Kamis, 02 November 2017

Mengasuh BBM Satu Harga

Mengasuh BBM Satu Harga
Ibrahim Hasyim ;   Komisioner Badan Pengatur Hilir Migas 2007-Mei 2017
                                                  TEMPO.CO, 01 November 2017



                                                           
Kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga merupakan kebijakan pemerintah yang berani. Sampai saat ini, Pertamina sudah membangun dan mengoperasikan lembaga penyalur BBM di 26 lokasi yang tersebar di Papua, Maluku, dan Kalimantan sebagai bagian dari target 148 lokasi pada akhir 2019.

Dari perspektif keadilan, kebijakan ini sangat bagus. Masalahnya, BBM jenis Premium sudah masuk kategori BBM non-subsidi. Maka, sungguh mengejutkan bila pemerintah memberikan penugasan tambahan kepada badan usaha untuk memasok BBM ke lokasi terpencil tanpa insentif langsung. Tugas ini tentu memberatkan mereka. Kalau tidak diasuh, hal ini bisa berpotensi macet di jalan. Paling tidak, ada tiga potensi masalah yang perlu diasuh agar dampaknya minimal, yakni penentuan titik lokasi penyalur, pemilihan moda mata rantai pasok, serta mitigasi dampak pertumbuhan konsumsi dan biaya. Titik lokasi penyalur adalah titik lokasi dibangunnya infrastruktur penyalur BBM dan di lokasi itulah titik serah BBM satu harga.

Contohnya, pembangunan sebuah lembaga penyalur BBM di Yakuhimo, Papua, sehingga di titik itu harganya sama. Tapi wilayah Yakuhimo dan kabupaten lain cukup luas.Karena masih banyak titik lokasi yang belum terlayani, maka mengalirlah BBM murah itu ke sana. Hal ini akan sulit untuk dibendung. Itu yang menyebabkan setiap pasokan BBM habis dalam hitungan jam. Dalam situasi seperti ini, hanya ada dua pilihan: menambah titik lokasi baru di kabupaten itu atau membangun di kabupaten lain. Di kabupaten yang pertumbuhan konsumsinya tinggi, penambahan titik lokasi di kabupaten yang sama akan sangat diperlukan.

Pertamina pasti berpengalaman kala membangun 43 depot BBM di wilayah timur pada 1970-an. Karena infrastruktur tahap awal dibangun dengan kapasitas kecil, maka pasokan cepat mengalami kekurangan. Hal ini janganlah terulang karena pembangunannya butuh waktu lama. Maka, menambah kapasitas dengan penyalur baru di satu kabupaten menjadi sangat perlu. Moda transportasi yang digunakan untuk memasok BBM ke wilayah terpencil pada umumnya adalah angkutan udara dan angkutan air karena infrastruktur jalan darat belum ada. Angkutan udara yang digunakan adalah pesawat terbang kecil dengan muatan 3 ton BBM, yang terbang bolak-balik dan kerap terganggu oleh perubahan cuaca.

Pengalaman pasokan BBM ke Wamena, yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun, adalah guru yang paling berharga. Diawali dengan volume kecil, kemudian konsumsinya membengkak dengan cepat sekali sehingga menjadi seperti sekarang. Ini telah menyebabkan biaya angkut merangkak naik dengan cepat. Logis bila Pertamina berupaya untuk membatasi volume agar ongkos angkut dapat ditekan kenaikannya. Akibatnya, pasar BBM Wamena kemudian terbelah dua: BBM harga subsidi dan BBM dengan harga yang lebih mahal. Supaya tidak menjadi rebutan, pemerintah daerah pun turun tangan mengaturnya. Kondisi itu diperparah lagi dan sulit dihindari karena BBM dari Wamena pun mengalir ke kabupaten lain di sekitarnya.

Konsumsi BBM di lokasi terpencil sangat cepat naik, terutama karena merembes ke lokasi lain yang belum ada lembaga penyalurnya. Ini menakibatkan pasokan BBM cepat menurun. Mitigasi dampaknya harus dilakukan dari jauh hari. Tidak semua permasalahan di tiap lokasi bisa diperbaiki badan usaha dengan efisiensi rantai pasokan. Pemerintah juga perlu membangun jalan darat. Bayangkan kalau jalan Jayapura ke Wamena selesai pembangunannya, maka keandalan pasokan BBM di sana pasti menjadi jauh lebih baik.

Lain lagi halnya dengan moda transportasi air, seperti dalam kasus memasok BBM ke hulu Sungai Kapuas di Kalimantan di dekat perbatasan Malaysia. Awalnya, kapal mengangkut 250 drum BBM, tapi kemudian harus ditukar dengan kapal berkapasitas 100 drum karena sungai mulai dangkal. Begitu seterusnya hingga sampai ke lokasi penyalur, yang hanya bisa dilayari oleh kapal pengangkut 20 drum.

Kondisi seperti ini bisa terjadi di mana saja. Karena itu, program BBM satu harga harus dilakukan bertahap dengan selalu memperhatikan keandalan mata rantai pasok ke titik lokasi yang ditetapkan dan terus-menerus mengikuti tingkat pertumbuhan konsumsi. Program ini harus diasuh. Mitigasi terhadap dampak pertumbuhan konsumsi dan biaya yang cepatharus pula dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar