Meneguhkan
Profesionalisme TNI
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
12 Desember
2017
Proses pergantian Panglima Tentara Nasional
Indonesia dari Jenderal Gatot Nurmantyo ke Marsekal Hadi Tjahjanto, yang
dilakukan relatif kilat, yaitu sekitar lima hari, tampaknya memenuhi harapan
berbagai kalangan, seperti masyarakat sipil, politisi, bahkan kalangan
pemerintah. Ekspektasi tersebut secara ringkas mungkin dapat diwakili oleh wanti-wanti
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu kepada Panglima TNI Marsekal Hadi agar
”hari ini harus lebih baik dari kemarin, bekerja harus lebih keras karena ke
depan tantangan lebih keras, lebih berat, solidkan TNI, tidak boleh terpecah,
serta loyalitas tegak lurus kepada Presiden, tidak belok-belok” (Kompas.com,
9/12/2017). Gayung bersambut, Dewan Perwakilan Rakyat dengan sigap merespons
surat Presiden yang mengusulkan agar Marsekal Hadi menjadi Panglima TNI.
Salah satu isu sentral menjelang pergantian
Panglima TNI adalah netralitas TNI dalam politik. Lebih kurang dua tahun
terakhir, baik melalui media sosial maupun media arus utama, gencar
diberitakan isu kontroversi sekitar getaran cumbuan politik kekuasaan yang
merembet ke wilayah yang dianggap dapat mengganggu netralitas TNI. Pengalaman
pahit penyalahgunaan TNI oleh penguasa Orde Baru sangat membekas sehingga TNI
kehilangan hak memilih dalam pemilu. Kebijakan yang melawan pakem universal.
Tentara dalam negara demokrasi tidak dapat kehilangan hak politiknya karena
mempunyai profesi militer.
Dalam perspektif teoretik, persoalan
tersebut terkait dengan isu atau wacana hubungan sipil dan militer. Studi
relasi antara civilian supremacy (masyarakat demokratis) dan militer pernah
semarak tahun 1970-an seiring dengan proses demokratisasi di negara-negara
yang didominasi oleh militer, khususnya di Amerika Latin, Asia, dan sejumlah
kawasan lain. Isu tersebut semakin mendapatkan relevansinya karena kompetisi
politik atau lebih tepat disebut pertarungan berebut kekuasaan; mengingat
praktiknya orientasi para politisi umumnya lebih mengutamakan kemenangan
daripada karya nyata bagi masyarakat atau pemilihnya, akan digelar tahun 2018
dan 2019.
Tampaknya Marsekal Hadi punya kepekaan
prima merespons harapan publik untuk mempunyai TNI yang mumpuni. Ia merespons
ekspektasi tersebut dengan menempatkan agenda transformasi TNI menjadi salah
satu agenda utama. Ia dengan cerdas mengevaluasi lingkungan strategis
meliputi tatanan dunia baru, terorisme, cyber warfare, China’s Charm
Offensive, dan kerawanan laut. Berdasarkan perspektif global tersebut, ia
secara ringkas mengemukakan gagasan akselerasi transformasi TNI untuk
mewujudkan TNI yang semakin profesional. Panglima TNI akan mengembangkan
doktrin pertahanan atau perang yang fleksibel terhadap perubahan dan
berorientasi pada perang modern yang mengutamakan kecepatan, jangkauan, dan
daya tempur yang besar. Selain itu, perlu restrukturisasi TNI yang ramping,
tetapi didukung dengan kualitas prajurit yang mumpuni berkat pendidikan,
latihan, manajemen sumber daya manusia, dan kesejahteraan yang memadai.
Dengan demikian, TNI benar-benar secara bertahap akan bertransformasi menjadi
unit yang mempunyai kapasitas mobilitas, daya tempur, dan fleksibilitas
tinggi.
Bertitik tolak dari pemikiran di atas,
embrio gagasan brilian tentang restrukturisasi organisasi TNI dengan
membentuk semacam Pangkoopswilhan, Panglima Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan yang ada di bawah komando Panglima TNI, seyogianya dimatangkan.
Wilayah Indonesia akan dibagi dalam tiga wilayah pertahanan, yaitu wilayah
Barat, Tengah, dan Timur. Ini akan membuat rentang kendali komando lebih
efektif. Setiap wilayah komando melibatkan tiga angkatan, yaitu darat, laut,
dan udara. Melalui restrukturisasi organisasi ini, integrasi tiga angkatan
akan jadi semakin solid karena sistem itu memerlukan kerja sama dan
bahu-membahu dalam melaksanakan tugas pokok TNI, yaitu memenangi perang
melawan agresi militer asing dan di tingkat tataran tertentu melakukan
operasi kontra-insurgensi.
Oleh sebab itu, dapat ditebak jika Panglima
TNI ke depan akan lebih rajin melakukan kunjungan ke pasukan, termasuk
pasukan perdamaian yang tersebar di sejumlah negara dalam melaksanakan misi
perdamaian. Lulusan Akademi Militer 1986 itu tidak akan membuang waktu
berwacana yang hanya akan ditafsirkan publik mencari panggung politik.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi puluhan nota
kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) antara TNI dan beberapa
kementerian atau lembaga pelayanan publik lainnya. Hasil penilaian sebaiknya
dilaporkan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan politik. Penilaian
tersebut sangat penting dilakukan karena TNI bukan lembaga pelayanan publik.
Kesungguhan Marsekal Hadi dalam memenuhi
tugas pokoknya juga dapat dilihat secara ”transendental”, ”ngelmu” (ilmu)
katuranggan. Kebijakan lokal ini menilai karakter orang dengan menganalisis
raut muka dan struktur tubuh. Dalam perspektif ini, ia adalah seseorang yang
mempunyai perilaku lembut dan sopan, tetapi kukuh dan tegas dalam pendirian,
serta bijak dan tegas dalam mengeksekusi gagasan. Ia juga tidak ”rongeh”,
mudah goyah karena cumbu rayu kepentingan kekuasaan. Di bawah
kepemimpinannya, rakyat Indonesia akan mempunyai prajurit TNI yang mumpuni
sehingga rakyat tidak perlu lagi dikagetkan dengan ancaman, ibaratnya, sosok
hantu jadi-jadian yang mengancam kedaulatan negara dan bangsa. Panglima juga
tidak perlu terkejut kalau diganti karena mempunyai hubungan yang sehati
dengan panglima tertingginya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar