Apa
yang Dipikirkan Generasi Milenial Kita?
Philips Vermonte ; Direktur Eksekutif CSIS
|
MEDIA
INDONESIA, 06 November 2017
DISKUSI mengenai generasi
milenial belakangan makin sering dilakukan, tidak hanya di Indonesia, tetapi
juga di seluruh dunia. Hal itu berkaitan dengan kemunculan sebuah generasi
yang terutama diasosiasikan sebagai generasi yang dikenal sebagai digital
native alias mereka yang saat lahir dan tumbuh menjelang dewasa sudah bersama
dengan perkembangan dunia digital. Internet, telpon seluler, dan medium
digital lainnya mendahului kelahiran mereka. Itu berbeda dengan generasi
sebelumnya yang disebut sebagai digital immigrant, yaitu mereka yang
menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia digital sebagai orang dewasa.
Generasi milenial ini, dalam
definisi yang digunakan beberapa lembaga seperti Harvard University dan juga
Pew Research, adalah mereka yang hari ini kurang lebih berusia antara 17 dan
29 tahun. Kategorisasi berdasarkan umur itu tentu bukan kategori paling
ideal, tetapi cukup berimpitan dengan periode perkembangan teknologi yang
sangat pesatnya sejak dua hingga tiga dekade terakhir. Karena mereka tumbuh
besar dalam setting teknologi yang telah berkembang sedemikian rupa, cukup
aman untuk mengasumsikan bahwa ada pola perilaku dan cara pandang yang
berbeda antara generasi milenial ini dan generasi nonmilenial dalam memahami
dan menyelesaikan persoalan.
Banyak asumsi, yang sebetulnya
berkembang di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi dan teknologi,
bahwa generasi itu ialah generasi yang menjadi lebih cekatan, efisien, dan
tentu saja sangat berorientasi teknologi. Juga terdapat asumsi bahwa karena
ekspose pada informasi yang sangat beragam, generasi itu mungkin akan lebih
terbuka pada yang berbeda karena mereka tumbuh besar dengan beragam-ragam
informasi yang tersedia secara instan.
Karena kepesatan
perkembangannya, kita juga telah menyaksikan perluasan disruptive technology
yang menjungkirkan cara-cara lama bisnis dan ekonomi dijalankan, yang
dampaknya merambah pada nyaris semua aspek hubungan sosial, politik, dan
kemasyarakatan yang skala dan besarannya di Indonesia belum bisa sepenuhnya
dipahami, apalagi diantisipasi.
Asumsi lain ialah bahwa mereka
mungkin akan menjadi generasi yang akan memuja kebebasan individual karena
sejatinya internet menciptakan lingkungan dengan low-barrier to entry. Siapa
saja, baik mereka yang berpendidikan tinggi atau rendah, ahli atau tidak ahli
dalam suatu bidang tertentu, akan bisa memanfaatkan internet untuk berdagang,
menyampaikan pendapat, mengorganisasi dan memobilisasi sebuah gerakan dan
lainnya sepanjang akses kepada internet tersedia. Karena itu, platform
internet memungkinkan munculnya wisdom of the crowd. Ide-ide yang baik bisa
muncul dari penjuru yang tidak terduga karena internet memungkinkan ide
muncul dan tersebar dari siapa pun. Akan tetapi, toh, setiap koin memiliki
dua sisi, tentu generasi milenial juga lebih mudah terekspos pada sisi buruk
dari internet.
Generasi milenial di Indonesia
Persoalannya, apakah
asumsi-asumsi itu berlaku terhadap generasi milenial di Indonesia, setidaknya
hari ini? Seberapa jauh mereka berbeda dari generasi nonmilenial?
CSIS baru saja merilis hasil
survei nasional di 34 provinsi pada 23-30 Agustus 2017 yang dikhususkan untuk
menyasar generasi milenial di Indonesia yang masuk ke kelompok usia 17-29
tahun tersebut. Beberapa temuan menarik bisa disampaikan. Pertama, pada
banyak hal, generasi milenial di Indonesia tidak terlalu berbeda dari
generasi nonmilenial. Dari survei itu diketahui bahwa tingkat optimisme
terhadap masa depan dari kedua generasi itu sama tingginya.
Kurang lebih 95% dari generasi
milenial menyatakan bahwa mereka optimistis pada masa depan Indonesia.
Persentase yang sama juga ditemukan pada generasi nonmilenial. Pandangan
terhadap pemerintahan hari ini agak berbeda. Kurang lebih 75% dari generasi
milenial itu menyatakan optimistis bahwa pemerintahan Jokowi-JK bisa
meningkatkan kesejahteraan, lebih sedikit dari kurang lebih 78% generasi
nonmilenial yang menyatakan hal sama. Dengan kata lain, kelompok umur
milenial itu lebih skeptis jika dibandingkan dengan kelompok umur
nonmilenial.
Temuan menarik kedua ialah
bahwa generasi milenial kita paling meminati kegiatan olahraga (30,8%) dan
musik (19%). Itu berbeda jauh dari generasi nonmilenial berusia 30 tahun ke
atas yang hanya 18,3% dari mereka menyatakan menyukai olahraga dan 9,4%
menyatakan suka musik.
Sementara itu, generasi
nonmilenial berusia 30 tahun ke atas ini paling meminati kegiatan keagamaan,
dengan 23,8% dari mereka menyatakan itu. Sementara itu, hanya 6,5% dari
generasi milenial kita yang menyatakan kegiatan keagamaan sebagai hal yang
paling mereka minati. Tentu diperlukan penelitian lebih jauh mengenai hal ini.
Akan tetapi, hal itu mungkin merupakan representasi dari fenomena lain di
Indonesia yang memperlihatkan peningkatan religiositas dan, pada derajat
tertentu, konservatisme di sebagian kalangan.
Generasi milenial tidak berbeda
dengan generasi nonmilenial dalam hal pandangan terhadap pemimpin yang
berbeda agama. Sama seperti generasi nonmilenial, hanya ada kurang lebih 30%
dari mereka yang menyatakan bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dari
mereka. Sisanya menyatakan tidak bisa menerima hal itu. Kabar menggembirakan
dari generasi milenial ini ialah lebih dari 90% menolak apabila Pancasila
digantikan ideologi lain.
Temuan penting ketiga berkaitan
dengan adanya asumsi bahwa teknologi itu akan mendekatkan jarak dan sebagai
akibatnya generasi milenial ialah generasi yang merasa siap berkompetisi dan
menjadi ‘warga negara’ global (global citizens), bisa menerima konsekuensi
globalisasi semisal beroperasinya perusahaan-perusahaan asing di Indonesia
(yang mungkin mereka bisa ikut bekerja di dalamnya) dan juga dengan masuknya
pekerja asing dalam berbagai level tentunya dengan pandangan sebaliknya bahwa
mereka juga siap berkompetisi menjadi ekspatriat di luar Indonesia.
Namun, survei itu
memperlihatkan gambaran yang campur aduk dan inkonsisten. Misalnya, 76% responden
generasi milenial itu menyatakan Indonesia siap bersaing secara global. Di
sisi lain, pandangan mereka mengenai produk dan perusahaan asing di Indonesia
terbelah, kurang lebih 50:50 bahwa dua hal itu menguntungkan/merugikan
Indonesia. Bahkan 77,7% dari mereka menyatakan pekerja asing akan merugikan
perekonomian Indonesia.
Angka itu mungkin mencerminkan
ketiadaan pemahaman bahwa ada sejuta lebih orang Indonesia yang bekerja di
berbagai tempat juga di dunia. Generasi milenial juga tidak bisa melepaskan
diri dari irasionalitas kolektif di Indonesia mengenai ekonomi. Kurang lebih
30% dari mereka menyatakan kerja sama dengan Amerika Serikat merugikan
Indonesia dan hanya 14,3% yang menyatakan kerja sama dengan ‘Negeri Paman
Sam’ itu menguntungkan Indonesia.
Pandangan yang kurang lebih
sama diperlihatkan terhadap Tiongkok. Sebanyak 32,8% dari generasi milenial
itu menyatakan bahwa kerja sama dengan Tiongkok merugikan Indonesia dan hanya
11,7% yang menyatakan hal itu menguntungkan Indonesia. Sementara itu, pada
kenyataannya dua negara ini ialah pusat pertumbuhan ekonomi dunia, target
ekspor, dan juga sumber investasi utama tidak hanya bagi Indonesia, tetapi
juga bagi banyak negara di dunia. Negara yang oleh generasi milenial dianggap
paling menguntungkan bagi Indonesia untuk bekerja sama ialah Arab Saudi.
Dengan demikian, memperbesar rasionalitas ekonomi dan menempatkan pandangan
primordial pada proporsi yang lebih pas ialah dua hal yang masih menjadi
pekerjaan rumah kita bersama dalam memajukan perekonomian.
Survei yang dilakukan CSIS ini
ialah yang pertama kali diadakan dalam konteks Indonesia karena generasi
milenial dengan keunikan karakter dan perilakunya ialah hal baru yang belum
dipahami sepenuhnya. Jadi, survei itu lebih banyak melahirkan banyak pertanyaan
baru jika dibandingkan dengan memberi jawaban. Menjadi tugas dari lembaga
riset dan pengambil kebijakan untuk bersama-sama melanjutkan usaha memahami
mereka agar bisa dilahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat memfasilitasi,
dan bukan membatasi, potensi dan daya kreativitas mereka yang berbeda dari
generasi sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar