Memaknai
Tertangkap Tangan
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
29 September
2017
"In criminalibus probantiones
bedent esse luce clariores"
(dalam
perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya).
Lewat kutipan di awal tulisan ini, jelaslah bahwa untuk
membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana tak hanya berdasarkan
persangkaan semata. Bukti-bukti yang ada haruslah jelas, terang, dan akurat
dalam rangka meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa keraguan sedikit
pun.
Seorang pelaku yang tertangkap tangan melakukan suatu
tindak pidana tentunya lebih mudah dibuktikan. Apa yang sebenarnya dimaksud
dengan tertangkap tangan?
Delik tertangkap tangan berasal dari zaman Romawi yang
disebut dengan istilah delictum flagrans. Delik tertangkap tangan ini
kemudian diadopsi hukum pidana Perancis dengan istilah flagrant delit dan
punya akibat hukum yang berbeda dengan delik lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tertangkap
tangan-tertangkap basah dalam percakapan sehari-hari-diartikan sebagai
kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tak boleh dilakukan.
Pengertian yang demikian tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam kamus
hukum yang mendefinisikan tertangkap tangan sebagai kedapatan waktu kejahatan
sedang dilakukan atau tidak lama sesudah kejahatan dilakukan.
Kendati tak sama persis pengertian tertangkap tangan
antara KBBI dan kamus hukum, kedua pengertian tersebut lebih sempit apabila
dibandingkan pengertian tertangkap tangan berdasarkan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 1 Angka 19 KUHAP memberi pengertian tertangkap
tangan sebagai berikut: "tertangkapnya seseorang pada waktu sedang
melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai
sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa Ia adalah pelakunya atau turut melakukan
atau membantu melakukan tindak pidana itu".
Per definisi, ada empat keadaan seseorang disebut
tertangkap tangan: (1) tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana; (2) tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan; (3) tertangkapnya seseorang sesaat kemudian
diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; dan (4) apabila
sesaat kemudian, pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda
yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu.
Per definisi dalam Pasal 1 Angka 19, KUHAP tidak saja
mengatur keadaan-keadaan seseorang disebut tertangkap tangan, lebih dari itu,
KUHAP memberi cakupan kepada pelaku. Tidak hanya materiele dader (pelaku
materiil), tetapi juga pelaku peserta lainnya-apakah itu orang yang menyuruh
lakukan, turut serta melakukan atau orang yang menganjurkan-bahkan terhadap
pembantuan.
Dalam kaitan dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang
belakangan ini sering dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang
berujung pada penetapan seorang pejabat publik sebagai tersangka, dapatkah
dikatakan pejabat publik tersebut tertangkap tangan? Hal ini mengingat satu
dari empat keadaan tidak terdapat pada diri seorang pejabat publik saat KPK
membawanya untuk diinvestigasi lebih lanjut. Terhadap pertanyaan tersebut,
ada beberapa hal yang perlu dijelaskan.
Pertama, KPK sebelum melakukan OTT sudah pasti didahului
serangkaian tindakan penyadapan dalam jangka waktu tertentu. Hasil penyadapan
pada dasarnya bukti permulaan terjadinya suatu tindak pidana.
Kedua, berdasarkan Pasal 12 UU No 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan KPK melakukan penyadapan
bukan pada tahap penyidikan, melainkan penyelidikan. Penyelidikan adalah
tahap awal proses perkara pidana sebelum penyidikan. Artinya, penyadapan
dilakukan masih pada tahap untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana.
Ketiga, OTT hanyalah untuk mengonkretkan serangkaian
tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya sehingga bukti permulaan
yang telah diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang cukup. Artinya,
perkara tersebut sudah dapat diproses secara pidana karena memiliki minimal
dua alat bukti.
Keempat, per definisi tertangkap tangan dalam Pasal 1
Angka 19 KUHAP, sangatlah mungkin seorang pejabat yang ikut ditangkap dalam
OTT tidak terdapat satu dari empat keadaan tersebut karena dapat saja uang
atau barang bukti yang jadi obyek suap belum ada atau tidak ada di tangan
pejabat tersebut. Artinya, tindak pidana penyuapan itu belum selesai atau
masih dalam tahap percobaan.
Di sini terjadi apa yang dalam teori percobaan disebut
geschorte poging atau tentatif, atau dalam literatur Jerman disebut
unbeendigter versuch atau percobaan terhenti. Dalam konteks demikian, tidak
mungkin uang suap atau barang bukti yang jadi obyek suap ada di tangan
pejabat publik. Namun, perlu diingat,
berdasarkan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, percobaan
melakukan tindak pidana korupsi sama dengan perbuatan pidana korupsi yang
telah selesai. Dengan demikian, pejabat publik yang ditangkap KPK dalam
OTT-meskipun masih dalam konteks percobaan dan tanpa suatu keadaan menurut
Pasal 1 Ayat 19 KUHAP-tetap disebut tertangkap tangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar