Jejak
Genealogis Terorisme
dan
Implikasinya bagi Studi Islam
Zakiyuddin Baidhawy ; Guru Besar IAIN Salatiga
|
KORAN
SINDO, 08 Desember 2017
FENOMENA terorisme
di dunia ini bukan barang baru. Namun, bukan perkara mudah upaya
mengonseptualisasikan fenomena ini di era kontemporer. Terorisme
kerap direcoki oleh tafsir-tafsir bermuatan ideologis dan gambaran diabolik
ketika istilah ini digunakan. Awalan yang tepat untuk mengurai masalah
ini adalah memahami bahwa inti teror adalah ”meneror”. Suatu peran yang
secara historis sering, meski tidak selalu, dilakukan oleh ”kekuatan
terorganisir”, apakah negara atau tentara, atau setidaknya ketika negara
atau tentara menjadi rezim despotik.
Persoalan bertambah kompleks ketika teror mengatasnamakan agama terus terulang dalam sejarah kemanusiaan. Sejarah ini sudah dimulai pada abad pertama kaum Zealot dari kalangan Yahudi yang dikenal dengan sebutan sicarii. Sicarii adalah nama sekte Yahudi yang mematikan. Sekte ini suka memprovokasi pemberontakan terhadap pendudukan Romawi yang hasilnya berupa kehancuran. Contoh lain adalah kaum Assasin. Antara 1090-1272, sekte Ismaili ini menjadi momok karena pembunuhan bermotif politik atas kaum bangsawan muslim dengan menggunakan pedang sebagai ciri mereka. Pada abad 15, kaum Tabor dari Bohemia, kaum Anabaptis abad 16, dan anti-Semit dalam Perang Salib Pertama pada 1095, merupakan contoh lain penggunaan teror untuk menimbulkan akibat yang menakutkan. Demikian pula dengan gerakan-gerakan mesianistis yang terlibat dalam dan mempergunakan teror sebagai instrumen untuk mencapai tujuan mereka. Fakta sejarah telah membuktikan dua hal terkait isu terorisme. Pertama, sejarah terorisme klasik sejatinya merupakan anak kandung dari dan dibesarkan oleh peradaban Barat sendiri. Kekerasan dan terorisme di Dunia Timur baru terjadi pada awal abad 20. Kedua, ada kecenderungan kuat di Barat dalam memandang Islam Timur Tengah sebagai kawasan surga bagi kekerasan politik dan terorisme, padahal kekerasan dan terorisme kontemporer itu juga bersumber dari Barat sendiri. Sayangnya kenyataan ini sering kali diabaikan. Faktanya, perbedaan antara Timur/Islam dan Barat dengan mempertimbangkan penggunaan kekerasan/terorisme, hanya sekadar perbedaan bentuk, bukan substansi. Yang pasti, keduanya telah membunuh sejumlah besar penduduk selama beberapa dekade terakhir. Dari sudut pandang teologis, Paus Benedict XVI mengkritik secara tajam bahwa gagasan tentang kekerasan dalam arus utama teologi Kristen dan Islam pada dasarnya serupa. Dari perspektif ilmu sosial, dikotomi antara ”Barat cinta damai” dan ”Islam cinta kekerasan” sangat mudah dikritik. Pandangan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dan terorisme negara atau sipil merupakan corak eksklusif dari pemerintahan despotik Timur Tengah atau kaum fundamentalis Islam anarkis, sepenuhnya salah besar. Penggunaan kekerasan dan terorisme politik juga merupakan wajah asli Barat yang telah dan terus menciptakan perang untuk meraih hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi. Kita tidak lagi dapat meletakkan kekerasan dan terorisme seperti memperhadapkan antara peradaban Barat yang memandang dirinya beradab dan damai versus Timur/Islam yang barbar. Bila kita terjebak dalam oposisi biner semacam ini, kita telah membuat tafsir dan analisis perbandingan yang bersifat asimetris. Kekerasan dan terorisme adalah dan selalu merupakan kenyataan dalam keseluruhan sisinya, dapat mengambil berbagai bentuk, serta perbedaan karena ruang dan waktu. Inilah mengapa kekerasan dan terorisme yang dilakukan ”orang lain” sering tampak lebih jelas sebagai bentuk kekerasan terlarang daripada kekerasan yang dibuat oleh sistem sosial milik kita sendiri yang dipandang wajar. Dengan menelusuri jejak-jejak terorisme dan kekerasan di Barat dan Timur, termasuk Islam, kita dapat mengatakan bahwa persoalan utama terorisme dan kekerasan di dunia Islam adalah reaksi atas kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan Barat, dan khususnya keberpihakan Barat dalam konflik Israel-Palestina. Sebagaimana di Barat, terorisme di dunia Islam pertama-pertama justru dilakukan oleh ”aktor negara” (state terrorism) yang otoriter. Sementara itu, terorisme sipil terjadi ketika kebebasan mereka ditekan dan pada saatnya melahirkan perlawanan dan pemberontakan atas para penindasnya. Jadi, semua problem tersebut melahirkan terorisme, bukan semata untuk melawan Barat, namun juga untuk melawan tatanan politik kawasan yang tidak berkeadilan. Hal serupa kita alami di Indonesia. Insiden-insiden terorisme kerap menempatkan secara semena-semena Islam/muslim sebagai tertuduh. Bahkan terorisme juga telah melahirkan Islamofobia di kalangan muslim sendiri. Ini lahir sebagai akibat cara pandang tunggal terhadap terorisme. Kajian yang tidak komprehensif atas persoalan ini sudah tidak lagi memadai. Para pengkaji perlu mereviu berbagai model dan teori mengenai bagaimana proses radikalisasi terjadi. Banyak faktor dan kombinasi berbagai alasan terjadinya radikalisasi-baik pada skala individual, sosial, maupun global–meski tidak selalu berujung pada terorisme. Studi Islam secara interdisipliner dan transdisipliner bertanggung jawab mengidentifikasi perilaku dan kombinasi perilaku sebagai indikator radikalisasi dan mobilisasi yang mengarah pada aksi teror. Banyak lintasan dan dinamika dalam proses radikalisasi dan mobilisasi. Keduanya bukanlah proses sederhana. Melalui pemahaman mendalam tentang proses dan melibatkan pendekatan interdisipliner dan transdisipliner kita berharap radikalisme dan terorisme dapat diurai, dan kita juga dapat mengembangkan strategi kontra-radikalisme dan kontra-terorisme secara lebih efektif. Kerangka metodologis yang ideal menggarisbawahi perlunya menghindarkan dari profiling teroris yang bersifat demografis. Artinya, profiling teroris atas dasar ras, etnisitas, dan agama bertentangan dengan kebebasan sipil. Metodologi ini mensyaratkan agar profiling digunakan untuk mengkaji perilaku dalam rangka mengidentifikasi berbagai kemungkinan latar bagi terjadinya proses radikalisasi, dan sangat melindungi kebebasan sipil warga negara. Dinamika radikalisasi dan mobilisasi harus dibebaskan dari profiling etnik, ras, atau agama. Karena itu, metodologi kajian perlu menggunakan nalar induktif untuk mengidentifikasi model atau kerangka baru bagi proses radikalisasi. Model-model yang selama ini digunakan gagal memperhitungkan keragaman alasan dan prakondisi serta faktor lain yang mungkin memengaruhi radikalisasi berubah menjadi kekerasan. Pendekatan kualitatif diperlukan untuk menguji model-model dan teori-teori mengenai fenomena radikalisme dan terorisme. Radikalisasi dapat terjadi karena proses kolektif atau proses individual ataupun rekrutmen. Beberapa model teoretis yang lebih utuh dan memadai tentang proses radikalisasi berkekerasan dapat dipilih dan dianalisis. Dengan melaksanakan analisis isi atas teori-teori proses radikalisasi pada: 1) basis (micro-level, mid-level atau campuran, dan macro-level), 2) pendekatan disiplin (psikologi, psikologi sosial, sosiologi, ilmu politik, sosio-ekonomi), 3) faktor-faktor prakondisi, 4) framing, dan 5) kontribusi dan keterbatasan model proses yang ada. Studi Islam niscaya mempertimbangkan dan membangun aspek-aspek model tersebut untuk mengajukan suatu kerangka konseptual yang komprehensif mengenai radikalisasi berkekerasan. Keterbatasan pada kajian-kajian tentang radikalisasi dan terorisme adalah kekurangan data primer. Para pelaku yang mengalami proses radikalisasi biasanya kurang kooperatif dalam menjelaskan faktor-faktor yang mendorong mereka menuju jalan radikalisasi. Pada saat yang sama, studi tentang terorisme dan radikalisasi berasal dari sumber sekunder seperti informasi dari surat kabar, internet, dan sumber terbuka lainnya. Analisis tentang karakteristik pelaku yang teradikalisasi dan peristiwa-peristiwa pascaterorisme tidak akurat mengungkapkan motivator-motivator atau prakondisi yang membuat mereka masuk dalam proses radikalisasi, serta tidak akurat dalam menggali kapan proses radikalisasi itu bermula. Ragam motivator, titik pangkal, dan perilaku dapat berkombinasi dalam menjelaskan tentang proses gradual terjadinya radikalisasi dan lintasan menuju terorisme. Karena itu, kajian-kajian dalam studi Islam terkait problem ini mengakui pentingnya keterlibatan berbagai disiplin ilmu dan teori untuk menyingkap banyak kasus radikalisasi. Radikalisasi adalah suatu proses yang kompleks dan tidak dapat disederhanakan pada berbagai tingkatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar