Sabtu, 04 November 2017

Eddie Lembong, Tionghoa dalam Keindonesiaan

Eddie Lembong, Tionghoa dalam Keindonesiaan
Asvi Warman Adam  ;   Anggota Dewan Pakar Yayasan Nabil
                                                    KOMPAS, 04 November 2017



                                                           
Eddie Lembong meninggal 1 November 2017 dalam usia 81 tahun. Ia pendiri perusahaan farmasi Pharos yang sejak 1999 selama dua periode menjadi Ketua Perhimpunan Inti (Indonesia-Tionghoa). Tahun 2006, ia memimpin Yayasan Nation Building yang bergerak dalam bidang kebangsaan.

Kerusuhan Mei 1998 yang ikut mengoyak tenunan kebangsaan dengan penjarahan terhadap harta milik etnis Tionghoa menyebabkan Lembong berpikir, ada sesuatu yang salah dalam hubungan antaretnis di negara ini. Oleh sebab itu, ia mendirikan perhimpunan Indonesia-Tionghoa yang bertujuan meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara etnis Tionghoa dengan etnis lain di Nusantara ini. Organisasi ini berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa, antara lain penuntasan masalah Tionghoa di Indonesia warisan masa lalu.  

Saling pengertian antaretnis itu terbentuk karena saling mengenal sejarah masing-masing. Masalahnya, sepanjang Orde Baru, sejarah mengenai etnis Tionghoa dihilangkan dalam pengajaran sejarah Indonesia. Nama Tionghoa diganti China dengan konotasi yang negatif. Orang- orang Tionghoa harus berganti nama Indonesia. Tiga pilar budaya Tionghoa (pendidikan, pers dan organisasi) dilarang. Ada kuota untuk etnis Tionghoa masuk perguruan tinggi negeri. Eddie Lembong terkena dampak kebijakan ini ketika ia ikut seleksi masuk Fakultas Kedokteran UI. Akhirnya ia diterima di jurusan Farmasi ITB.

Seusai kerusuhan di Kalimantan Barat akhir Orde Baru, peneliti Benny Subianto menemukan penyebabnya tiga hal, karena adanya kesenjangan ekonomi, etnis Tionghoa itu hidup pada pemukiman yang nyaris eksklusif dan orang Tionghoa itu tak ikut dalam perjuangan kemerdekaan. 

Persoalan kesenjangan ekonomi memang harus diatasi dan ini menyangkut bukan hanya orang Tiongoa melainkan semua etnis. Kalau ada kelompok yang hidup eksklusif tentu harus dinasihati dan dibuat aturan agar itu tak terjadi. Namun, informasi orang Tionghoa tak ambil andil dalam perjuangan kemerdekaan adalah keliru dan harus diluruskan.

Peran Tionghoa

John Lie telah berjasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pasca-1945 dengan menerobos blokade Belanda dari Sumatera menuju semenanjung Malaya dan Phuket Thailand untuk barter hasil bumi dengan senjata untuk pejuang kita. Dengan menyabung nyawa ia berhasil beberapa kali melakukan tindakan heroik ini. Tahun 2009 ia diangkat menjadi pahlawan nasional, untuk pertama kali bagi orang Tionghoa setelah proses pengangkatan pahlawan itu berlangsung selama 50 tahun.

Ada empat orang Tionghoa menghadiri Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda tahun 1928. Bahkan, tempat berlangsung kongres adalah asrama mahasiswa milik seorang Tionghoa. Syair lagu ”Indonesia Raya” pertama kali dimuat 10 November 1928 pada surat kabar milik orang Tionghoa, Sin Po. Bahkan, Sin Po mencetak syair dan partitur lagu ”Indonesia Raya” sebanyak 5.000 eksemplar untuk dibagikan kepada masyarakat.

Kalangan Tionghoa itu juga ikut menyusun konstitusi Indonesia, UUD 1845. Empat orang Tionghoa menjadi anggota BPUPKI dan seorang pada PPKI. Terdapat beberapa orang Tionghoa yang jadi menteri sejak pemerintahan Soekarno sampai kini. Etnis Tionghoa sama etnis lain di Indonesia telah sama-sama berjuang merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.

Jauh sebelum Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Yayasan Nation Building (Nabil) yang dipimpin Eddie Lembong telah mengusulkan agar AR Baswedan diangkat menjadi pahlawan nasional. Sampai sekarang terdapat 169 pahlawan nasional, tetapi tak seorang pun dari keturunan Arab. AR Baswedan penggagas Sumpah Pemuda Keturunan Arab tahun 1932 yang menegaskan bahwa para pemuda keturunan Arab juga bagian dan setia kepada Indonesia.
Ia kemudian mendirikan Partai Arab Indonesia. 

Baswedan bekerja sebagai wartawan pada surat kabar milik etnis Tionghoa. Ia berjasa dalam membawa pulang pengakuan diplomatik Mesir atas kemerdekaan Indonesia hasil lawatan delegasi yang dipimpin Agus Salim ke Timur Tengah. Agar lolos dari penjagaan polisi Belanda di Jakarta tahun 1947, ia menyembunyikan surat dalam kaus kakinya sehingga bisa selamat sampai di Yogyakarta, ibu kota pemerintahan waktu itu. Upaya pencalonan AR Baswedan belum berhasil sampai sekarang.

Eddie Lembong juga berjasa dalam menggagas dan membiayai penerbitan buku Tionghoa dalam Keindonesiaan tahun 2015. Buku itu terdiri atas tiga jilid setebal 1.500 halaman berisi sumbangan budaya Tionghoa bagi peradaban Indonesia. Terdapat 73 penulis (15 orang dari mancanegara) dengan keseluruhan 129 tulisan di bidang agama, sosial, pendidikan, budaya, seni, olahraga, iptek, ekonomi, industri, perdagangan, politik, pemerintah dan kemiliteran.

Buku ini sumber atau rujukan bagi peran dan kontribusi Tionghoa dalam konteks sejarah nasional Indonesia. Pada olahraga bulu tangkis ditampilkan tulisan tentang  Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King, dan Susi Susanti yang mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.  Saling mengenal, saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik di antara berbagai  etnis di Indonesia akan menyebabkan kohesi kebangsaan tetap terjaga di Tanah Air. Apa yang telah dirintis Eddie Lembong adalah bagian dari upaya menjadikan etnis Tionghoa bagian integral bangsa Indonesia.  Selamat jalan Pak Lembong. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar