Meluruskan
Tafsir Putusan MK
Ari Wirya Dinata ; Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas; Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
26 Desember
2017
Menegakkan hukum tanpa
melanggar hukum. Postulat tersebut
cukup untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh lima hakim Mahkamah
Konstitusi (Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP
Sitompul, dan Saldi Isra), yang
menolak secara keseluruhan pengujian
Pasal 284 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang diajukan oleh pemohon. Secara keseluruhan,
pasal-pasal tersebut berisi mengenai perzinaan dan pemerkosaan.
Namun, pasca-putusan ini
dibacakan, bak gelombang tsunami, argumentasi, pendapat, dan komentar secara
membabi buta muncul di pelbagai media, termasuk media sosial, berasal dari
publik yang merespons putusan ini. Tidak peduli benar-salah, ujungnya adalah
kesimpulan yang menuding bahwa Mahkamah Konstitusi telah melegalkan perbuatan
zina dan perbuatan lesbi, gay, biseks, dan transgender (LGBT).
Bebas
tetapi paham
Berpendapat dan
mengeluarkan pikiran memang merupakan hak asasi bagi semua orang yang dijamin
di dalam Konstitusi Pasal 28 UUD NRI 1945 sebagai bentuk penghormatan
kebebasan berekspresi (freedom of expression) serta manifestasi dari
demokrasi. Meskipun demikian, kebebasan yang dimiliki oleh rakyat dalam
menyampaikan argumentasi, pendapat yang tidak didukung dengan pemahaman yang
mumpuni dan analisis yang kuat, hanya akan membangun kesesatan dalam berpikir
serta menggiring opini publik yang salah.
Alih-alih menuju demokrasi
madani, berintelektual, dan berakhlak, yang terjadi justru akan mengarah pada
anarki dan budaya demokrasi parokial.
Tentu kita tidak ingin
membangun atmosfer berdemokrasi dengan intuisi yang dangkal dan sebatas
emosional semata: yaitu karena ketakutan terhadap bahaya masif yang dapat
diakibatkan dari pengaturan hukum yang lemah tentang perzinaan dan LGBT dalam
sistem hukum pidana Indonesia saat ini,
lalu memaksakan agar kehendak tersebut diterima mentah-mentah tanpa
memperhatikan prosedur hukum yang tepat dalam menanganinya.
Gelombang protes yang
tidak berlandaskan cara berpikir hukum ini hanya akan menciptakan tirani
mayoritas, di mana publik tidak peduli dengan model dan prosedur. Yang penting
bagi mereka perkara perzinaan dan LGBT dikriminalisasi.
Respons
salah baca
Setidaknya inilah yang
tergambar dari respons masif publik yang salah membaca dan memahami putusan
Mahkamah Konstitusi serta melabel Mahkamah Konstitusi pro kepada legalisasi
perbuatan zina dan LGBT. Padahal,
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang dibacakan 14
Desember 2017, sama sekali tidak menyebutkan adanya kata legalisasi di dalam
pertimbangan ataupun amar putusan. Bahkan, untuk menegaskan posisi tersebut
dan meredam gelombang publik yang salah kaprah terhadap putusan ini, Mahkamah
Konstitusi secara kelembagaan mengeluarkan rilis tertanggal 18 Desember 2017.
Pada hakikatnya, duduk
permasalahan dari permohonan ini sangatlah sederhana, yaitu berangkat dari
kegelisahan para pemohon atas maraknya perbuatan zina dan LGBT sehingga urgen
untuk memberi tafsir terhadap ketentuan KUHP warisan Belanda yang telah usang
dalam mendalilkan perbuatan zina yang tidak lagi sesuai dengan politik hukum
pidana, nilai-nilai sosial dan agama yang hidup di negara Indonesia.
Sementara itu, Mahkamah
Konstitusi berpendapat, dengan putusan yang tidak bulat, yaitu 5:4, untuk
menolak permohonan pengujian tersebut dengan dalil bahwa Mahkamah Konstitusi
tidak ingin memperluas tafsir dari bunyi pasal-pasal yang diujikan karena
akan menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai miniparlemen, yaitu ada parlemen
di luar DPR dan Presiden yang secara konstitusional diamanatkan UUD 1945
memiliki kewenangan untuk membentuk suatu norma baru (positive legislator),
sementara MK semangat pembentukannya hanyalah lembaga yang bersifat
membatalkan norma hukum (negative legislator), yaitu tatkala terdapat
norma-norma yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang tidak sejalan
dengan semangat konstitusi.
Apalagi permintaan dari
pemohon tidak hanya memperluas penafsiran, tetapi juga mengubah subyek, jenis
perbuatan, dan pidana tentulah tidak tepat jika memaksakan kepada Mahkamah
Konstitusi.
Hukum
kontrol sosial
Jamak diketahui bahwa
hukum adalah alat untuk menciptakan kontrol sosial. Untuk menjalankannya
terdapat pranata-pranata hukum dengan kewenangan masing-masing agar dapat
bekerja secara seimbang sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu pemisahan
kekuasaan (separation of power).
Oleh karena itu, libido
untuk memaksa Mahkamah Konstitusi
menerima dan memperluas makna pasal tersebut sebagaimana kehendak
pemohon justru menempatkan MK sebagai lembaga yang mencaplok kewenangan
lembaga lain (tirany judicial), yaitu
DPR dan Presiden untuk membentuk
undang-undang sesuai amanat Pasal 5
junto Pasal 20 UUD 1945.
Tidak hanya itu, munculnya
tekanan yang memaksa Mahkamah Konstitusi memberi tafsir sebagaimana kehendak
pemohon akan membuat Mahkamah
Konstitusi keluar dari
prinsip judicial renstrait, yaitu konsep pemisahan kekuasaan: di mana
pengadilan harus dapat melakukan pengekangan atau pengendalian diri dari
kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya pembentuk
undang-undang.
Pada dasarnya sangat jelas
posisi Mahkamah Konstitusi bahwa tidak ada keberpihakan Mahkamah Konstitusi
pada perbuataan zina dan LGBT, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak ingin
terjebak dalam keadaan yang di luar kewenangan sehingga menyebutkan bahwa
kebijakan untuk mengkriminalisasi perbuatan sebagaimana dimaksud oleh pemohon
adalah kewenangan lembaga pembentuk undang-undang (open legal policy).
Waspada
”status quo”
Di sisi lain, apabila
dicermati pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan oleh empat
hakim Mahkamah Konstitusi lainnya, juga mengacu pada pembentuk undang-undang
untuk memperbaiki ketentuan pasal yang dimaksud oleh pemohon. Artinya, justru
argumentasi yang dibangun oleh empat hakim Mahkamah Konstitusi jauh lebih
berbahaya karena akan membuat status quo apabila ketentuan dalam Pasal 284
Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dibatalkan. Hal ini akan menghilangkan rem terhadap
perzinaan dan menciptakan lubang risiko lebih besar.
Dengan demikian, sudah
tepat kirannya apabila pemohon justru mengarahkan usaha-usahanya untuk
mengkriminalisasi perbuatan ini melalui saluran konstitusional yang benar.
Misalnya, mengawal proses legalisasi di DPR. Bahkan, keterangan DPR dalam
persidangan pengujian ini jelas menyebutkan bahwa apa yang diminta (petitum)
pemohon sudah menjadi materi dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, seharusnya
ini yang diawasi prosesnya. ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128