Kebangsaan
dan Ekstremisme Global
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe; Dewan Pakar NU Aceh
|
KOMPAS,
04 November
2017
Meskipun muncul gerakan anti-
NKRI, konsep Indonesia masih tegak. Penyebabnya, konsep keindonesiaan masih
terus dimaknai, direvitalisasi, dikontekstualisasi, dan dicari nilai-nilai
signifikansinya di dalam hidup kekinian dan ke depan. Hal itu menjadi penanda
bahwa sebagian besar dari kita masih percaya pada proyek nasionalisme bernama
Indonesia!
Lihat saja, tiap momentum 20 Mei, 1 Juni, 17 Agustus, 1 Oktober, 28
Oktober, dan 10 November, selalu ada memorialisasi atas nilai nasionalisme,
heroisme, dan patriotisme. Baik diwujudkan sebagai selebrasi formal
kenegaraan ataupun refleksi filosofis-historis yang berhasrat pada
pengetahuan dan gerakan sosial.
Dialektika globalisasi
Wacana nasionalisme awalnya
berasal dari sejarah globalisasi. Ia berkembang dan membesar sehingga jadi
fenomena sosial-politik masif. Namun, setelah 300 tahun, nasionalisme
menghadapi serangan balik dari globalisasi, seperti pengempisan dan
pengaburan.
Jika merujuk Eric
Hobsbawm, sejarawan Inggris, sejarah
nasionalisme telah menyemburkan bunga api yang cukup menakjubkan. Benar-benar
fenomena yang sangat dahsyat dan tidak pernah dijumpai di abad-abad sebelum
abad ke-18. Fenomena itu berupa kekompakan sosial baru yang dibangun di atas
aliansi bahasa, etnik, latar belakang sejarah, dan penderitaan menuju
semangat ”persatuan bangsa” melawan ”kekuatan luar”.
Namun, memasuki dekade pertama
milenium ketiga, terjadi dialektika baru yang menegasikan sejarah dan konsep
nasionalisme. Nasionalisme menghadapi tantangan lain dari globalisasi, berupa
implosi: ledakan di dalam yang
menyerbukkan getah bening bagi tubuh nasionalisme itu sendiri berupa
ekstremisme agama dalam skala global.
Ekstremisme global ini menggoda
negara-bangsa yang sangat majemuk seperti Indonesia, dengan menawarkan
harapan perubahan baru, seperti khilafah, ISIS, dan juga politik agama.
Dengan cepat konsep keindonesiaan dianggap
tidak memadai lagi untuk menampung imajinasi anak bangsa tentang Indonesia
kekinian. Dituduh bahwa konsep Indonesia hanya bisa ”menanggung derita,
tetapi tanpa pernah menebus diri menjadi bahagia bersama.” Korupsi,
ketimpangan sosial, perasaan inferiority complex, eksklusivitas kelas sosial,
dan diskriminasi dalam pembangunan menjadi sebab munculnya kesadaran sublim;
keterpukauan pada sesuatu yang lain.
Di sebagian umat Islam, wujud kerapuhan
pemahaman kebangsaan Indonesia berbasis Pancasila ini dicari alasannya pada
aspek historis formal, yaitu pada ”perampokan tujuh kata” pada sila pertama,
”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sejarah Pancasila yang berlaku dinamis di dalam dirinya itu dilihat dalam
konteks eksklusif hari ini, yang ironisnya bisa dibaca sebagai ahistoris.
Itulah takdir halusinatif saat
ini. Ide khilafah atau politik syariat Islam dianggap menjadi penanda baru
dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan maju untuk Indonesia. Ide
syariah dianggap kompatibel dengan khilafah, yang kemudian dicocok-cocokkan
pada frasa ”jika konsep ibadah berlangsung sempurna, maka kondisi politik
bangsa pun otomatis sejahtera.”
Simplifikasi logika ini bukan
saja meracuni realitas sosial-budaya masyarakat, juga menjadi amphetamine
yang menyebabkan orang tak perlu mencari alasan- alasan lain dalam
menyelesaikan masalah sosial-politik yang demikian kompleks.
Tiba-tiba orang tidak lagi
melihat politik sebagai sebuah kontestasi yang terbuka pada program, ide, dan
perjuangan perbaikan masyarakat, tetapi ”seberapa lurus” pemimpin itu berada
dalam haluan keimanan yang sama dengan pemilihnya, begitu seterusnya. Konsep
primordialisme itu pun diternakkan. Agama dan politik terlibat perkawinan
paksa, menjadi sangat formal, seremonial, dan literal.
Akhirnya, kelompok intoleran memiliki
panggung politik. Sikap radikal dianggap lebih bergaya, optimistis,
progresif, dan maskulin; bukan hanya menyerang Islam moderat, tetapi juga
pluralisme dan keragaman etnis. Padahal, di Indonesia tumbuhnya Islam moderat
bersifat sangat antropologis. Spirit
Islam Indonesia tidak berasal dari desakan model doktrin ”serba negara”,
seperti di Arab Saudi atau Maroko sebagaimana yang terlihat dalam kajian
Clifford Geertz (Islam Observed, 1968), tetapi merupakan interseksi sejarah,
kebudayaan, dan perubahan transtemporal politik ekonomi agraris yang sebagian
besar tersentral di perdesaan.
Populisme Islam vs warga multikultural
Jika kini terlihat ide khilafah
mekar, tak lain itu hanya gambaran perkotaan. Ia tidak merepresentasikan
Indonesia yang beragam. Wacana khilafah dan Islam politik malah hanya menjadi
daya pukau di kalangan pemerintahan, yang hidupnya dibiayai negara, seperti
aparat sipil negara (ASN).
Berita dari media lokal di Aceh
mengafirmasi hal itu: ”Tiga kampus di Aceh Terindikasi Paham HTI” (Serambi
Indonesia, 29 September 2017). Berita
itu sempat mengejutkan para rektor. Bagaimana bisa kampus yang seharusnya
menjadi poros kebijaksanaan dan memikul tanggung jawab kemanusiaan-kebangsaan
malah terpapar ideologi impor.
Di sini terlihat bahwa
keterpukauan pada Islam politik atau ide khilafah tidak dapat dilepaskan dari
semakin mencengkeramnya ide populisme global di dalam kehidupan masyarakat.
Populisme Islam itu semakin meresahkan karena juga ikut mengkritik; lebih
tepatnya bersikap sinis atas Islam tradisional yang lebih dulu mengakar di
Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama.
Padahal, Islam tradisional dan moderat telah memiliki lokasi
sosiologis dan sejarah di Nusantara.
Fenomena ini tidak dapat
dilawan dengan merepresi secara politik atau hukum ala Orde Baru. Cara-cara
seperti itu sudah kuno dan berisiko pada pelanggaran HAM. Kita perlu format
baru yang diistilahkan oleh profesor filsafat politik Kanada, Will Kymlicka:
kewargaan multikultural.
Kewarganegaraan multikultural
ini semakin hidup di generasi Y dan Z. Mereka secara sosiologis adalah anak
semua bangsa, tetapi tidak terkungkung pada titik koordinat geografis. Ia
bisa saja warga Aceh yang sedang nongkrong sambil minum kopi uleekareng,
tetapi berhubungan dengan Baghdad, Mekkah, Kairo, New York, atau Chow Kit,
Kuala Lumpur, untuk merancang aksi sosial-kemanusiaan
Generasi ini memiliki tanggung
jawab baru memandang Indonesia dan Pancasila. Mereka lebih sensitif dengan
isu-isu minoritas, termasuk isu pluralisme budaya dan agama. Mereka semakin
terbiasa menerima perbedaan cara pandang minoritas dalam sebuah masyarakat
sekaligus menganggapnya niscaya. Mereka bebas memilih kota-kota harapan
barunya untuk hidup dan berkembang di mana pun di Indonesia. Tidak ada urat
nadi chauvinisme lagi pada mereka.
Di tangan generasi Y dan Z
inilah Indonesia sedang dipertaruhkan. Mereka bahkan memiliki cara ampuh
melawan narasi ekstremisme global melalui penguasaan teknologi informasi,
wacana etika global, dan gerakan humanisme baru.
Mereka adalah anak bangsa
sekaligus warga dunia yang bisa menyaring konsep globalisasi secara positif
dan menolak racun- racun ekstremisme global.
Kita sungguh perlu cara ungkap baru atas konsep kebangsaan dan
Pancasila secara empatik, emik, estetik, dan artistik. Tinggalkan cara-cara
konservatif dan propagandis dalam melawan ekstremisme global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar