Senin, 16 Oktober 2017

Rindu

Rindu
Samuel Mulia  ;   Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 15 Oktober 2017



                                                           
Belakangan ini saya rindu sekali dengan mendiang ibu. Tak tahu mengapa. Kerinduan yang sudah lama tak pernah muncul. Dan, di sela-sela kerinduan itu terselip rasa menyesal mengapa mereka pergi di masa “muda” mereka.

Waswas

Ibu meninggal pada usia 45 tahun. Buat saya itu terlalu pagi untuk dipanggil pulang. Maka perasaan rindu kemudian melahirkan perasaan waswas. Kok, rasanya hidup itu singkat sekali. Kemudian timbul pertanyaan, apa yang sudah saya kerjakan selama tahun-tahun ini?

Di sebuah situasi yang jauh dari melankolis, saya tak pernah waswas, bahkan cenderung tak peduli akan kematian yang bisa datang kapan pun itu. Oleh karenanya, perbuatan yang menyakitkan banyak orang tetap dilakukan.

Bahkan dalam situasi macam itu, saya bisa berpikir dengan keyakinan yang penuh bahwa saya tak akan mati muda atau tak akan dipanggil pulang dalam waktu dekat-dekat ini. Bahkan tak jarang saya berpikir, kalau akan selalu tersedia waktu untuk meminta maaf kalau sudah waktunya akan meninggal.

Saya sudah mendengar berjuta kali bahwa kematian menjemput dalam waktu yang tak terduga, tetapi saya jarang mempersiapkannya selagi hidup seperti sekarang ini. Saya suka lupa bahwa kematian itu dapat terjadi secara tiba-tiba. Dalam tidur, misalnya, di mana ada kemungkinan saya tidak memiliki kesempatan untuk memohon maaf.

Apalagi saya ini kalau sudah ngantuk-nya setengah mati, berdoa sebelum tidur itu sebagai sebuah beban yang sungguh berat dan kemudian memilih tidak melakukannya. Mengapa begitu? Karena saya selalu berpikir seperti apa yang saya tuliskan di atas. Saya tak akan mati dalam waktu dekat ini. Kalau tak bisa berdoa hari ini, selalu akan ada hari esok, bukan?

Kalaupun tak sempat memohon maaf, nantikan yang masih hidup yang bernama saudara, sanak keluarga yang akan melakukan permohonan maaf itu. Baik di iklan koran maupun saat orang datang melayat dengan kalimat klise mohon dimaafkan atas segala kesalahan.

Jadi saya yang korupsi, mencuri, berselingkuh, membunuh, tetapi orang lain yang memohon maaf. Kerinduan yang mendatangkan rasa waswas mati muda, juga menghadirkan pertanyaan apakah sebetulnya tujuan hidup saya di dunia ini?

Bagaimana kalau

Kalau misalkan saja saya hidup seperti ibu yang hanya 45 tahun saja, apakah tujuan saya selama tahun-tahun itu hanya menjadi ibu rumah tangga yang menjaga agar keluarga utuh, berbahagia, dan suami serta anak-anak tetap berada di jalan yang benar?

Atau katakan saya mendapat izin dari suami dan anak-anak untuk melakukan pekerjaan tambahan sebagai pengusaha, misalnya, sehingga di masa 45 tahun itu saya lumayan berguna. Berguna untuk orang rumah dan orang di luar rumah.

Tetapi bagaimana kalau saya memilih menjadi tukang pukul, mencuri, menjadi agen penyebar ujaran kebencian melalui media sosial, menjadi pengedar narkoba, memiliki bisnis pelacuran dan atau sekaligus menjadi kupu-kupu malam?

Bagaimana kalau saya menjalani hidup ini mau pendek atau panjang dengan aktivitas yang biasa-biasa saja, hanya menjalani hidup apa adanya? Bagaimana kalau saya memilih melakoni hidup dengan menggerutu dan menjalaninya dengan pesimistis dan dengan kenegatifan yang sangat terhadap nyaris setiap keadaan sehingga saya menjadi manusia yang terkenal pahit dalam ucapan dan lakunya?

Bagaimana kalau kehidupan ini saya jalani dengan menjadi influencer kesehatan atau apa pun itu, padahal saya tak menggunakan produk yang saya promosikan dan berusaha memengaruhi orang untuk membeli? Jadi saya menyambut kematian dengan cara menjadi penipu dalam bungkus yang cantik dan mungkin mulia.

Ataukah selama masih bernapas dengan baik, saya akan memilih mengisi kehidupan ini menjadi manusia yang keberadaannya selalu dirindukan dan setelah meninggal pun kerinduan orang lain terhadap saya itu tak pernah pupus.

Atau sebaliknya, selama saya masih bernapas, saya memilih dengan sadar mengisi kehidupan ini agar dicaci maki banyak orang. Bahkan ketika saya terbaring sakit sekalipun, orang mengharapkan bahkan mungkin berdoa secara terang-terangan agar saya mati secepatnya.

Setelah rasa rindu yang mendatangkan waswas itu, saya jadi berpikir, mungkin hidup panjang umur atau pendek umur bukanlah masalah utamanya, tetapi bagaimana saya mengisi kehidupan yang panjang atau pendek itu dengan kesadaran penuh bahwa kematian bukanlah akhir sebuah perjalanan kehidupan, tetapi sebuah awal pertanggungjawaban kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar