2018
Krisis Ekonomi Lagi?
Iman Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
13 November
2017
Beberapa kalangan ekonom
meramalkan akan adanya kemungkinan krisis ekonomi yang akan melanda
Indonesia. Logikanya teramat sederhana, ada siklus krisis 10 tahunan. Pada
1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya
secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Krisis ini begitu hebatnya
sehingga membangkrutkan swasta besar dan pada akhirnya, pemerintah dipaksa
untuk bertekuk lutut di bawah IMF. Sepuluh tahun kemudian, 2008, kita juga
terkena imbas sub-prime mortgage crisis. Kali ini, kita tidak terlalu
terjerembap. Pertanyaannya, apakah di 2018 akan ada krisis lagi. Berikut
adalah jawabannya.
Krisis biasanya tidak terjadi
begitu saja, selalu ada sebab musababnya. Kalau ada ritual 10 tahun, itu
hanya kebetulan. Beberapa kelemahan struktural yang umumnya menjadi penyebab
krisis adalah kerentanan di sektor keuangan seperti terlalu tingginya utang,
baik pemerintah maupun swasta, melemahnya harga komoditas ekspor utama,
pelarian modal secara besar-besaran dan serentak, dan ringkihnya sektor
perbankan. Semua hal di atas terjadi pada 1998.
Pada 2008, sektor perbankan di
Amerika dan Eropa kolaps, sementara di Indonesia cukup baik kecuali dua bank,
yakni Bank Century dan Bank IFI. Pelarian modal pun hanya terjadi sebentar
dan dalam skala yang relatif kecil. Melihat pengalaman seperti itu, saya
yakin tidak ada masalah domestik yang perlu menimbulkan kekhawatiran luar
biasa.
Sektor perbankan relatif
berkinerja baik, kecuali satu dua bank kecil yang kinerja keuangannya agak
mengkhawatirkan. LPS masih sanggup menangani bank tersebut. Harga komoditas
saat ini mulai merangkak naik secara perlahan. Memang ada sedikit
kekhawatiran dari sisi utang pemerintah, tapi itu pun dapat dikendalikan
secara pre-emptive.
Utang pemerintah memang meningkat
tajam dari sisi nominal dan rasio cicilan bunga serta pokok mendekati tidak
sehat. Lebih dari seperempat penerimaan negara dipakai untuk mencicil utang.
Jadi risiko terbesar adalah refinancing risk.
Pemerintah akan kesulitan
membayar kembali utang bila tiba-tiba pasar surat berharga mengalami
penciutan besar-besaran. Itu bisa terjadi kalau ada pelarian modal secara
besar-besaran. Tapi itu pun ada jalan keluarnya, yakni konsolidasi fiskal
secara realistis.
Sampai saat ini, Kementerian
Keuangan selalu kedodoran dalam memenuhi target pajak. Akibatnya, utang
dijadikan andalan untuk menutupi kekurangan pemasukan negara. Untuk mengatasi
hal seperti ini perlu tiga langkah yang secara gradual dilakukan.
Pertama adalah mengendalikan
defisit selalu di bawah 1,9 persen dari PDB selama lima tahun berturut-turut
dalam situasi sesulit apa pun. Ini berfungsi untuk mengendalikan pembayaran
utang pemerintah tetap berada di ambang yang sehat dan berkesinambungan.
Target jangka panjangnya adalah menurunkan rasio cicilan berada di bawah 20
persen dari penerimaan negara.
Kedua, melakukan reformasi
perpajakan yang lebih komprehensif, terutama di beberapa area yang sangat
memungkinkan bagi negara untuk melakukan perluasan. Salah satu ciri negara
modern adalah efektivitas penarikan pajak pendapatan pribadi. Tentu ini tidak
bisa dilakukan secara sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat. Basis pajak
secara akurat perlu diperluas, terutama di pekerja sektor formal.
Secara perlahan, melalui
digitalisasi perekonomian akan terjadi formalisasi sektor informal. Sejalan
dengan berkembangnya e-commerce, penarikan pajak penjualan, dan nilai tambah
akan menjadi lebih mudah. Setiap transaksi akan meninggalkan digital
footprint.
Dari situ kita dapat melacak
setiap transaksi keuangan secara transparan, mulai dari payroll, perkembangan
penjualan, dan transaksi penambahan nilai dari setiap aktivitas perekonomian.
Inti dari reformasi pajak adalah interkoneksi digital antartransaksi.
Ketiga, tampaknya perlu
dilakukan pengendalian terhadap pengeluaran pemerintah pusat terutama di dua
sisi, yakni rasionalisasi subsidi dan pengalihan beban pembangunan
infrastruktur. Subsidi energi tampaknya perlu ditekan lebih rendah lagi
sampai ambang berada di bawah setengah persen dari PDB.
Mumpung harga minyak belum
melesat tajam, kita harus secara dini melepas sebagian subsidi terutama yang
salah sasaran. Pembangunan infrastruktur tentunya tidak boleh berkurang
bahkan harus senantiasa ditingkatkan. Salah satu caranya adalah melalui
penugasan kepada BUMN untuk mencari pendanaan secara mandiri.
Infrastruktur kelistrikan,
jalan tol, pelabuhan, dan bandara dapat sepenuhnya dibiayai BUMN melalui
sekuritisasi asset. Bahkan, penguatan modal tidak harus dari pemerintah
karena BUMN yang sehat dapat menerbitkan sub-debt.
Tampaknya kalau langkah-langkah
tersebut dapat ditempuh secara konsisten, kerentanan keuangan pemerintah
dapat dikurangi secara gradual. Maka dari itu, hampir tak ada yang harus
dikhawatirkan tentang krisis 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar