Kematian
yang Tak Sederhana
Abdul Aziz Rasjid ; Esais dan Wartawan;
Penulis Emerging Indonesia terpilih Ubud Writers & Readers Festival
(UWRF) 2017; Tinggal di Cilacap
|
DETIKNEWS,
30 November
2017
Ada dua jenis tokoh dalam novel anyar Leila
S Chudori berjudul Laut Bercerita (KPG, Oktober, 2017): mereka yang mengalami
nasib dihilangkan, dan mereka yang menanggung perasaan kehilangan. Selebihnya
adalah tempat-tempat rahasia mulai dari persembunyian para aktivis yang
lantas jadi buron, sel bawah tanah, dan ruang penyiksaan. Selain itu ada pula
ruang dan aktivitas ganjil keluarga, simbol cinta, dan penantian yang tak
pernah luntur.
Mereka yang dihilangkan berpusat pada cerita
Biru Laut, Sekjen gerakan Winatra yang dipandang subversif sebab menggugat
rezim otoritarian di Indonesia di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi.
Awal tahun 1998, bersama kawan-kawannya, Biru Laut diculik lalu
berbulan-bulan disekap, diinterogasi, disiksa agar bersedia menjawab siapakah
yang berdiri di balik gerakan aktivis dan gerakan mahasiswa. Biru Laut
bersama 12 aktivis hilang tak jelas nasibnya, dan 9 aktivis lainnya menghirup
udara bebas menanggung trauma berkepanjangan.
Memori Politik 1998
Kisah Biru Laut dijalin oleh Leila S Chudori
dengan strategi tekstual berselang-seling antara api semangat sekelompok
pemuda mendambakan dibangunnya pemerintahan baru yang dapat memberi harapan
kesejahteraan dengan masa penyekapan serta penyiksaan di tahun 1998. Kisah
pun ditata bermula dalam latar belakang para penghuni kontrakan di pelosok
Yogyakarta yang beraktivitas sembunyi-sembunyi untuk menghindari intaian
intel di tahun 1991, gelora aksi people's power penanaman jagung di tanah
sengketa tani dan tentara di Desa Blangguan tahun 1993, serta Rumah Susun
Klender di Tebet Timur Jakarta yang menjadi kubu menolak pembungkaman mulai
dari pembreidelan media, normalisasi kampus, dan tuntutan perubahan lima UU
Politik di tahun 1996.
Kisah-kisah pendek yang terbagi dalam 10
bagian itu adalah penyusunan kembali memori politik 1998, ketika sekelompok
anak muda yang kritis pada akhirnya mesti menanggung risiko menjadi korban
praktik penghilangan orang. Dalam tempat-tempat persembunyian, diceritakan
Leila, sekelompok anak muda saling menguatkan diri, berkorban untuk
kepentingan kelompok yang lebih besar. Tetapi, sebagai manusia biasa, betapa
drama selalu menyertai hidup mereka mulai dari cinta, kecurigaan, putus asa,
dan pengkhianatan. Sedang sel bawah tanah menghadirkan dan memberi makna pada
derita sang tokoh, metafor pemuda-pemuda tahan banting di tengah kebengisan
yang mampu dilakukan manusia terhadap sesamanya.
Mereka yang kehilangan berpusat pada kisah
Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut. Kisah dimulai dari tradisi keluarga
yang meluangkan waktu memasak dan makan malam bersama di hari Minggu. Sejak
Biru Laut hilang diculik, tradisi itu tak dihilangkan, satu kursi serta satu
piring kosong tetap disediakan, menanti Biru Laut yang dibayangkan barangkali
tiba-tiba muncul di muka pintu. Simak kutipan sedih ini: Dan yang paling
berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia
dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan
karena selalu menanti "Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih
enak makan bersama."
Singkat cerita, Asmara Jati lantas bergabung
dan ikut membangun Komisi Orang Hilang (KOHI) membuat strategi pencarian dan
pendataan 12 aktivis yang diculik dan hilang jejaknya. KOHI yang didukung 16
lembaga dan sejumlah tokoh menjadi rumah harapan mencari jejak mereka yang
diculik, hilang meski ketakpastian muncul menghalang seakan memasuki lorong
gelap tanpa obor.
Asmara Jati adalah representasi dari
suara-suara yang menolak putus asa bahwa kehilangan orang tercinta yang
mereka alami bukan semata persoalan pribadi, tapi persoalan bangsa dan kisah
penculikan-penculikan tak menutup kemungkinan bisa terjadi pada siapa saja.
Simak kutipan ini:
…banyak
pekerjaan rumah yang menanti karena sejauh ini belum memperoleh perkembangan apa-apa
yang besar. Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media,
diangkat sebagai drama, musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin
pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas. Mungkin Aksi Payung Hitam
setiap hari Kamis bukan sekadar sebuah gugatan, tapi sekaligus sebuah terapi
bagi kami dan warga negeri ini; sebuah peringatan bahwa kami tak akan
membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman. Payung
Hitam akan terus menerus berdiri di depan Istana Negara. Jika bukan presiden
yang kini menjabat yang memberi perhatian, mungkin yang berikutnya, atau yang
berikutnya….
Melawan Lupa
Novel Leila S Chudori tentang kisah-kisah
penculikan, lengkap dengan sejarah hitam babak baru reformasi Indonesia tahun
1998 layak pula disebut sebagai tindakan melawan lupa. Pendekatan fiksi atau
rekaan dalam novel ini, tampaknya, dilakukan Leila dengan sadar untuk
menyindir bahwa di dunia nyata pemerintah Indonesia tak memiliki keseriusan
untuk mengungkap kejahatan HAM, dan menelusuri kepastian nasib
aktivis-aktivis yang diculik yang hilang tak jelas nasibnya sampai kini.
Keberadaan mereka terus-menerus dicari jawabnya oleh masing-masing keluarga
dan berbagai lembaga dalam aksi rutin kamisan Payung Hitam.
Pada akhirnya, novel Laut Bercerita bukan
semata gugusan imajinasi pengarang melainkan wacana. Wacana yang menekankan
bahwa "fiksi" di tengah selubung misteri politik adalah suara lain
yang paling mungkin untuk menghadirkan suara-suara dari mereka yang menjadi
korban penculikan dan hilang tanpa jejak. Dalam pendekatan ini, kata-kata
tokoh rekaan Biru Laut --yang sejatinya tak pernah sampai kepada siapapun
saat ia dibunuh dengan cara ditenggelamkan dalam laut-- telah menjadi
pemantik ingatan bahwa masih ada sejarah hitam politik di Indonesia yang
sampai kini tersimpan dalam kotak rahasia: Ini sebuah kematian yang tidak
sederhana. Terlalu banyak kegelapan. Terlalu penuh dengan kesedihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar