OTT
Murah Meriah
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional
KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 22 September 2017
Rangkaian hasil penyergapan KPK atas sejumlah kepala
daerah yang diduga melakukan korupsi akhirakhir ini menjadi bukti praktik
korupsi masih marak, bahkan berskala masif pun sistematis.
Namun, bukti tentang maraknya praktik korupsi itu
sekaligus memberi penjelasan kepada publik bahwa sistem pencegahan korupsi
masih jauh dari efektif. Bahkan, kadang publik bertanya; adakah negara ini
memiliki sistem pencegahan korupsi? Pertanyaan seperti ini wajar dikedepankan
karena sudah 15 tahun berjalan negara menugaskan Komisi Pemberantasa Korupsi
(KPK) memerangi perilaku korup yang dipraktikan dalam semua aspek tata kelola
pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kalau sistem pencegahan
itu ada dan efektif, praktik korupsi seharusnya sudah bisa diminimalisasi.
Korupsi memang tidak akan pernah bisa dihilangkan karena
dia sangat bergantung pada plus-minus perilaku pemegang kuasa atau
kewenangan. Namun, korupsi mestinya bisa diminimalisasi dengan sistem
pencegahan yang diupayakan sefektif mungkin. Maka, pemerintah dan DPR harus
lebih konsisten dan bersungguh- sungguh dalam upaya menghadirkan sistem
pencegahan korupsi. Penindakan tidaklah salah, tetapi fokus pada penindakan
tidak akan menyelesaikan masalah, terutama karena lebih mencerminkan
kegagalan sistem.
Kalau sistem pencegahan atau pengawasan tidak berfungsi efektif,
mesin birokrasi negara dan daerah akan selalu mengalami kerusakan disana-
sini akibat perilaku korup oknum. Lebih dari itu, jumlah penindakan yang banyak
tidak elok untuk dijadikan tolok ukur keberhasilan perang melawan korupsi.
Sebaliknya, dan sekali lagi, jumlah kasus penindakan atau operasi tangkap
tangan (OTT) yang beruntun seperti belakangan ini seharusnya dilihat sebagai
akibat dari kegagalan sistem pencegahan. Jadi, jumlah OTT yang terus
bertambah itu seharusnya dimaknai sebagai aib karena ketidakmampuan
menyediakan sistem pencegahan.
Perkecil Peluang
Kini publik boleh berasumsi bahwa KPK sudah dan paling
tahu seluk beluk atau ragam modus korupsi di negara ini. Asumsi ini wajar
saja karena sudah belasan tahun KPK menguliti praktik korupsi di tingkat
pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun korupsi oleh oknum pemerintah
yang berkonspirasi dengan swasta. Masyarakat mengapresiasi semua penindakan
yang telah diperlihatkan KPK. Namun, sudah terbukti bahwa penindakan saja
tidak menyelesaikan masalah.
Bahkan, kini rentetan penindakan itu sudah dilihat sebagai
cermin kegagalan program pencegahan korupsi. Efek jera terbilang minim,
sedangkan budaya anti korupsi di tubuh birokrasi pusat dan daerah sepertinya
masih di awang-awang. Mengacu pada belasan tahun pengalaman KPK itu, tidak
berlebihan jika KPK perlu didorong menyusun atau merumuskan proposal mengenai
strategi pencegahan korupsi. Tidak berarti penindakan harus direduksi.
Kegiatan penindakan harus tetap dilaksanakan untuk menunjukan mesin perang
korupsi masih bekerja.
Akan tetapi, harus ada keinginan bersama mendorong gerak
pemberantasan korupsi untuk mewujudka target yang lebih strategis, yaitu
tumbuh budaya antikorupsi, budaya malu melakukan korupsi. Agar kerja pemberantasankorupsi
konsisten dan fokus, lebih ideal jika acuannya kembali pada Perpres
No.55/2012. Perpres ini pun mengutamakan pencegahan. Juga sudah ditetakan
target jangka menengah dan target jangka panjang dari kerja pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Dari strategi yang dituangkan dalam perpres ini, cukup
jelas bahwa KPK tidak mungkin bekerja sendiri. Sebaliknya, KPK harus
membangun sinergi dengan sejumlah institusi yang relevan.
Dari kerjasama itu, akan dirumuskan strategi pencegahan
korupsi yang komprehensif. Harus menjadi kesadaran dan kemauan bersama bahwa
pencegahan jauh lebih strategis dibanding penindakan. Karena itu, sudah
waktunya bagi KPK untuk fokus pada upaya merumuskan strategi pencegahan.
Proposal strategi pencegahan itu dibuat dengan mengacu pada pengalaman KPK
selama belasan tahun ini. Silahkan bagi KPK untuk melanjutkan penindakan.
Tetapi tidak ada salahnya untuk mengaku bahwa penindakan tidak menyelesaikan
masalah. Tidak juga menumbuhkan efek jera. Sudah puluhan kali KPK melakukan
OTT.
Target OTT pun tidaktanggung-tanggung. Ada sosok Akil
Mochtar yang disergap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapula
sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi.
Lalu, ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD.
Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum jaksa, dan penegak hukum lainnya,
termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA).
Terakhir, sasaran bergeser ke kepala daerah, gubernur,
bupati, dan walikota, terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar. Bagi
masyarakatpada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu
menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu. Secara psikologis, kinerja
KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek
jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota
parlemen yang terjaring terus bertambah. Sekali lagi, KPK perlu memberi
prioritas pada sistem pencegahan korupsi.
Cukuplah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas
yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan
(OTT) pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung Garuda
yang mangsanya besar-besar. Bukan burung perkutut. Sudah saatnya KPK
melakukan langkah-langkah besar dengan menangani pekerjaaan atau kasus-kasus
korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan atau dipecahkan di kepolisian
maupun di kejaksaan.
Kalau hanya mengandalkan OTT saja, ya kasihan negara ini.
Ibarat menembak nyamuk pakai meriam. Negara telah mengeluarkan dana yang
sangat besar bagi gaji para penyidik, pimpinan, dan pegawai KPK. Termasuk
biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarananya serta
kewenangan yang luar biasa dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum
lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
OTT itu ‘Murah Meriah’
Jadi, kalau KPK hanya menggelar OTT-OTT saja sebagai
festivalisasi pemberantasan korupsi, tidakbisadihindariadanyakesan KPK mau
gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi ‘murah meriah’.
Dan itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan. Lihatsaja data,
selama15tahun KPK berdiri, praktik-praktik koruptif semakin marak hampir
disemua lini kehidupan bangsa ini.
Tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari
rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9) pekan
lalu, giliran Wali Kota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK.
Sebelumnya, Bupati Batubara dari Golkar yang kena OTT. Bisa dipastikan bahwa
akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK. Yang menjadi
pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar
sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, apa yang kerap terjadi dalam Berbagai
penangkapan itu benar2 OTT atau jebakan?
Saya meyakini apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan
itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan
penyusupan. Mereka yang jadi target operasi tersebut sebelum terjadinya
penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya. Apakah itu tingkat
penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar untuk ‘penyadapan’ itu
sebagai mana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya
bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima
pimpinan KPK yang ada. Jadi, bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan
penyelidikan saja belum.
Pertanyaannya kemudian, apakah telah terjadi penyadapan liar
atau illegal interception di KPK?
Jika benar, hal ini adalah kejahatan. Sebab, apa pun alasannya, tindakan
memata-matai itu dilarang. Negara asing tidak boleh melakukan mata-mata atau interception dgn alasan apa pun,
termasukalasandemokrasi, alasan HAM, alasan pemberantasan korupsi, atau
alasan pemberantasan narkotika. Kalau asing saja dilarang, masak KPK
dibiarkan untuk menyadap warga negaranya sendiri? Itu sama saja kita belum
merdeka. Kita hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Takut dan cemas setiap
saat diintai, disadap, dan direkam.
Inilah titik rawan mengapa kita harus terus kritis dan
tegas dalam hal pengawasan terhadap KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang untuk tujuan tertentu diluar hukum. Saya juga berpendapat, jumlah
penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan
pemberantasan korupsi. KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem
pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin
bisa bekerja sendiri. Minimal KPK harus bekerjasama dengan inspektorat
jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat
pemerintah daerah.
Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi. Namun,
agenda pemberantasan korupsi seperti masuk dalam lingkaran setan. Tidak jelas
akan ke mana ujungnya. Seharusnya arah agenda pemberantasan korupsi yang
dilakukan KPK, bukan pada berapa banyak orang yang ditangkap, tapi pada berapa
banyak kerugian keuangan negara yang bisa diselamatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar