Jangan
Kacaukan Asas Hukum
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara; Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013
|
KOMPAS,
11 November
2017
”Pemerintah tidak boleh
menjatuhkan sanksi sebelum ada putusan pengadilan bahwa seseorang atau
organisasi benar-benar bersalah. Kalau itu dilakukan berarti pemerintah
melakukan tindakan melanggar hukum, menyalahgunakan kekuasaan, dan bertindak sewenang-wenang”.
Pernyataan itu menjadi bagian
dari polemik panas di tengah-tengah masyarakat terkait dengan Undang-Undang
(UU) Ormas yang kemudian agak mengacaukan pemahaman masyarakat tentang
asas-asas hukum. Polemik terjadi sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang kemudian disusul
pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan perppu yang sekarang
sudah disetujui menjadi UU Ormas.
Mengacaukan asas hukum
Banyak yang mengatakan berdasar
asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) pemerintah tidak bisa menjatuhkan
sanksi atau menghukum sebelum subyek hukum yang bersangkutan diajukan ke (dan
diputus bersalah oleh) pengadilan. Akan tetapi, pihak pemerintah dan beberapa
ahli hukum lain mengatakan, berdasarkan asas contrarius actus boleh saja
pemerintah menjatuhkan sanksi administratif tanpa harus menunggu putusan
pengadilan lebih dulu.
Atas pernyataan tentang asas
contrarius actus, ada yang membantahnya lagi disertai contoh tentang akta
nikah. Dikatakan, sungguh berbahaya kalau mengikuti asas contrarius
actus karena ia bisa menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Kemudian ada yang
mencontohkan bahayanya asas tersebut dengan menyebut kemungkinan terjadinya
pemerintah secara sepihak mencabut akta nikah yang telah dimiliki oleh
sepasang suami-istri. ”Bahaya kalau itu dilakukan oleh pemerintah. Jadi harus
lewat vonis pengadilan dulu,” demikian argumennya.
Dalam catatan saya silang
pendapat seperti itu terjadi karena banyak orang yang mengacaukan pemahaman
atas asas-asas hukum. Dalam konteks UU Ormas, misalnya, telah dikacaukan
pemahaman atas asas legalitas, asas praduga tak bersalah, asas contrarius
actus, dan asas konsesual. Benar bahwa berdasarkan asas legalitas setiap
tindakan pemerintah ataupun warga masyarakat harus berdasarkan UU yang ada
lebih dahulu. Berdasarkan asas legalitas seseorang atau badan hukum
(organisasi) tidak boleh dijatuhi sanksi atau dihukum tanpa ada UU yang
mengaturnya lebih dahulu.
Dari pengertian itu sebenarnya
asas legalitas tidak berbicara, apakah penjatuhan sanksi bisa dilakukan
sebelum atau sesudah ada vonis pengadilan. Asas legalitas hanya menegaskan
bahwa setiap tindakan, baik dilakukan pemerintah maupun oleh warga masyarakat,
harus berdasarkan aturan hukum yang ada lebih dulu.
Adapun masalah soal waktu dan
cara penjatuhan sanksinya tergantung pada bidang hukumnya sebab setiap bidang
hukum asasnya bisa berbeda-beda. Asas-asas hukum pidana, hukum administrasi
negara, perdata, dan lain-lain itu tidaklah selalu sama.
Kalau di dalam hukum pidana
berlaku asas praduga tak bersalah yang menentukan bahwa seseorang tak bisa
dijatuhi sanksi atau dihukum sebelum diputus oleh pengadilan bahwa yang
bersangkutan bersalah. Asas praduga tak bersalah tak boleh diartikan bahwa
kita tidak boleh menduga atau membahas dan mendiskusikan di media massa
bahkan menyimpulkan bahwa seseorang
telah melakukan kejahatan. Itu boleh saja dilakukan. Nyatanya, aparat penegak
hukum juga memproses pidana melalui dugaan (terduga) kemudian sangkaan
(tersangka) dan seterusnya.
Asas praduga tak bersalah
mempunyai arti tertentu, yakni seseorang tak boleh dirampas hak-haknya
sebagai sanksi pidana sebelum ada putusan pengadilan. Misalnya, yang
bersangkutan tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya tak boleh
dirampas (tapi boleh disita), pengurungannya tidak disebut dipenjarakan
(tetapi ditahan), hak gajinya tidak boleh dicabut (tapi ditangguhkan), dan
sebagainya. Kalau mendiskusikan dan menduga, menyangka, dan menyimpulkan
secara sosial bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu boleh saja,
bukan melanggar asas praduga tak bersalah.
Beda bidang, beda asas
Di dalam hukum administrasi
negara asas yang berlaku berbeda lagi, yakni, asas contrarius actus yang
berarti sebuah keputusan administrasi, seperti izin usaha, pengangkatan
pegawai, dan sebagainya hanya boleh dicabut oleh pejabat atau instansi yang
mengeluarkannya. Kalau yang mengeluarkan keputusan itu Menteri Hukum dan HAM,
yang boleh mencabutnya juga Menteri Hukum dan HAM. Di dalam hukum
administrasi negara tidak ada keharusan bahwa pencabutan sebuah keputusan
sebagai sanksi itu harus menunggu putusan pengadilan lebih dahulu.
Bahkan, dapat dikatakan, dalam
hukum administrasi negara kita, hampir semua pencabutan keputusan sebagai
sanksi dijatuhkan lebih dahulu sebelum ada putusan pengadilan. Jika yang
dijatuhi sanksi merasa dirugikan haknya barulah yang bersangkutan bisa
menggugat pejabat atau pemerintah ke pengadilan. Makanya kita mempunyai Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga disebut sebagai Peradilan Administrasi
Negara, yakni lembaga peradilan yang berwenang mengadili keputusan, termasuk
sanksi, yang telah ditetapkan lebih dahulu oleh badan/pejabat tata usaha
negara.
Dalam hal ini bisa disebut
banyak contoh, misalnya, pencabutan izin usaha hiburan, pencabutan izin
pengelolaan hutan, pencabutan izin pertambangan. Itu bisa dilakukan tanpa
harus ada putusan pengadilan lebih dahulu. Pencabutan keputusan tentang
status badan hukum ormas berdasar Perppu No 2/2017 yang sekarang sudah
disahkan menjadi UU termasuk dalam pengertian ini. Memang dalam hal tertentu
yang ditentukan khusus oleh Konstitusi dan UU asas contrarius actus ini tak
berlaku, misalnya, pembubaran parpol yang hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Asas yang berlaku di dalam
hukum perdata berbeda lagi. Bidang hukum perdata tidak mengenal asas praduga
tak bersalah atau contrarius actus.
Di dalam hukum perdata yang berlaku adalah asas konsensual atau kesepakatan
dan kesukarelaan antarpihak. Di dalam asas ini berlaku bahwa keputusan
tentang ikatan keperdataan yang dibuat dan diperoleh secara sah berlaku
sebagai UU dan mengikat selama pihak-pihak yang bersangkutan tidak mengakhiri
atau membatalkannya secara sepakat. Kalau salah satu pihak merasa dirugikan
dan ingin membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain, masalahnya harus
diputus oleh pengadilan yang bisa juga atas kesepakatan, diselesaikan melalui
arbitrase.
Dalam hukum perdata aparat
penegak hukum atau pemerintah tak boleh mengambil tindakan selama pihak-pihak
yang bersangkutan tak memerkarakannya. Dalam konteks inilah kita harus
memahami, pernikahan yang merupakan perikatan atau perjanjian dalam hukum
perdata yang dituangkan dalam ”akta nikah” yang dikeluarkan pemerintah hanya
bisa dicabut atau dibatalkan atas permintaan salah satu pihak melalui putusan
pengadilan lebih dulu, tak boleh dicabut secara sepihak oleh pemerintah.
Alhasil, beda bidang hukum, ya, beda asas. Jangan dikacaukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar