Meneladani
Politik Nabi
Ahmad Sahidah ; Dosen Senior Filsafat dan Etika di Universitas
Utara Malaysia
|
KORAN
SINDO, 05 Desember 2017
MENYAMBUT hari besar Maulud Nabi, umat
Islam dengan penuh takzim merayakannya, dari orang kebanyakan hingga kepala
negara. Caranya pun beragam. Di kampung saya, kelahiran sang Nabi dirayakan
dengan bacaan barzanji, burdah, atau pembacaan salawat yang diiringi
tetabuhan terbang (hadrah) dan diakhiri dengan makan bersama.
Tak hanya itu, tuan rumah membawakan para
tamu sekeranjang pelbagai kudapan dan buah-buahan untuk keluarga. Di sana,
kehadiran bulan Maulud disambut sukacita, tidak saja mereka bisa memanjakan
selera, tapi juga menghadirkan anutan dalam detak napas dan jantung mereka
melalui lagu pujian.
Sementara itu, presiden, pejabat tinggi
negara, dan perwakilan negara sahabat hadir di Istana Negara untuk turut
mengenang perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Setelah sambutan orang nomor
satu tersebut, salah seorang tokoh masyarakat atau sarjana muslim membawakan
pidato tentang lika-liku perjuangan Nabi yang dikaitkan dengan fenomena
terkini.
Upacara ini tampak elok dan terpelajar. Di
sini, refleksi lebih kental. Orang pintar yang memberikan ceramah mencoba
untuk mengambil pelajaran dari pengalaman Nabi terakhir itu dalam mengurus
masyarakat "madani". Lalu, sehari setelah perayaan, kehidupan
berjalan seperti sebelumnya.
Dari cerita di atas, ada dua acuan dalam
merayakan kelahiran seorang tokoh pembebas, pertama, kecenderungan yang
bersifat emosional dan kedua rasional.
Mungkin, tak banyak di antara tetamu dalam
maulid yang memahami puji-pujian al-Busyiri dalam burdah, tapi keasyikan
tampak dari cara mereka berdiri seakan-akan menyambut "kehadiran" sang
Nabi dan tetabuhan yang membuat suasana magis hadir.
Sementara di layar televisi sambutan yang
ditandai dengan layaknya upacara kenegaraan menegaskan formalitas. Tak ada
nyanyian, hanya ucapan berhamburan. Para jamaah tampak merenung, memahami isi
khotbah.
Mencari Rujukan Perayaan kelahiran Nabi
adalah sebuah ikhtiar mengingat dan meneladani prilaku sosok yang mendapat
gelar uswah hasanah sehingga orang ramai mempunyai contoh untuk diikuti.
Namun, apakah kita semua telah menyelami dan mempraktikkan sejarah dan
perjalanan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari?
Inilah tantangan utama yang sampai hari ini
tak membuahkan hasil secara membanggakan. Untuk itu, kita perlu membaca ulang
sejarah Nabi untuk memeriksa kembali keteladanan Nabi yang diucapkan di atas
panggung dan dinyanyikan bukan sekadar ritus yang tak mengubah keadaan umat.
Sebuah biografi Nabi Muhammad yang dianggap
otoritatif dan bisa dijadikan rujukan adalah karya Ibn Ishaq berjudul
"Sirah Rasulullah". Maxime Rodinson, filsuf dan sosiolog Prancis,
menjadikan karya tersebut sebagai sumber utama, demikian pula Karen Amstrong,
ahli perbandingan agama Inggris.
Namun, pembacaan dua terakhir tidak sekadar
menceritakan sosok Nabi, juga memberikan analisis sosial dan politik dengan
pendekatan modern. Tentu, dua sarjana tersebut telah melakukan demistifikasi
terhadap sosok Nabi, yang mungkin agak riskan untuk dinikmati dan diterima
kebanyakan muslim.
Kendati demikian, keduanya telah menangkis
banyak serangan dari sarjana Barat sendiri. Dengan membaca berbagai sumber,
siapa pun diharapkan dapat memadukan sudut pandang yang berbeda dan mengambil
pesan utama.
Dalam biografi berjudul
"Muhammad", Karen Amstrong, penulis Barat yang simpati, mengungkap
kembali sejarah perlawanan Nabi terhadap ideologi masyarakat pada waktu itu
dalam bahasa yang baru, seperti rasisme.
Dari pembacaan model inilah, tindakan Nabi
terasa hadir kembali pada masa kini. Dia tidak lagi hanya berkisah mengenai
cerita kronologis perjuangan yang datar, tanpa mengetengahkan pesan moral
yang lebih mendasar. Hakikatnya, upaya pembebasan manusia dari
kesewenang-wenangan merupakan tugas utama kenabian. Kehendak untuk mewujudkan
cita-cita ini tidak hanya melalui penanaman keyakinan, tapi juga
direalisasikan dengan mengurusi kehidupan konkret rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar