Menikah
Itu Berfoto
Bandung Mawardi ; Kuncen Bilik Literasi
Solo
|
DETIKNEWS,
06 November
2017
Orang berani menikah berarti
sanggup mengalami kesibukan-kesibukan untuk girang atau letih. Menikah
telanjur dianggap peristiwa terheboh sepanjang hidup. Orang-orang nekat
pusing atau serius demi menggelar acara pernikahan. Adat dan industri
membenarkan bahwa peristiwa pernikahan menjelaskan pesta melibatkan ribuan
sampai jutaan orang. Konon, menikah itu sakral tapi gampang disisipi
pamrih-pamrih picisan dan sensasional yang tak wajib bermakna.
Dulu, orang-orang pernah
mendengar lagu sedih dilantunkan Ratih Purwasih. Perempuan sendu itu
bercerita: Hitam putih fotomu/ dalam album kenangan/ Kusimpan selalu/
kukenang kembali kala rindu... Sedih pun memuncak: Biar, biarlah sepi/
hari-hariku tanpa kamu lagi/ Biar, biar kucari/ jalan hidupku tanpa kamu
lagi/ Kuyakin di sela hari-hari/ pasti masih tertinggal di sana cinta
untukku... Lelaki dan perempuan pernah saling mencintai dan bertukar foto.
Mata melihat foto demi penebusan rindu. Mereka tak jadi menikah. Kebahagiaan
hidup dalam acara pernikahan dengan berfoto puluhan kali tak pernah tercapai.
Lagu berjudul Hitam Putih
Fotomu itu cerita lama bagi orang-orang mendamba asmara, berharap memiliki
tambahan koleksi ratusan foto saat pernikahan.
Masa berpacaran adalah masa
membuat dan mengoleksi foto. Mata memandang foto orang tercinta dan mencipta
imajinasi kegantengan, kecantikan, kemesraan, kelembutan, kebahagiaan, dan
kemesuman. Pada foto, segala hal ingin termuat dan diceritakan meski lazim
mengandung muslihat rupa dan kata-kata bualan. Pada masa 1970-an sampai
1990-an, keinginan mengoleksi foto tercetak menimbulkan ketagihan bagi
orang-orang yang dirundung asmara. Foto itu cerita berdua untuk menjadi
kenangan sepanjang masa.
Pada hari-hari menjelang
pernikahan, lelaki dan perempuan mengadakan kesibukan dengan mengurusi
fotografer, duit, dan menghitung jumlah foto yang bakal dikoleksi dalam album
besar. Berfoto termasuk kesibukan penting dalam menikah. Kaum berduit maupun
miskin sama-sama keranjingan menghasilkan foto pernikahan. Dulu, foto itu
dipamerkan di dinding ruang tamu, kamar tidur, atau disimpan dalam dompet.
Foto di peristiwa sakral kadang dihiasi agar semakin elok.
Masa itu berlalu dengan
pergantian teknologi-teknologi baru dan tata cara semakin sensasional.
Pernikahan tetap sakral tapi kesibukan berfoto sudah sampai pada selebrasi
berlebihan dan fantastis. Kita mending menilik dulu sekian renungan tentang
pernikahan dan foto, sebelum kebablasan mengurusi pesta atau candu foto. Di
majalah Matra edisi Juli 1989, Mudji Sutrisno menyuguhkan esai renungan
berjudul Ritus Memotret dan Perkawinan. Mudji Sutrisno mengingatkan bahwa
kesucian pernikahan biasa teruji di akhir perhelatan pernikahan. Ujian tampak
dari keinginan berfoto dengan dalih "mengabadikan kenangan penghayatan
ritual perkawinan".
Berfoto bukan peristiwa yang
cuma dimiliki pengantin tapi mengikutkan keluarga, teman, tamu, dan
orang-orang yang berkepentingan dalam acara pernikahan. Berfoto mungkin malah
memicu perbedaan, hierarki, kecemburuan, dominasi, dan pelanggaran
kesantunan. Di mata Mudji Sutrisno, berfoto itu ritual meski sering mengusik
kesakralan pernikahan.
Rendra pun mengartikan
pernikahan atau perkawinan itu ritual sakral meski dengan cara yang berbeda
dalam mengabadikannya. Ia tak melulu memilih foto. Rendra mengalami dan
"memotret" dengan kata-kata, bukan jepretan kamera. Ritual
menjelang, saat, dan setelah pesta pernikahan dituliskan dalam puisi-puisi
yang memikat, terkumpul dalam Kakawin Kawin (1961). Rendra enggan pamer foto,
lebih memilih mempersembahkan puisi bagi semua orang. Puisi kadang terasa
mistis.
Dalam puisi Malaikat di Gereja
St Josef Rendra bercerita: Di Geredja St Josef/ tanggal 31 Maret 1959/ di
pagi jang basah/ sesosok malaikat telah turun./ Sesosok malaikat remadja/
dengan rambut keriting/ berajun di lidah lontjeng.
Pernikahan Rendra adalah
peristiwa puisi, melampaui peristiwa berfoto. Pada puisi berjudul Njanjian
Pengantin, ia mengaku: Kami adalah pagi hari/ Kami adalah tjaja jang pertama/
Bumi keras. Batu keras/ Berantuk dengan mimpi. Pengantin itu ada di puisi,
tak tercetak di foto untuk disimpan di buku album atau dipasang di tembok.
Masa lalu telah menjadi
nostalgia. Kini, pernikahan semakin diwarnai kesibukan berfoto. Kita bisa
mengutip berita-berita kesibukan berfoto sebelum pernikahan akbar di Solo, 8
November 2017. Kahiyang Ayu dan Bobby Afif Nasution tak bepergain ke luar
negeri untuk membuat foto sebelum hajatan pernikahan. Foto-foto jenis itu
biasa dipasang di undangan atau dipamerkan dalam ukuran besar di tempat
pernikahan. Foto pun sering dipamerkan di media sosial. Foto-foto lelaki dan
perempuan menjelang pernikahan. Foto itu sudah mengandaikan mereka mesra dan
terikat janji setia sampai mati. Foto jenis itu berbeda dengan foto-foto saat
pernikahan dan bulan madu.
Selasa, 19 September 207,
Kahiyang Ayu-Bobby Arif Nasution berfoto di Yogyakarta, tak meniru artis
harus berfoto di tempat-tempat terindah di luar negeri. Mereka berfoto secara
tematik dan ada selera Eropa. Sentuhan khas Nusantara ada meski tak
mendominasi. Mereka bergantian mengenakan batik dan tenun tradisional Batak.
Foto sebelum hajatan pernikahan telanjur dianggap penting pada abad XXI.
Konon, berfoto demi makna. Orang-orang memuji atau takjub jika foto-foto itu
telah dicetak di lembar undangan, atau tampil dalam pengumuman di koran. Foto
pun beredar di media sosial.
Orang-orang mengetahui dua
orang bakal menikah dengan melihat foto-foto mesra dan apik. Orang mungkin
digoda mengagumi foto ketimbang mendoakan dan berpikir pernikahan itu sakral.
Pernikahan adalah kesibukan demi foto, untuk mengiringi pembentukan makna-makna
lahir dan batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar