Arah
Kebijakan Pajak
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif Center for Indonesia
Taxation Analysis, Jakarta
|
KOMPAS,
20 November
2017
Bulan lalu pemerintahan
Presiden Joko Widodo genap berusia tiga tahun. Periode kepemimpinannya
ditandai pergeseran paradigma kebijakan fiskal, yakni peralihan dari isu
pengeluaran ke penerimaan.
Jika sebelumnya kita selalu
berjibaku untuk menjaga subsidi agar tak membengkak, kini tantangannya adalah
kemampuan kita menghimpun pendapatan negara untuk memastikan ketercukupan
sumber pembiayaan pembangunan. Di tengah harapan besar terhadap kinerja
perpajakan pasca program amnesti pajak, justru muncul kesimpangsiuran arah
kebijakan pajak. Lalu, apa saja yang telah dicapai oleh pemerintahan Jokowi,
tantangan yang masih menghadang, dan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan?
Pergeseran paradigma fiskal
Kepemimpinan Presiden Jokowi
menandai babak baru kebijakan fiskal Indonesia. Meski APBN sendiri merupakan
sebuah continuum yang tak memungkinkan adanya suatu patahan radikal,
keberanian mengubah haluan kebijakan layak diapresiasi. Pencabutan subsidi
BBM pada saat harga minyak dunia jatuh di titik nadir dan realokasi belanja
ke sektor yang lebih produktif, terutama infrastruktur, merupakan dua
terobosan penting.
Upaya mengatasi ketertinggalan
di bidang infrastruktur diambil untuk menyediakan konektivitas sebagai
prasyarat perekonomian yang efisien dan produktif. Sayangnya, pembalikan
orientasi pembangunan ini belum ditopang kemampuan pembiayaan yang memadai.
Amnesti pajak tak cukup ampuh merepatriasi dana dari luar negeri dan pajak
yang diharapkan menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan masih jalan di
tempat.
Tiga tahun APBN di bawah
Presiden Jokowi, pencapaian penerimaan pajak memang kurang menggembirakan.
Tentu saja hal ini harus dilihat secara obyektif, yakni pertumbuhan target
pajak yang naik signifikan dan ketergantungan tradisional pada harga
komoditas. Meski tingginya kenaikan target cukup masuk akal karena tax gap
masih sangat lebar, mengungkit penerimaan secara drastis di tengah kelesuan
perekonomian global dan domestik bukanlah hal yang mudah.
Kebutuhan akan insentif dan
stimulus untuk menggerakkan perekonomian dan menjaga daya beli rumah tangga yang
dihadapkan dengan tuntutan pencapaian target ambisius berpotensi mengontraksi
perekonomian. Hal ini akibat terbatasnya pilihan-pilihan jangka pendek selain
intensifikasi, yang pada akhirnya justru menciptakan ketidakadilan baru.
Maka, penyediaan prasyarat-prasyarat yang memungkinkan otoritas pajak dapat
memungut pajak secara efektif dan adil mutlak menjadi kebutuhan.
Keputusan Presiden Jokowi
mengimplementasikan program amnesti pajak menjadi titik balik penting. Ada
hawa segar yang memberikan kelonggaran napas pada perekonomian nasional.
Program yang banyak diapresiasi sebagai yang paling sukses ini menangguk
setidaknya Rp 4.865 triliun harta yang dideklarasikan dan Rp 135 triliun uang
tebusan. Sayangnya, program ini hanya diikuti tak lebih dari satu juta wajib
pajak dan hanya Rp 147 triliun dana yang berhasil direpatriasi. Amnesti pajak
berhasil memupuk modal sosial yang penting, yaitu tumbuhnya semangat gotong
royong dan sikap saling percaya antara pemerintah dan wajib pajak. Sayangnya,
bulan madu pajak ini tak berlangsung lama.
Pemerintah masih terkesan
gamang menapaki periode pasca amnesti sehingga menimbulkan persepsi justru
yang telah ikut amnesti tak merasakan kelegaan dan yang belum patuh pajak,
bahkan tak ikut program amnesti, tidak menjadi sasaran. Kebijakan yang tepat
sasaran, terukur, dan memenuhi rasa keadilan publik perlu segera dirumuskan
dengan baik.
Tantangan reformasi pajak
Reformasi pajak kini sedang
berjalan dan jadi harapan. Proyek lama yang tak tuntas dan kerap terseok ini
perlu dirancang secara komprehensif-menyentuh dimensi kebijakan, regulasi,
dan administrasi sekaligus-agar sistem perpajakan yang berkeadilan dan
berkepastian segera terwujud. Beberapa hal perlu dilakukan. Pertama,
alih-alih sekadar melakukan tambal sulam aspek teknis-administratif,
reformasi pajak pertama-tama adalah perubahan paradigma secara radikal.
Di dunia yang berubah sangat
cepat ini, dibutuhkan cara berpikir yang lebih terbuka. Ini tecermin dari
cara memperlakukan ekosistem perpajakan sebagai ruang perjumpaan yang
kompleks, dinamis, egaliter, dan saling percaya (mutual trust). Prinsip
“jangan potong ayamnya, tetapi ambil telurnya” harus betul-betul menjadi
landasan pikir dan kerja. Contoh konkretnya adalah perlunya kehati-hatian
dalam memajaki ekonomi digital.
Kedua, kebijakan yang berfokus
pada upaya membangun kepatuhan melalui pemilahan wajib pajak berdasarkan
tingkat risiko. Pemerintah perlu memberikan kelonggaran kepada mereka yang
telah mengikuti amnesti pajak dan relatif sudah patuh seraya di saat
bersamaan menyasar kelompok yang berada di luar sistem perpajakan dan secara
sengaja menolak untuk patuh dan tak membayar pajak. Audit pajak dan instrumen
penegakan hukum lain seyogianya diarahkan kepada kelompok tak patuh agar
mendorong kepatuhan pajak secara efektif dan masif. Misalnya, tindak lanjut
yang serius terhadap mereka yang “tak terjangkau dan tak tersentuh” di Panama
Papers dan Paradise Papers dapat memenuhi dahaga publik akan keadilan.
Ketiga, merancang skema
insentif dan stimulus yang berdampak nyata pada perekonomian nasional,
terutama arus kas perusahaan dan daya beli masyarakat. Dalam jangka pendek,
percepatan restitusi, perubahan aturan tentang wajib pungut Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) untuk grup usaha BUMN, pemberian pengurangan angsuran pajak,
pemeriksaan pajak yang fair dan obyektif, transparansi penyelesaian sengketa
pajak, modifikasi struktur penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan
perluasan allowance bagi rumah tangga, perluasan pembebasan temporer PPN
terhadap barang yang dibutuhkan masyarakat, serta perbaikan struktur tarif
dan administrasi perpajakan untuk UKM dan profesional.
Keempat, kaji ulang terhadap
kebijakan dan aturan yang tumpang tindih serta cenderung menciptakan
ketidakpastian dan hambatan. Termasuk di sini kesediaan mengerem hasrat untuk
memajaki yang terlampau kuat. Otoritas pajak perlu duduk bersama dengan para
pemangku kepentingan untuk mengurai kerumitan aturan perpajakan agar lebih
berkepastian dan dapat diimplementasikan secara konsisten. Termasuk dalam hal
ini adalah membangun sistem akuntabilitas dan integritas dalam pelaksanaan
kebijakan pertukaran informasi keuangan otomatis.
Kelima, simplifikasi
administrasi dan prosedur perpajakan. Administrasi perpajakan Indonesia belum
sederhana. Tak sekadar otomasi dan pengembangan sistem berbasis teknologi
informasi, penyederhanaan mencakup proses bisnis-daftar, setor, lapor,
hapus-yang masih rumit agar lebih murah dan mudah dijalankan. Keenam,
memperbaiki komunikasi publik dengan lebih berfokus pada tindakan simbolik
yang terukur dan menjamin kepastian arah yang jelas. Letupan-letupan serta
simpang siur kebijakan dan tindakan yang berpotensi menciptakan kegaduhan
perlu dikurangi demi merawat persepsi dan menjaga kepercayaan publik.
Tentu saja keenam hal itu
merupakan quick win untuk meraih kembali simpati demi terciptanya situasi
yang kondusif. Agenda-agenda penting dan bersifat jangka menengah tetap harus
disiapkan dan dikerjakan secara paralel. Di antaranya revisi UU Perpajakan,
termasuk UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyimpan banyak lubang
kelemahan, desain ulang arsitektur fiskal pusat-daerah, implementasi single
identification number, persiapan transformasi kelembagaan menuju badan
penerimaan perpajakan yang mandiri, pengembangan sistem administrasi berbasis
teknologi informasi yang canggih, reformasi pengadilan pajak, dan kerja sama
perpajakan internasional.
Kepercayaan publik yang tinggi
terhadap Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus
dimanfaatkan sebagai momentum membangun sistem perpajakan yang kredibel dan
akuntabel. Di saat kita terengah-engah dan berjibaku memenuhi target APBN,
apresiasi layak disampaikan kepada jajaran Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan
Cukai yang berkomitmen mereformasi diri.
Kepemimpinan pajak
Moderasi target pajak sejak
APBN Perubahan 2017 harus dilanjutkan demi membangun fondasi yang kokoh.
Jangan sampai kerja keras membangun sistem yang baik jadi sia-sia tersapu
badai ketakpercayaan publik. Perlu disiplin dan komitmen tinggi dari seluruh
pejabat dan aparatur pajak. Otoritas pajak perlu terus ditantang untuk
membuktikan bahwa mereka layak menjadi lembaga pemungut yang mandiri.
Pimpinan perlu memastikan manajemen, kontrol, dan panduan yang efektif untuk
menghindari tindakan yang berpotensi menggerus kepercayaan.
Pemahaman dan kepekaan terhadap
situasi konkret perekonomian yang butuh kelonggaran dan kepastian di satu
sisi dan penegakan hukum untuk memenuhi rasa keadilan publik perlu dijaga
takarannya. Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani perlu memimpin langsung
demi memastikan program reformasi perpajakan berjalan dengan baik. Tiga
fungsi utama-harmonisasi, debottlenecking, dan breakthrough-harus berjalan
efektif. Tugas dirigen adalah memastikan semua pemain mengikuti panduan agar
tersaji alunan musik yang rancak nan merdu.
Kepemimpinan di semua lini
harus dipastikan mengacu pada visi besar tunggal. Peringatan Aristides-Bapak
Keadilan Pajak-tetap bergema nyaring: memungut pajak yang adil bukan sekadar
bebas korupsi, melainkan harus membuat bahagia semua pihak. Dengan kata lain,
pajak harus menjadi seni dan ikhtiar berkontribusi bagi kemajuan bangsa
dengan cara-cara membahagiakan. Jangan sampai Minerva telanjur datang di
rembang petang dan sesal kemudian tiada guna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar