pesiar
ke luar negeri. Karena itulah, berkelana ke mana-mana, baik di dalam maupun
luar negeri, menjadi salah satu gaya hidup mereka. Mobilitas mereka bukanlah
sekadar untuk berpelesir, tapi, langsung atau tidak, untuk mencari inspirasi
inovasi. Karena itulah, menurut Elon Musk, mantan penasihat Presiden Amerika
Donald Trump, inovasi disruptif pada umumnya dimulai dari orang-orang yang
memiliki mobilitas tinggi, baik mobilitas fisik, yaitu sering berkelana di
dunia nyata, maupun berkelana di dunia maya. Tapi ingat, generasi Y dan Z
yang punya pola pikir tradisional juga banyak. Mereka lebih suka menjadi
pegawai, menggantungkan masa depan pada dana pensiun, dan memperlakukan gawai
sebagai alat hiburan, bukan sarana untuk memicu inovasi.
Dalam proses perkembangan tiap-tiap
generasi, jumlah orang yang inovatif pasti lebih sedikit jika dibandingkan
dengan mereka yang berpikiran tradisional. Generasi Y dan Z, menurut Elon
Musk, adalah generasi yang mampu menciptakan kecerdasan buatan modern. Itu
pun, jumlahnya sangat sedikit. Perang yang mampu menghancurkan dunia bukanlah
nuklir, melainkan kecerdasan buatan. Karena itu, diramalkan, ambisi pemimpin
Korea Utara Kim Jong-un untuk menghancurkan musuh-musuhnya dalam waktu tidak
lama lagi akan menjadi usang.
Dalam inovasi disruptif, yaitu inovasi yang
mampu mengubah dunia, minoritas jauh lebih dominan jika dibandingkan dengan
mayoritas. Filsuf Montesquieu menciptakan trias politika sendirian, musisi
John Lennon mengubah musik dunia tanpa banyak teman, dan penyair Chairil
Anwar merombak sastra Indonesia juga sendirian.
Makin baru sebuah generasi, makin sadar
generasi itu akan pentingnya kesehatan. Dan dari kesadaran itu, jumlah orang
tua makin meningkat, jumlah orang muda stagnan atau makin sedikit. Sementara
itu, jumlah mereka yang bekerja sendiri tanpa bergantung orang lain
(self-employed) juga makin banyak, dan mereka harus mampu menciptakan ”uang
pensiun” sendiri di hari tua. Dan pemerintah, tentunya, tidak boleh abai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar