Kamis, 09 November 2017

Menikah Itu Berfoto

Menikah Itu Berfoto
Bandung Mawardi  ;   Kuncen Bilik Literasi Solo
                                                DETIKNEWS, 06 November 2017



                                                           
Orang berani menikah berarti sanggup mengalami kesibukan-kesibukan untuk girang atau letih. Menikah telanjur dianggap peristiwa terheboh sepanjang hidup. Orang-orang nekat pusing atau serius demi menggelar acara pernikahan. Adat dan industri membenarkan bahwa peristiwa pernikahan menjelaskan pesta melibatkan ribuan sampai jutaan orang. Konon, menikah itu sakral tapi gampang disisipi pamrih-pamrih picisan dan sensasional yang tak wajib bermakna.

Dulu, orang-orang pernah mendengar lagu sedih dilantunkan Ratih Purwasih. Perempuan sendu itu bercerita: Hitam putih fotomu/ dalam album kenangan/ Kusimpan selalu/ kukenang kembali kala rindu... Sedih pun memuncak: Biar, biarlah sepi/ hari-hariku tanpa kamu lagi/ Biar, biar kucari/ jalan hidupku tanpa kamu lagi/ Kuyakin di sela hari-hari/ pasti masih tertinggal di sana cinta untukku... Lelaki dan perempuan pernah saling mencintai dan bertukar foto. Mata melihat foto demi penebusan rindu. Mereka tak jadi menikah. Kebahagiaan hidup dalam acara pernikahan dengan berfoto puluhan kali tak pernah tercapai.

Lagu berjudul Hitam Putih Fotomu itu cerita lama bagi orang-orang mendamba asmara, berharap memiliki tambahan koleksi ratusan foto saat pernikahan.

Masa berpacaran adalah masa membuat dan mengoleksi foto. Mata memandang foto orang tercinta dan mencipta imajinasi kegantengan, kecantikan, kemesraan, kelembutan, kebahagiaan, dan kemesuman. Pada foto, segala hal ingin termuat dan diceritakan meski lazim mengandung muslihat rupa dan kata-kata bualan. Pada masa 1970-an sampai 1990-an, keinginan mengoleksi foto tercetak menimbulkan ketagihan bagi orang-orang yang dirundung asmara. Foto itu cerita berdua untuk menjadi kenangan sepanjang masa.

Pada hari-hari menjelang pernikahan, lelaki dan perempuan mengadakan kesibukan dengan mengurusi fotografer, duit, dan menghitung jumlah foto yang bakal dikoleksi dalam album besar. Berfoto termasuk kesibukan penting dalam menikah. Kaum berduit maupun miskin sama-sama keranjingan menghasilkan foto pernikahan. Dulu, foto itu dipamerkan di dinding ruang tamu, kamar tidur, atau disimpan dalam dompet. Foto di peristiwa sakral kadang dihiasi agar semakin elok.

Masa itu berlalu dengan pergantian teknologi-teknologi baru dan tata cara semakin sensasional. Pernikahan tetap sakral tapi kesibukan berfoto sudah sampai pada selebrasi berlebihan dan fantastis. Kita mending menilik dulu sekian renungan tentang pernikahan dan foto, sebelum kebablasan mengurusi pesta atau candu foto. Di majalah Matra edisi Juli 1989, Mudji Sutrisno menyuguhkan esai renungan berjudul Ritus Memotret dan Perkawinan. Mudji Sutrisno mengingatkan bahwa kesucian pernikahan biasa teruji di akhir perhelatan pernikahan. Ujian tampak dari keinginan berfoto dengan dalih "mengabadikan kenangan penghayatan ritual perkawinan".

Berfoto bukan peristiwa yang cuma dimiliki pengantin tapi mengikutkan keluarga, teman, tamu, dan orang-orang yang berkepentingan dalam acara pernikahan. Berfoto mungkin malah memicu perbedaan, hierarki, kecemburuan, dominasi, dan pelanggaran kesantunan. Di mata Mudji Sutrisno, berfoto itu ritual meski sering mengusik kesakralan pernikahan.

Rendra pun mengartikan pernikahan atau perkawinan itu ritual sakral meski dengan cara yang berbeda dalam mengabadikannya. Ia tak melulu memilih foto. Rendra mengalami dan "memotret" dengan kata-kata, bukan jepretan kamera. Ritual menjelang, saat, dan setelah pesta pernikahan dituliskan dalam puisi-puisi yang memikat, terkumpul dalam Kakawin Kawin (1961). Rendra enggan pamer foto, lebih memilih mempersembahkan puisi bagi semua orang. Puisi kadang terasa mistis.

Dalam puisi Malaikat di Gereja St Josef Rendra bercerita: Di Geredja St Josef/ tanggal 31 Maret 1959/ di pagi jang basah/ sesosok malaikat telah turun./ Sesosok malaikat remadja/ dengan rambut keriting/ berajun di lidah lontjeng.

Pernikahan Rendra adalah peristiwa puisi, melampaui peristiwa berfoto. Pada puisi berjudul Njanjian Pengantin, ia mengaku: Kami adalah pagi hari/ Kami adalah tjaja jang pertama/ Bumi keras. Batu keras/ Berantuk dengan mimpi. Pengantin itu ada di puisi, tak tercetak di foto untuk disimpan di buku album atau dipasang di tembok.

Masa lalu telah menjadi nostalgia. Kini, pernikahan semakin diwarnai kesibukan berfoto. Kita bisa mengutip berita-berita kesibukan berfoto sebelum pernikahan akbar di Solo, 8 November 2017. Kahiyang Ayu dan Bobby Afif Nasution tak bepergain ke luar negeri untuk membuat foto sebelum hajatan pernikahan. Foto-foto jenis itu biasa dipasang di undangan atau dipamerkan dalam ukuran besar di tempat pernikahan. Foto pun sering dipamerkan di media sosial. Foto-foto lelaki dan perempuan menjelang pernikahan. Foto itu sudah mengandaikan mereka mesra dan terikat janji setia sampai mati. Foto jenis itu berbeda dengan foto-foto saat pernikahan dan bulan madu.

Selasa, 19 September 207, Kahiyang Ayu-Bobby Arif Nasution berfoto di Yogyakarta, tak meniru artis harus berfoto di tempat-tempat terindah di luar negeri. Mereka berfoto secara tematik dan ada selera Eropa. Sentuhan khas Nusantara ada meski tak mendominasi. Mereka bergantian mengenakan batik dan tenun tradisional Batak. Foto sebelum hajatan pernikahan telanjur dianggap penting pada abad XXI. Konon, berfoto demi makna. Orang-orang memuji atau takjub jika foto-foto itu telah dicetak di lembar undangan, atau tampil dalam pengumuman di koran. Foto pun beredar di media sosial.

Orang-orang mengetahui dua orang bakal menikah dengan melihat foto-foto mesra dan apik. Orang mungkin digoda mengagumi foto ketimbang mendoakan dan berpikir pernikahan itu sakral. Pernikahan adalah kesibukan demi foto, untuk mengiringi pembentukan makna-makna lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar