Kamis, 09 November 2017

Hak Warga atas Pembangunan

Hak Warga atas Pembangunan
Suhardi Suryadi  ;   Direktur LP3ES 2005-2010;
Konsultan Knowlegde Management Proyek Lestari, USAID
                                                    KOMPAS, 07 November 2017



                                                           
"Informed Consent” adalah suatu kesepakatan atau persetujuan memilih dari seorang pasien atas tindakan medis oleh dokter terkait dengan penyakit yang diderita oleh pasien. Persetujuan diberikan setelah memperoleh informasi detail keadaan penyakit dan implikasinya serta risiko yang terjadi jika tidak dilakukan tindakan. Hal ini didasarkan pada premis moral dan hukum terkait otonomi setiap orang bahwa setiap pasien memiliki hak memilih sendiri status kesehatannya yang berpengaruh terhadap  kehidupannya.

Konsep persetujuan memilih dalam dunia medis ini pada dasarnya dapat pula diterapkan pada bidang pembangunan yang lain, terutama jika menyangkut kegiatan yang berdampak langsung terhadap kondisi dan kelangsungan penghidupan seseorang dan warga. Dengan persetujuan pada awal secara penuh hati/sukarela atas setiap rencana pembangunan, baik dari pemerintah maupun swasta, warga dapat memutuskan untuk menerima atau menolaknya.

Hak warga

 Selama ini berbagai rencana pembangunan kurang maksimal untuk meminta persetujuan warga di mana lokasi pembangunan berada karena anggapan membangun adalah hak pemerintah. Sepanjang  aturan hukum dan syarat administrasi dipenuhi, tak penting ada persetujuan warga atau tidak. Penegasian ini juga didasari sikap pemerintah yang acap bertindak sepihak dengan dalih kepentingan umum, berdampak positif bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.

 Di samping itu, orientasi pembangunan yang semata bertujuan peningkatan ekonomi cenderung melihat persetujuan warga menyita waktu dan membutuhkan biaya. Dengan kata lain, tak produktif dan efisien. Cukup melalui wakil rakyat baik di parlemen maupun tokoh masyarakat.

Kalaupun ada mekanisme meminta persetujuan  atas sebuah proyek melalui sosialisasi, acap kali prosesnya berlangsung artifisial dan hasilnya tak jarang manipulasi dan koersi akibat ada kontrol dan hambatan saat warga menentukan pilihannya.  Tak ayal ketika pembangunan dimulai ada protes atau penolakan.

Mekanisme musrenbang sebagai wadah menampung aspirasi dan usulan warga tentang pembangunan juga terkesan formalitas mengingat realisasinya jauh panggang dari api. Berdasarkan studi efektivitas musrenbang yang dilakukan  Wiyasti Dwiandini dan Roy Valiant Salomo, FISIP UI di Jakarta Timur tahun 2012, dari 203 usulan masyarakat, hanya  14 usulan (6,89 persen) yang diakomodasi dan dianggarkan menjadi  kegiatan.

Pemerintah acap kali  berkilah bahwa aspirasi warga sesungguhnya telah diakomodasi sebagai masukan dalam mengatasi atau mengurangi  risiko dan dampak negatif pembangunan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan melalui instrumen amdal.  Yang menjadi masalah, kajian amdal belum sepenuhnya obyektif  dan digunakan sebagai dasar menentukan kebijakan untuk menerima dan menolak rencana proyek.

Sebaliknya hasil amdal lebih bersifat dokumen  semata untuk kelengkapan administrasi bagi izin pelaksanaan. Karena itu, sekalipun berpotensi mengganggu kelangsungan penghidupan warga sekitar dan mengancam kelestarian lingkungan, tak jarang sebuah rencana pembangunan tetap dilanjutkan karena ada dokumen amdal.  Salah satu contoh, proyek reklamasi teluk Jakarta.

 Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan yang lain, ketiadaan persetujuan awal warga pada dasarnya bukan karena persoalan kapasitas aparatur pemerintah yang rendah, melainkan akibat absennya kemauan politik (kehadiran negara). Penetapan sebuah pembangunan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan dunia usaha (korporat) dan politik.

Sebaliknya, berbagai rencana pembangunan yang diharapkan masyarakat dan cukup baik dari sisi teknis serta berdampak positif dari sisi sosial lingkungan, gagal diintegrasikan, dianggarkan dan diwujudkan menjadi kenyataan karena adanya kepentingan ekonomi politik dari elite di tingkat lokal dan nasional.

 Menghargai hak setiap warga menentukan sendiri setiap rencana pembangunan sangat penting agar dapat dukungan warga dan tak menimbulkan konflik.  Warga perlu diberi kesempatan tanpa paksaan untuk menilai bahwa pembangunan yang direncanakan akan bermanfaat dan dapat membawa kemakmuran bagi penghidupannya.

Gagasan tentang hak warga atas pembangunan pada dasarnya bukan hal baru karena sudah  diakui secara internasional sejak 1986. Referensi formal tentang hak warga atas pembangunan, dalam arti “akta kelahirannya”, dapat dilihat dalam resolusi 4 (XXXIII), yang diadopsi Komisi Hak Asasi Manusia pada 21 Februari 1977 (Realizing the Right to Development. PBB, 2013).

Inisiatif Pulang Pisau

 Pembangunan yang dianggap sebagai upaya memenuhi kebutuhan pribadi setiap orang perlu selaras dengan kondisi sosial masyarakat pada umumnya. Karena itu, pembangunan tak selalu menggunakan pendekatan yang tradisional, yaitu pertumbuhan ekonomi nasional atau peningkatan pendapatan per kapita.  Sebaliknya pembangunan penting dilihat dalam perspektif lebih besar mengenai penciptaan lingkungan kondusif bagi terwujudnya harapan warga secara penuh, termasuk didengar aspirasinya.

 Di Indonesia,  upaya menggali aspirasi dan meminta persetujuan warga sebagai wujud dari hak atas pembangunan memang masih terbatas dilakukan. Salah satu contohnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.  Di wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG14), Badan Restorasi Gambut (BRG) merencanakan  membangun sekat kanal agar  tanah gambut dapat menahan air pada musim kemarau dan mengurangi risiko kebakaran lahan dan hutan di wilayah tersebut.

Sebelum dibangun, BRG terlebih dahulu meminta persetujuan di awal dari warga mencakup letak, bentuk, ukuran kanal, serta risiko dan dampak dari pembangunan sekat kanal. Termasuk persetujuan terkait waktu penutupan kanal primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan ini ternyata mampu menghindari konflik antara warga dan pemerintah. Dalam kasus sebelumnya, warga merusak sekat kanal ketika  kanal gambut ditutup  tanpa konsultasi dan persetujuan warga.

 Ini menunjukkan, hak warga atas pembangunan secara signifikan dipengaruhi oleh dua proses yang saling terkait dan tergantung: (1) munculnya kesadaran warga yang mencari status kesetaraan dan keadilan  dalam hubungan dengan pemerintah, terutama dalam menentukan sesuatu yang terkait dengan sumber penghidupan; dan (2) kegagalan nyata dari model pembangunan yang sebatas berorientasi keuntungan dan berpusat pada ekonomi  serta  menghilangkan kesejahteraan sosial.

 Ke depan, membatasi, menghambat, apalagi menegasikan aspirasi dan hak warga dalam menentukan rencana pembangunan sudah tak lagi tepat. Sebaliknya, pemerintah harus mempromosikan dan memperluas penerapannya, terutama untuk pembangunan infrastruktur yang memiliki pengaruh nyata terhadap masa depan penghidupan warga. Dengan demikian, pembangunan mendapat legitimasi hukum dan sosial.  Jika tidak, selain dapat memicu konflik, pemerintah juga akan dianggap tak menghargai hak warga paling fundamental dalam proses pembangunan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar