Dewan
Kerukunan
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
14 Oktober
2017
Kenapa kita sulit untuk rukun? Padahal dalam kerukunan itu
ada ketenangan, dan dalam ketenangan itulah kita bisa berbuat yang lebih
baik. Dalam kerukunan itu, kita bisa berbagi, tolong-menolong, karena konon
manusia diciptakan berbeda-beda agar mengenal satu sama lain.
Barangkali kita perlu membuat lembaga baru. Supaya tampak
keren, sebut saja Dewan Kerukunan Nasional. Dewan ini mengkaji kenapa
kerukunan kita belakangan ini merosot dan apa masalahnya, lalu apa solusinya.
Dewan berada langsung di bawah presiden. Ketimbang presiden punya Dewan
Pertimbangan yang tak jelas apa pekerjaannya, lebih baik punya Dewan
Kerukunan Nasional yang bisa pula berfungsi sebagai penasihat moral- ah, kata
ini keren amat. Presiden sudah punya menteri selain punya berbagai lembaga di
luar kementerian yang sewaktu-waktu bisa diajak untuk mempertimbangkan kebijakan
yang akan diambil. Jadi, untuk apa lagi Dewan Pertimbangan? Lebur saja dan
jadikan Dewan Kerukunan Nasional. Lebih fokus.
Usul saya ini serius, mohon tidak ditanggapi dengan
bercanda. Meski saya bukan peneliti dan bukan lulusan universitas ternama di
Jepang- yang mungkin kalian percaya jika saya menyebutkan itu dengan
berbohong- saya menemukan berbagai masalah yang menyebabkan kerukunan itu
terganggu. Astaga! Sangat sepele, yaitu ada di antara kita yang suka merecoki
keyakinan orang lain yang tak ada urusan dengan keyakinannya sendiri.
Mempersoalkan atau memberi komentar ihwal keyakinan orang lain yang
menyangkut akidah yang tak bersinggungan dengan masalah sosial.
Kita tak bisa mendialogkan masalah akidah antar atau
lintas agama. Sia-sia memperbandingkan ayat suci agama yang satu dengan agama
yang lain seraya kemudian mengambil kesimpulan bahwa agama yang satu lebih
baik dari agama yang lainnya. Yang bisa kita dialogkan adalah dampak sosial
dari adanya keyakinan itu. Pengeras suara di masjid terlalu keras dan
mengganggu warga, mari kita bicarakan apakah bisa diperkecil volumenya. Umat
Hindu di Bali- terutama di perkotaan yang penduduknya lebih makmur- menutup
jalan umum ketika membuat hajatan agama, mari kita bicarakan bagaimana
baiknya.
Kita memang harus fanatik dalam beragama. Tapi fanatisme
itu jangan dikaitkan ke masalah akidah agama lain. Tiada Tuhan selain Allah.
Itu fanatisme umat Islam. Hanya ada satu Tuhan, yakni Brahman. Itu fanatisme
umat Hindu dalam kitab sucinya. Tidak berarti umat agama lain yang tak
mengenal sebutan Allah dan tak mengenal sebutan Brahman tak punya Tuhan. Lalu
dicela. Bukankah Tuhan itu bahasa Indonesia? Dan bukankah sebutan Tuhan itu
bisa beragam di berbagai etnis? Dalam bahasa Indonesia saja Tuhan itu
beragam: Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, dan seterusnya.
Mencampur-adukkan akidah agama lalu merujuk ke agama
tertentu bisa jadi sumber ketidakrukunan jika itu dilakukan di ranah publik.
Tak mungkin konsep Trimurti dalam Hindu atau Trinitas dalam Kristen dirujuk
ke Al-Quran, misalnya. Begitu pun sebaliknya. Dewan Kerukunan nantinya bisa
memberi rumusan bagaimana kita bergaul dalam lintas agama di negeri majemuk
ini. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang sudah ada di setiap provinsi-
yang tak jelas atasannya siapa- bisa jadi ujung tombak Dewan Kerukunan.
Tentu saja dewan ini tak cuma mengurusi kerukunan yang
berkaitan dengan agama. Tapi setidaknya fokus ke sini saja dulu, karena aneh
agama yang mengajak umatnya hidup damai, ternyata umatnya saling melaporkan
ke polisi dengan tuduhan penistaan. Kok ajaran agama jadi menakutkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar