Kamis, 02 November 2017

Masa Depan Bung Besar

Masa Depan Bung Besar
Asep Salahudin  ;   Tenaga Ahli UKP-PIP;
Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
                                                    KOMPAS, 01 November 2017



                                                           
Berbicara keindonesiaan hari ini, diakui atau tidak, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Bung Karno. Bung Karno tidak hanya berhasil memaksa kita menengok masa silam, tetapi juga meyakinkan kita untuk memiliki kesanggupan meneropong masa depan.

Bung Karno tidak hanya disebut sebatas proklamator, presiden pertama RI, waliyul amri, dan orator ulung. Lebih dari itu, sekian karyanya  mengilhami bangsa ini agar terampil, berdikari, dan percaya diri meretas jalan ke depan. Negara despotik Orde Baru di bawah Jenderal Besar Soeharto—lengkap dengan aparatusnya—telah berupaya  mengubur berkali-kali setiap kenangan tentang Bung Karno. Alih-alih menampakkan hasil maksimal, yang terjadi justru kerinduan terhadap Bung Karno kian menjadi-jadi.

Tentu saja karya terbesarnya adalah Pancasila. Walaupun setiap sila lahir dari hasil diskusi segenap manusia pergerakan, Bung Karno adalah sosok yang berperan besar dalam merumuskan dasar negara itu. Pancasila adalah refleksi utuh dari pemadatan pemikirannya sepanjang perjuangannya. Ideologi-ideologi yang dipikirkan dan ditulisnya pada awal-awal masa pergerakan terwadahi dalam setiap sila itu. Lima prinsip dasar itu semula adalah: ”kebangsaan Indonesia”, ”internasionalisme atau perikemanusiaan”, ”mufakat atau demokrasi”, ”kesejahteraan sosial”, dan ”ketuhanan yang berkebudayaan”.

Gagasan keindonesiaan

Kekuatan Bung Karno terletak pada tindakan politiknya sekaligus kekuatan pikirannya. Pikiran Bung Karno tentang bangsanya tidak dicomotnya begitu saja dari teori-teori besar pemikiran Barat, tetapi justru diendapkan terlebih dahulu dan dikontekstualisasikan dengan roh kebudayaan Nusantara. Di tangan Bung Karno, Marxisme, sosialisme, dan bahkan Islamisme tampak jadi unik, khas, berkarakter, dan sangat kuat atmosfer keindonesiaannya. Bahkan, membubuhkan  penafsiran baru yang jauh berbeda daripada tokoh yang dikutipnya. Bung Karno tak segan-segan mengawinkan semua ideologi itu dan meyakini bahwa cara seperti itu yang paling relevan dengan manusia Indonesia.

Masyarakat Nusantara yang heterogen hanya dapat dipersatukan tidak dengan membangun jembatan ideologi tunggal, eksklusif, dan tertutup, tetapi justru lewat sikap lapang. Islamisme saja hanya akan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Pan-Islamisme yang bercorak Timur Tengah, sementara kukuh dalam komunisme hanya akan menempatkan Indonesia sebagai bagian dari blok Uni Soviet atau RRC. Maka, membangun jalan tengah agar tidak jatuh dalam kutub ekstrem adalah satu keniscayaan sekaligus juga satu-satunya cara yang bisa dijadikan modal sosial-politik untuk membangun persatuan. Kata Bung Karno, ”Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia merdeka adalah bahtera persatuan.”

Terbukti dalam sejarah gagasan-gagasan Bung Karno berhasil menjadi kiblat dan rujukan politik-kultural Indonesia. Kelompok kiri mengalami kegagalan di tangan PKI juga mazhab kanan berantakan ketika diupayapaksakan DI/NII. Paham Soekarno-lah yang menjadi arus utama sampai hari ini, menjadi pegangan manusia Indonesia walaupun Soekarno-nya sendiri secara fisik kekuasaannya berhenti tahun 1966 sejak revolusi merangkak yang dilakukan Soeharto dan Angkatan Darat lengkap dengan Supersemar yang sampai saat ini surat aslinya  tak karuan entah di mana.

Jalan keagamaan

Bung Karno menulis sangat lengkap: mempercakapkan  politik, sosial, jender, ekonomi, juga tema keagamaan. ”Surat-Surat dari Ende” dan perdebatannya dengan M Natsir tentang hubungan Islam dan negara memperlihatkan kecenderungan  politik Bung Karno yang hanya bisa menerima Islam sebatas nilai-nilainya: spirit atau api Islam. Pandji Islam yang terbit bulan Mei 1940 dengan jelas memperlihatkan bagaimana Soekarno memuji keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk yang telah memisahkan agama dan negara di Turki, mengakhiri sistem daulah beralih pada demokrasi dan republikanisme.

Bagi Bung Karno, Islam yang benar itu  identik dengan kemajuan, berpikir progresif, membuka pintu ijtihad, serta adaptif terhadap demokrasi dan kemodernan. Ketika umat Islam ingin memengaruhi negara, tidak boleh lewat jalan pemaksaan, apalagi kekerasan, tetapi semestinya melalui jalur formal di parlemen. Ruang publik konstituante harus dimanfaatkan untuk menguji apakah gagasan umat Islam (dan agama lain) disetujui atau tidak. Kalau aspirasi Islam itu ditampik, kata Bung Karno, ”Tuan punya rakyat belum rakyat Islam!” Dalam istilah KH Abdurrahman Wahid, Islam itu dalam bingkai kenegaraan harus ditempatkan bukan sebagai aspirasi, melainkan inspirasi.

Kata Bung Karno dalam Pandji Islam, ”Kalau mereka tidak terima konstitusi Islam, apakah mau paksa saja kepada mereka, dengan menghantam tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka musti ditundukkan kepada kemauan tuan itu? Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula, bagaimana? Tuan tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secindel abangnya karena zaman sekarang  adalah zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu.”

Kaum radikal

Yang relevan dari Bung Karno bukan hanya gagasan politik (yang berdaulat), ekonomi (yang berdikari) dan budaya (yang berkepribadian), melainkan juga caranya menempatkan agama dalam konteks kenegaraan. Bung Karno paham betul bahwa bangsa Indonesia yang majemuk hanya bisa bersatu ketika kaum agamawan tidak memaksakan kehendaknya menerapkan agama di ruang publik bernegara. Justru Pancasila ditampilkan tidak hanya untuk memuaskan kepentingan politik dan mengatur keseimbangan elite manusia pergerakan saat itu, tetapi lebih dari itu adalah memastikan bahwa kebinekaan akan tetap terjamin.

Bahwa kemerdekaan yang telah mengorbankan   nyawa, pikiran, dan benda tidak boleh kemudian berantakan hanya karena alasan dangkal egoisme setiap agama. Harus diakui, rontoknya negara-negara di Timur Tengah dalam peristiwa kelam ”Musim Semi Arab” faktor utamanya karena negara-negara itu tidak memiliki ”Pancasila” yang mengikat setiap agama, etnik yang berbeda, dan suku bangsa dalam kesepakatan bersama. Lalu, dengan mudah mereka mengangkat senjata, membunuh satu sama lain atas nama ”kebenaran” parsial yang diyakini setiap kelompok, berperang untuk menuntaskan dendam silam yang diwariskan secara turun-temurun karena absennya sebuah ikatan yang dapat mempersatukan satu dan lainnya. ”Kebenaran” bukan dibicarakan satu meja dengan kepala dingin dan hujah diskursif, melainkan malah melalui senjata yang memuntahkan peluru yang boleh jadi menyasar rakyat tak berdosa dan tidak tahu apa-apa.

Kalau hari ini di negara kita politik identitas kembali dihidupkan seperti pada hiruk pikuk tak bermutu Pilkada DKI Jakarta, tidak menutup kemungkinan menjalar ke provinsi lain pada hajat demokrasi Pemilu 2019, maka cara-cara seperti ini bukan hanya  melambangkan lajur politik primitif, melainkan juga mencerminkan absennya sikap menghargai para leluhur secara semestinya. Politik identitas sebenarnya telah selesai dibicarakan. Para pendiri bangsa sudah susah payah menjahit tenun kebangsaan sehingga menghasilkan kain warna-warni keindonesiaan yang elok, jangan kemudian jahitan itu dirobek atas nama politik sesat ”menggunting dalam lipatan” demi memburu kekuasaan fana yang serba sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar