Tiga
Tahun Kedaulatan Pangan
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar IPB dan
Ketua Bidang Rembuk Kedaulatan dan Keamanan Pangan, Rembuknas III-2017
|
KOMPAS,
07 November
2017
Dalam rangka menilai kinerja
tiga tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan memberi masukan
kepada pemerintah terkait pembangunan pertanian dan pangan, telah
dilangsungkan Rembuk Nasional (Rembuknas) III-2017 yang dimulai dari
Sarasehan Nasional Petani di Karanganyar, 27-28 September 2017. Acara
dihadiri petani dari 51 kabupaten, dan dilanjutkan di Universitas Syiah Kuala
pada 16 Oktober 2017, Institut Pertanian Bogor pada 20 Oktober 2017, dan
Jakarta International Expo pada 23 Oktober 2017, dengan total peserta aktif
sebanyak 1.373 orang.
Keterbukaan dan kesediaan
Presiden Jokowi untuk dikritisi menjadi pijakan utama penyelenggaraan
kegiatan tersebut. Kesejahteraan petani menjadi tema besar yang mendominasi
rembuk. Kemiskinan di perdesaan sedikit menurun dari 14,37 persen pada Maret
2014 menjadi 13,96 persen pada Maret 2017 (BPS) atau minus 0,41 persen.
Penurunan kemiskinan ini terlalu kecil dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 4,97 persen per tahun selama tiga tahun terakhir ini serta
inflasi di bawah empat persen.
Kesejahteraan petani dan situasi pangan
Kualitas pertumbuhan dan efek
menetes ke bawah (trickle down effect) tidak terjadi, diperkuat dengan indeks
kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan yang justru meningkat dari 2,26
menjadi 2,49 dan 0,57 menjadi 0,67. Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah
satu indikator kesejahteraan petani menurun dari 101,98 (Januari-September
2014) menjadi 100,71 (Januari-September 2017) (BPS). NTP Tanaman Pangan
memiliki nilai terendah dan semakin menurun dari 98,59 menjadi 97,21 pada
periode yang sama. Dengan demikian, klaim bahwa kesejahteraan petani
mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir ini tidak benar. Penurunan
kesejahteraan sangat terasa di lapangan sebagaimana dilaporkan petani selama berlangsungnya
Rembuk.
Hal kedua yang paling banyak
disoroti adalah data pertanian. Data resmi menunjukkan bahwa produksi padi
tahun 2015 sebesar 75,4 juta ton gabah kering giling (GKG) (BPS 2016), dan
meningkat menjadi 79,14 juta ton GKG di tahun 2016 dan 81,57 juta ton GKG di
tahun 2017 (Kementerian Pertanian, 2017). Jika data itu benar, maka terjadi
surplus riil 11,3 juta ton (2015), 11,4 juta ton (2016), dan 11,2 juta ton
beras (2017). Surplus ini seharusnya menyebabkan harga beras medium rata-rata
nasional sejak 2015 turun menjadi Rp 5.600 per kilogram dan semakin rendah
pada 2016 dan 2017. Itu tak terjadi dan harga beras medium rata-rata nasional
bahkan meningkat tajam dan stabil tinggi di kisaran Rp 10.500-Rp 10.900
selama hampir dua tahun terakhir ini.
Selain itu, jika data benar,
maka akan terjadi akumulasi stok beras di akhir 2017 sebesar 33,9 juta ton
beras yang mencukupi untuk memberi makan seluruh penduduk Indonesia selama
satu tahun. Hampir semua komoditas yang masuk dalam program peningkatan produksi
memiliki data yang rendah akurasinya.
Ketiga, tata kelola dan
kelembagaan pangan. Keputusan ataupun kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan
data yang salah menyebabkan kegaduhan yang terus berulang. Kegaduhan dimulai
sejak diturunkannya secara drastis kuota impor sapi pada Juni 2015
berdasarkan asumsi bahwa populasi sapi mencukupi. Kegaduhan berlanjut dengan
dimunculkannya berbagai tuduhan ke kalangan pelaku usaha yang bergerak di
komoditas sapi, ayam, cabai, bawang merah, jagung, dan gula pasir.
Harga beras meningkat tajam
sejak Mei 2015 di tengah klaim kenaikan spektakuler produksi padi. Harga baru
turun di Maret 2016 ketika memasuki musim panen dan masuknya beras impor 1,3
juta ton. Pembentukan Satgas Pangan dan berbagai peraturan menteri untuk meredam
harga berujung proses kriminalisasi pelaku usaha. Berbagai intervensi
tersebut tidak berpengaruh terhadap harga beras tahun 2017, bahkan terus
meningkat sejak Juli.
Empat komoditas mengalami
kenaikan yang tinggi tiga tahun terakhir ini di tengah inflasi yang cukup
rendah, yaitu daging sapi (16,5 persen), beras medium (18,9 persen), gula
pasir (19,7 persen), dan bawang merah (47,8 persen) yang juga meningkatkan
biaya usaha tani. Upaya menurunkan harga di tingkat konsumen langsung
berdampak buruk terhadap petani. Selama Rembuk, hampir semua kalangan usaha
dan petani mengeluh terhadap situasi ini.
Selama ini kebijakan tata
kelola pangan bersifat ad hoc, tak terintegrasi, dan melibatkan begitu banyak
kementerian teknis sehingga rentang kendali dan pengawasan menjadi terlalu
lebar. Berbagai peraturan yang diterbitkan tanpa kajian juga disoroti pelaku
usaha pakan ternak, makanan, dan minuman yang mengeluh karena terhambatnya
pasokan bahan baku yang mengancam industri dan daya saing mereka.
Keempat, mutu dan keamanan
pangan. Dari hasil kajian terakhir Global Food Security Index (GFSI,
September 2017), peringkat mutu dan keamanan pangan Indonesia buruk dan
berada di posisi ke-86 dari 113 negara. Mutu dan keamanan pangan yang buruk
berpotensi besar menurunkan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan
biaya kesehatan.
Kelima, kebijakan pengembangan
peternakan. Kebijakan importasi daging kerbau mendistorsi pasar dan
menyemarakkan peredaran daging oplosan. Kebijakan itu berdampak pada
penurunan usaha industri feedloter hingga 70 persen, dan memunculkan potensi
hilangnya nilai tambah bisnis sapi sebesar Rp 26,85 triliun per tahun, serta
menurunkan pendapatan peternak sekitar Rp 30 triliun per tahun.
Rekomendasi
Penjaminan harga di tingkat
usaha tani menjadi kebijakan penting yang perlu dilakukan. Subsidi pupuk,
benih, serta bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang nilainya
berkisar Rp 40 triliun-Rp 45 triliun per tahun kurang efektif baik dalam
meningkatkan produksi maupun meningkatkan kesejahteraan petani. Pengubahan
subsidi input dan bantuan alsintan menjadi after-sold cash transfer dapat
meningkatkan pendapatan petani kecil sebesar 31 persen.
Strategi korporatisasi petani
atau badan usaha milik petani dapat dikembangkan secara masif dijiwai semangat
koperasi melalui kegiatan hulu-hilir yang terintegrasi. Pemerintah harus
menanggalkan konsepsi proyek dalam pengembangan korporasi petani yang sering
kali berujung kegagalan. Menciptakan iklim usaha, akses permodalan, kemudahan
perizinan dan perlindungan ketika mengawali usaha merupakan pokok-pokok
penting yang bisa dijalankan oleh pemerintah.
Fokus ke komoditas bernilai
tinggi serta pengembangan teknologi pascapanen berbasis rumah tangga tani
merupakan pengungkit lain untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Pembangunan teknologi pascapanen modern di sentra-sentra produksi sangat
diperlukan sehingga mampu meningkatkan daya simpan produk pertanian dan
melindungi harga. Perlindungan terhadap industri melalui kemudahan penyediaan
bahan baku menjadi kunci penting. Peta jalan jangka panjang dan komprehensif
untuk pasokan bahan baku asal petani dan nelayan perlu disusun dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan serta pembebasan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) untuk produk pertanian primer.
Berbagai program Upaya Khusus
Padi, Jagung, Kedelai (Upsus Pajale) dan Sergab (Serapan Gabah) dinilai tidak
efektif dan memboroskan anggaran. Penanaman padi terus-menerus tanpa jeda
telah menyebabkan gangguan ekologis serius yang menyebabkan penurunan
produksi 40-60 persen dan puso di banyak tempat akibat serangan hama terutama
di musim panen I dan II tahun 2017. Perlu reformulasi program dan audit
anggaran terkait program ini. Program Sergab sebaiknya diarahkan untuk
memastikan gabah terbeli ketika harga jatuh di bawah harga pembelian
pemerintah bukan menjadi upaya membeli gabah di bawah harga pasar.
Program penyuluhan pertanian
dan pengerahan Babinsa untuk penyuluhan pertanian tidak efektif sehingga
perlu diganti dengan mengerahkan petani entrepreneur dan pendampingan oleh
perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain yang profesional. Melalui
pendekatan ini, dalam dua tahun ke depan diharapkan terbentuk pola penyuluhan
swadaya yang kuat. Selain itu, petani perlu dilibatkan dalam setiap perumusan
kebijakan baik di pusat maupun di daerah.
Pola bantuan dan program yang
selama ini memangkas kreativitas petani serta akses petani terhadap produk
inovasi dan teknologi yang lebih baik perlu dihapuskan. Program reforma
agraria melalui redistribusi lahan untuk petani kecil harus ditingkatkan
karena terbukti jadi pengungkit kesejahteraan petani. Perlu upaya keras untuk
menahan laju alih fungsi lahan pertanian dan alih kepemilikan lahan dari
petani ke pemodal. Insentif perlu dilakukan dengan menghapus pajak bumi
terhadap lahan pertanian yang diusahakan.
Proses pengumpulan data
produksi dan stok perlu lebih independen dengan mengurangi secara bertahap
peran kementerian terkait. Selama masa transisi, Presiden dapat membentuk
unit khusus data pertanian dengan memanfaatkan metode dan teknologi
pengumpulan data terkini. Badan Pangan Nasional setingkat kementerian yang
langsung di bawah Presiden perlu segera direalisasikan sesuai amanat UU No 18
Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga ini membawahkan semua BUMN pangan yang ada
dan bertanggung jawab penuh atas cadangan pangan nasional, stabilitas stok,
harga komoditas utama.
Pemerintah pusat dan pemerintah
daerah perlu memiliki komitmen tinggi untuk membantu industri mikro, kecil,
dan menengah bidang pangan melalui peningkatan penyediaan dan akses sarana
dan prasarana sanitasi dan higiene, peningkatan akses permodalan, serta
peningkatan sumber daya manusia dan akses terhadap informasi. Dalam upaya
menembus pasar ekspor, pemerintah harus lebih aktif dan siap dalam data dan
diplomasi pertanian dan pangan serta menyiapkan diplomat pertanian dan pangan
yang tangguh.
Konsumsi bahan pangan pokok
berbasis impor semakin lama semakin tinggi. Impor gandum Indonesia di 2016
telah mencapai 10,8 juta ton, tertinggi kedua di dunia setelah Mesir. Program
diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, hortikultura, aneka biji, aneka
umbi, dan aneka sayur perlu dikuatkan. Program pendidikan dan penguatan
diversifikasi pangan dan gizi perlu dimulai sejak pendidikan dasar.
Di bidang peternakan,
pengembangan sapi perah rakyat masih menjadi hal yang terabaikan selama ini
yang menyebabkan ketergantungan impor susu dan produk turunannya yang saat
ini sudah lebih dari 80 persen. Usaha peternakan ayam ras juga perlu dapat
perhatian khusus. Dominasi perusahaan besar yang menguasai aktivitas usaha
ayam ras dari hulu ke hilir telah memarjinalkan dan banyak mematikan usaha
peternakan rakyat. Perlu diterbitkan peraturan presiden untuk mengatasi
kondisi darurat di kedua sektor tersebut.
Terakhir, evaluasi kinerja dan
kepemimpinan kementerian terkait perlu segera dilakukan oleh Presiden dengan
mempertimbangkan berbagai masukan pemangku kepentingan. Semoga Bapak Presiden
berkenan membaca uraian yang merupakan penjabaran hasil rembuk nasional
bidang pangan yang telah disampaikan selama 1,5 menit di hadapan Beliau pada
23 Oktober 2017 itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar