Misteri
Kecelakaan Setya Novanto
Aiman Witjaksono ; Wartawan Kompas TV
|
KOMPAS.COM,
20 November
2017
BANYAK yang mengatakan bahwa
Setya Novanto memiliki kesaktian. Betapa tidak, belasan tahun disebut-sebut
dalam berbagai kasus korupsi, tapi tak ada satupun yang berujung jeratan.
Akankah kali ini, Novanto akan dibawa ke pengadilan, atau sebaliknya, KPK
yang kembali mendapat “ujian”.
Kabar mengejutkan datang.
Setelah menghilang pasca-didatangi petugas KPK di rumahnya (Rabu, 15 November
2017), Ketua DPR sekaligus pimpinan tertinggi Partai tertua di Republik ini,
Golkar, Setya Novanto, mengalami kecelakaan.
Lokasi kejadian perkaranya ada
di Kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Saya mendatanginya. Ternyata,
lokasi itu persis di depan kediaman Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Saya menyusuri lokasi kejadian.
Ada yang menarik dalam
penelusuran saya. Kebetulan saya datang ke lokasi kejadian kecelakaan Setnov,
nama panggilan populer sang ketua DPR Setya Novanto.
Saya memerhatikan polisi yang
sedang melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Satu persatu bukti
dicocokan. Titik-titik yang menjadi bukti dilingkarinya dengan kapur. Polisi
memberi nomor pada lingkaran-lingkaran kapur itu.
Ada tujuh buah lingkaran yang
saya perhatikan. Tim polisi berasal dari tim gabungan Direktorat Lalu Lintas
Polda Metro Jaya, Korps Lalu Lintas Polri, hingga Satuan Lalu Lintas Polres
Jakarta Selatan.
Detail kecelakaan
Ada lebih dari 20 Polisi yang
melakukan olah TKP. Dari pembicaraan informal saya dengan petugas di
sela-sela kesibukannya melakukan pekerjaan ini, saya bertanya detail
kecelakaan.
Lengkapnya akan tayang Senin
(20/11/2017) malam, di KompasTV pukul 20.00.
Informasi yang berhasil saya kumpulkan,
ada tiga orang di dalam mobil Toyota Fortuner bernomor polisi B 1732 ZLO.
Pengemudi mobil itu adalah
Hilman Mattauch, wartawan Metro TV. Duduk di samping Hilman adalah ajudan
Novanto yaitu AKP Reza. Sementara, Novanto duduk di bangku tengah seorang
diri.
Mobil ini naik ke trotoar yang
bersisian dengan selokan besar dengan air yang lumayan deras mirip sungai
kecil. Mobil mulai naik ke trotoar sekitar 20 meter sebelum tiang Penerangan
Jalan Umum (bukan tiang listrik).
Mobil naik ke trotoar, menyerempet
pohon sekitar dua meter dari tiang dan berhenti setelah menabrak tiang
penerangan jalan umum.
Ada dua analisis di sini yang
mungkin terjadi. Jika Mobil dikemudikan dalam laju kecepatan rendah maka
dalam jarak 20 meter mobil sangat mungkin untuk kembali ke jalur semula yaitu
turun kembali ke jalan raya dan melaju seperti biasa.
Perkiraan ini diambil dengan
kemungkinan bahwa pengemudi setelah menabrak dan naik ke trotoar, langsung
refleks alias spontan membanting setir mengarah ke jalanan normal. Ini bisa dilakukan karena laju kecepatan
mobil rendah.
Lalu bagaimana jika kecepatan
mobil tinggi?
Nah ini yang menjadi
kemungkinan kedua. Jika laju kecepatan mobil tinggi, maka setelah naik ke
trotoar, kecil kemungkinan mobil bisa dikendalikan.
Bahkan untuk membelokkan
sedikit kemudipun sulit. Mobil akan “nyelonong” melibas trotoar yang hanya memiliki lebar
kurang dari dua meter dan akhirnya akan tercebur saluran air.
Pertanyaan dari Lokasi Kecelakaan
Tentu menjadi pertanyaan,
mengapa mobil akhirnya menabrak tiang penerangan jalan umum di jarak (20
meter) yang masih mungkin untuk membelok pada kecepatan rendah?
Atau, mengapa mobil tidak
tercebur ke saluran air jika laju mobil saat itu dalam kecepatan tinggi?
Saya menanyakan dua kemungkinan
ini kepada Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum (Kasubdit Gakkum) Lalu
Lintas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto.
Ia menyatakan, belum bisa
menyimpulkan karena semua masih harus diselidiki dan akan disimpulkan pada
saatnya nanti.
Termasuk pertanyaan saya kepada
Budiyanto, setelah melihat mobil Toyota Fortuner tersebut. Mengapa kaca yang
pecah, di samping tempat duduk, Ketua DPR Setya Novanto, bukan di bagian kaca
depan?
“Apakah Pak Setya Novanto
terbentur kaca atau ada benturan lain yang mengakibatkan kaca penumpang
belakang kiri itu pecah berkeping keping?” tanya saya kepada AKBP Budiyanto.
Karena, jika ada benturan
akibat kecelakaan di bagian depan tentu kaca bagian depan yang pecah, bukan
bagian samping.
Budiyanto juga belum bisa
menjawab. Semua masih dalam tahap penyelidikkan, kata dia.
Masa depan sasus Setnov
Nama Novanto di pusaran dugaan
korupsi sudah mencuat sejak kasus hak tagih Bank Bali tahun 1999 yang disebut
merugikan negara ratusan miliar.
Kasus ini berakhir happy ending
buat Novanto. Pada 18 Juni 2003, Jaksa Agung kala itu, MA Rachman,
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk Novanto.
Adapula sederet kasus lainnya
juga berakhir dengan bebasnya jeratan Setya Novanto. Baca: Golkar dan Ketua
Umum Baru yang Nyaris Jatuh Tertidur
Kini, apakah kisahnya akan
berakhir sama, setelah sekian kali KPK “jungkir balik” berupaya menjeratnya?
Apakah pengadilan yang akan
jadi ujungnya atau KPK kembali perlawanan?
Kita tunggu bersama. Masyarakat
antusias melihatnya.
Saya Aiman Witjaksono.
Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar