Dilema
DPR di Tahun Politik
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
|
KORAN
SINDO, 11 Desember 2017
TAHUN 2018 yang sarat dengan kegiatan
politik akan menjadi periode sangat dilematis bagi politisi di DPR. Mereka
harus menetapkan prioritas pilihan; menyelesaikan tumpukan kerja di DPR
atau memenuhi panggilan tugas partai memenangkan pilkada dan konsolidasi
menuju tahun politik 2019?
Manuver semua partai politik (parpol) untuk meraih kemenangan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang serentak itu praktis menghadirkan konsekuensi logis bagi semua anggota DPR. Sebagai kader andalan, sebagian besar anggota DPR—juga anggota DPRD—harus menanggapi panggilan tugas dari partainya untuk kerja pemenangan. Mereka harus sering terjun ke daerah pemilihan untuk berkonsolidasi dengan tim pemenangan. Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 pada 27 Juni 2018 di 171 daerah pemilihan. Pilkada Serentak 2018 akan diselenggarakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Sebagian besar anggota DPR harus membagi konsentrasi mereka ke daerah-daerah pemilihan itu. Itulah dilema yang akan dihadapi DPR pada paruh pertama 2018. Bahkan, bisa dipastikan bahwa dilema itu akan berlanjut sepanjang paruh kedua tahun mendatang sebab selepas Pilkada 2018 baik parpol maupun anggota DPR/DPRD akan melanjutkan konsolidasi menyongsong tahun politik 2019 untuk agenda pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Semua parpol dan politisi di semua daerah akan sangat sibuk untuk kerja pemenangan. Tentu saja, kesibukan sebagian besar anggota DPR yang demikian padat itu akan menghadirkan pertanyaan tentang kerja dan penyelesaian tugas-tugas mereka di DPR. Seperti tahun-tahun terdahulu, dalam situasi seperti itu publik dan para pemerhati khususnya akan menyorot dan menyoal kinerja DPR. Kemungkinan seperti inilah yang perlu diantisipasi oleh pimpinan DPR. Artinya, dalam konteks memaksimalkan kinerja, 2018 benar-benar menjadi tahun pertaruhan bagi DPR. Patut digarisbawahi oleh pimpinan DPR bahwa publik sudah menyuarakan pesimisme atas kinerja DPR. Apalagi, setelah DPR berketetapan untuk menyederhanakan target prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018-2019 karena alasan tahun politik tadi. Dalam dua tahun ke depan, DPR tidak fokus pada kuantitas UU, melainkan kualitas. DPR akan memilah-milah RUU apa saja yang harus diselesaikan dalam rentang waktu dua tahun itu. Dengan kata lain, tidak semua RUU yang sudah masuk Prolegnas prioritas periode 2017-2018 akan diselesaikan. Akibat itu, ketika sidang paripurna DPR pada pekan ketiga Oktober 2017 juga mengesahkan anggaran pembangunan gedung baru DPR sebesar Rp601 miliar, DPR lagi-lagi menjadi sasaran kecaman publik. Berbagai kalangan membandingkan rencana gedung baru DPR itu dengan catatan kinerja DPR dalam beberapa tahun terakhir yang nyata-nyata jauh dari memuaskan. Satu di antara faktor yang sering digunakan publik untuk menilai kinerja DPR adalah melihat progres penyelesaian Prolegnas. Faktor lain yang juga sering dipersoalkan adalah rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR pada rapat-rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan rapat paripurna. Pada masa persidangan pertama 2016-2017 misalnya tingkat kehadiran hanya 41,7%. Masalah ini pernah dibahas oleh pimpinan DPR bersama pimpinan fraksi-fraksi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Keahlian DPR. Idealnya, saat pengambilan keputusan, apalagi untuk isu-isu yang sangat strategis, semua anggota Dewan idealnya hadir di forum rapat paripurna. Kinerja yang masih jauh dari bagus ditambah minim partisipasi atau kehadiran anggota Dewan pada rapat paripurna dan rapat AKD otomatis membentuk persepsi atau citra yang negatif. DPR dipersepsikan sebagai institusi yang malas. Karena malas, tidak mengherankan jika DPR menjadi tidak produktif. Produktivitas dan Citra Untuk 2018, pimpinan DPR mau tak mau harus fokus pada upaya memaksimalkan kinerja. Memang tidak mudah karena faktor tahun politik tadi. Tetapi, jika pimpinan DPR bisa mengelola dan memastikan semua AKD tetap bekerja sesuai jadwal, sejumlah pekerjaan bisa diselesaikan. Jika DPR bisa menjaga dan memacu produktivitas, persepsi publik lambat laun akan membaik. Memperbaiki citra DPR tidak bisa dengan cara-cara instan. Citra harus diperbaiki dengan menunjukkan hasil kerja nyata. Kerja nyata DPR sejatinya sangat ditentukan oleh terjaganya konsistensi fungsi semua AKD seperti Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus, dan alat kelengkapan lain. Bagaimana agar semua AKD itu berfungsi efektif pada tahun politik tentu saja sangat bergantung pada kearifan dan kepiawaian pimpinan DPR. Karena itu, pimpinan DPR tidak boleh terperangkap dalam suasana dilematis akibat tahun politik itu. Pimpinan DPR bahkan harus berani merumuskan atau membarui prioritas target yang lebih realistis misalnya dalam pembahasan dan penyelesaian Prolegnas prioritas. Ada 46 rancangan undang-undang (RUU) masuk daftar Prolegnas 2017. Dari jumlah itu, masih banyak RUU yang belum dibahas. Terdesak oleh waktu yang semakin sempit, pimpinan Dewan kemudian menurunkan target prioritas Prolegnas 2018-2019. Fokusnya bukan jumlah pembahasan dan penyelesaian RUU, melainkan kualitas berdasarkan kebutuhan.
Tetapi, mengingat waktu untuk pembahasan
sangat terbatas serta padatnya kegiatan politik banyak anggota DPR, jumlah
RUU yang diprioritaskan hendaknya lebih realistis lagi. Pemilahan RUU yang
diprioritaskan untuk periode 2018-2019 hendaknya segera dituntaskan untuk
kemudian dikoordinasikan dengan pemerintah sehingga bisa disepakati jadwal
pembahasannya. Setelah disepakati, segera dipublikasikan sebagai informasi
kepada publik.
Agar target Prolegnas yang minimal itu bisa dicapai, penahapan serta tata cara pembahasan RUU hendaknya diperbaiki agar waktu yang tersisa bisa dimanfaatkan dengan efektif. Misalnya dalam pembahasan RUU, anggota DPR jangan lagi terperangkap pada debat ihwal yang tidak prinsipiil atau masalah teknis. Anggota Dewan harus fokus pada persoalan-persoalan prinsipiil dan strategis. Masalah-masalah teknis seperti pilihan kata-kata, termasuk penyusunan draf pasal-pasal, bisa diserahkan pada Badan Keahlian DPR. Untuk memastikan terjaganya partisipasi anggota dalam pembahasan RUU, pimpinan DPR perlu mengingatkan para ketua fraksi untuk menyesuaikan jadwal kegiatan setiap anggota fraksi di luar DPR dengan kewajiban mereka membahas RUU. Semua fraksi harus digugah untuk berbagi tanggung jawab dalam upaya pimpinan Dewan memperbaiki citra DPR. Perbaikan kinerja DPR juga menjadi tanggung jawab semua fraksi, bukan hanya pimpinan Dewan. Kinerja DPR yang mumpuni akan memperbaiki citra DPR. Artinya, antara kinerja yang baik dengan perbaikan citra merupakan satu paket pekerjaan yang tidak bisa dipisahkan. Kerja nyata akan memberi gambaran tentang DPR yang produktif, dan dari situ citra atau persepsi publik tentang DPR lambat laun akan membaik. Masih berkaitan dengan perbaikan citra DPR, pimpinan Dewan perlu mengambil inisiatif tentang perbaikan komunikasi dengan publik. Ini semacam pekerjaan tambahan bagi pimpinan Dewan pada tahun politik 2018 dan 2019. Satu di antaranya meluruskan persepsi publik tentang cara mengukur atau menghitung kinerja DPR. Pelurusan persepsi sangat diperlukan karena publik sering menyamakan atau menyeragamkan cara mengukur kinerja DPR dengan cara publik mengukur dan menghitung kinerja pemerintah. Kalau penyeragaman cara mengukur kinerja DPR dan pemerintah itu terus dibiarkan, publik akan selalu terjebak karena sesat pikir. Sejatinya, di DPR tidak ada proyek dan karenanya tidak ada anggaran proyek. Yang ada hanyalah anggaran untuk gaji anggota dan staf serta anggaran untuk membiayai kegiatan anggota DPR. Kerja anggota DPR adalah berpikir, menawarkan gagasan atau inisiatif dalam rapat-rapat AKD atau rapat paripurna, membahas RUU, berbicara atau menyuarakan aspirasi konstituen, dan menyatakan sikap setuju atau tidak setuju. Ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat-rapat AKD atau paripurna tidak selalu berarti yang bersangkutan malas atau bolos. Ketidakhadiran itu bisa juga diterjemahkan sebagai pernyataan sikap tidak setuju. Inilah yang semestinya menjadi acuan publik dalam menilai kinerja DPR. Pimpinan Dewan hendaknya segera mengambil inisiatif pelurusan itu agar kemudian hari penilaian terhadap kinerja DPR lebih proporsional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar