Senin, 16 Oktober 2017

Dewan Kerukunan

Dewan Kerukunan
Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                    TEMPO.CO, 14 Oktober 2017



                                                           
Kenapa kita sulit untuk rukun? Padahal dalam kerukunan itu ada ketenangan, dan dalam ketenangan itulah kita bisa berbuat yang lebih baik. Dalam kerukunan itu, kita bisa berbagi, tolong-menolong, karena konon manusia diciptakan berbeda-beda agar mengenal satu sama lain.

Barangkali kita perlu membuat lembaga baru. Supaya tampak keren, sebut saja Dewan Kerukunan Nasional. Dewan ini mengkaji kenapa kerukunan kita belakangan ini merosot dan apa masalahnya, lalu apa solusinya. Dewan berada langsung di bawah presiden. Ketimbang presiden punya Dewan Pertimbangan yang tak jelas apa pekerjaannya, lebih baik punya Dewan Kerukunan Nasional yang bisa pula berfungsi sebagai penasihat moral- ah, kata ini keren amat. Presiden sudah punya menteri selain punya berbagai lembaga di luar kementerian yang sewaktu-waktu bisa diajak untuk mempertimbangkan kebijakan yang akan diambil. Jadi, untuk apa lagi Dewan Pertimbangan? Lebur saja dan jadikan Dewan Kerukunan Nasional. Lebih fokus.

Usul saya ini serius, mohon tidak ditanggapi dengan bercanda. Meski saya bukan peneliti dan bukan lulusan universitas ternama di Jepang- yang mungkin kalian percaya jika saya menyebutkan itu dengan berbohong- saya menemukan berbagai masalah yang menyebabkan kerukunan itu terganggu. Astaga! Sangat sepele, yaitu ada di antara kita yang suka merecoki keyakinan orang lain yang tak ada urusan dengan keyakinannya sendiri. Mempersoalkan atau memberi komentar ihwal keyakinan orang lain yang menyangkut akidah yang tak bersinggungan dengan masalah sosial.

Kita tak bisa mendialogkan masalah akidah antar atau lintas agama. Sia-sia memperbandingkan ayat suci agama yang satu dengan agama yang lain seraya kemudian mengambil kesimpulan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lainnya. Yang bisa kita dialogkan adalah dampak sosial dari adanya keyakinan itu. Pengeras suara di masjid terlalu keras dan mengganggu warga, mari kita bicarakan apakah bisa diperkecil volumenya. Umat Hindu di Bali- terutama di perkotaan yang penduduknya lebih makmur- menutup jalan umum ketika membuat hajatan agama, mari kita bicarakan bagaimana baiknya.

Kita memang harus fanatik dalam beragama. Tapi fanatisme itu jangan dikaitkan ke masalah akidah agama lain. Tiada Tuhan selain Allah. Itu fanatisme umat Islam. Hanya ada satu Tuhan, yakni Brahman. Itu fanatisme umat Hindu dalam kitab sucinya. Tidak berarti umat agama lain yang tak mengenal sebutan Allah dan tak mengenal sebutan Brahman tak punya Tuhan. Lalu dicela. Bukankah Tuhan itu bahasa Indonesia? Dan bukankah sebutan Tuhan itu bisa beragam di berbagai etnis? Dalam bahasa Indonesia saja Tuhan itu beragam: Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, dan seterusnya.

Mencampur-adukkan akidah agama lalu merujuk ke agama tertentu bisa jadi sumber ketidakrukunan jika itu dilakukan di ranah publik. Tak mungkin konsep Trimurti dalam Hindu atau Trinitas dalam Kristen dirujuk ke Al-Quran, misalnya. Begitu pun sebaliknya. Dewan Kerukunan nantinya bisa memberi rumusan bagaimana kita bergaul dalam lintas agama di negeri majemuk ini. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang sudah ada di setiap provinsi- yang tak jelas atasannya siapa- bisa jadi ujung tombak Dewan Kerukunan.

Tentu saja dewan ini tak cuma mengurusi kerukunan yang berkaitan dengan agama. Tapi setidaknya fokus ke sini saja dulu, karena aneh agama yang mengajak umatnya hidup damai, ternyata umatnya saling melaporkan ke polisi dengan tuduhan penistaan. Kok ajaran agama jadi menakutkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar