Menanti
Kepeloporan Partai
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)
|
KOMPAS,
17 Oktober
2017
Jalan menuju
Pemilu 2019 mulai disiapkan melalui pendaftaran partai politik ke Komisi
Pemilihan Umum. Minat mendirikan partai baru belum juga surut di tengah
krisis legitimasi demokrasi.
Krisis
legitimasi demokrasi itu ditandai oleh kecenderungan kian menurunnya tingkat
partisipasi warga dalam pemilu/pilkada (voter
turnout), kecuali di beberapa daerah yang sangat padat politisasi
identitas. Kedua, kecenderungan merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas
terhadap partai dengan tingginya angka pelarian dukungan (voter turnover). Ketiga,
kian tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap lembaga perwakilan. Keempat,
tetap tingginya indeks persepsi korupsi.
Salah satu
alasan merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas rakyat terhadap partai
politik adalah kontradiksi antara surplus jumlah partai dan defisit kredibilitasnya.
Demokrasi
permusyawaratan lebih mudah dijalankan jika pihak-pihak yang berseberangan
lebih terbatas. Untuk itu, demokrasi permusyawaratan menghendaki
penyederhanaan jumlah partai politik atau pembatasan blok-blok politik
melalui koalisi kepartaian yang lebih permanen.
Selain itu,
untuk memompakan semangat progresif diperlukan adanya partai-partai pelopor
yang dapat menggerakkan perubahan-perubahan fundamental ke arah pencapaian
cita-cita nasional: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Meminjam
pandangan Bung Karno, salah satu syarat bagi terbentuknya partai pelopor
adalah disiplin. Disiplin pada ideologinya, disiplin pada teori
pergerakannya, disiplin organisasi, disiplin taktik, disiplin propaganda. ”Pendeknya partai jang di dalam segala
urat-uratnja dan sjaraf-sjarafnja harus sebagai suatu mechanism jang
tiap-tiap sekrup dan tiap-tiap rodanja berdisiplin hingga seksama.”
Disiplin
ideologis merupakan fondasi utama suatu partai. ”Sebuah partai harus dipimpin
oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide”. Tidak sepatutnya
partai itu dipimpin oleh uang, menghikmati uang, memikul uang, dan membumikan
uang. Partai sejati seharusnya berdiri berlandaskan seperangkat kepercayaan,
ide, sikap, dan keyakinan yang menyediakan skema konseptual sebagai panduan
aksi dan praktis politik bersama. Ideologi merupakan simpul identitas
kolektif yang mentransformasikan kepentingan-kepentingan perseorangan ke
dalam kepentingan dan perjuangan bersama. Tanpa panduan ideologi, partai
hanyalah kerumunan kepentingan yang mudah berubah menjadi perkakas dari
perorangan yang terkuat (the
fittest) dan tergemuk (the
fattest).
Kekuatan
partai harus beraliansi dengan kekuatan-kekuatan strategis dalam masyarakat,
seperti kaum buruh, tani, pedagang kecil, penggiat koperasi dan sektor
informal, kaum perempuan, kaum cendekiawan dan mahasiswa, agamawan dan
wartawan progresif, kaukus ornop progresif, kekuatan bela negara dan
sejenisnya, dalam kerangka pembentukan historical bloc bagi pencapaian tujuan
bersama.
Semuanya itu
bisa berjalan dengan baik jika pengembangan demokrasi taat asas dengan
nomokrasi (rule of law)
yang berlandaskan norma dasar Pancasila. Dalam kaitan ini, perlu diingatkan
bahwa demokrasi yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan
yang ”kuat”, yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat
konstitusi (yang sejalan dengan Pancasila). Perlu disadari bahwa demokrasi
tak bisa dipisahkan dari konstitusi seperti tecermin dalam istilah ”demokrasi
konstitusional”. Istilah ini mengandung makna bahwa demokrasi adalah suatu
fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan
dan pemenuhan konstitusi.
Agar
demokrasi bisa dikonsolidasikan, konstitusi harus dikonsolidasikan terlebih
dahulu. Jika kita bermaksud mengembangkan demokrasi Pancasila, harus
dipastikan bahwa konstitusinya sesuai dengan prinsipprinsip Pancasila. Tanpa
kejelasan landasan konstitusi, kepastian dan penegakan hukum, demokrasi bisa
berujung anarki.
Pada
akhirnya, apa pun yang dirumuskan secara ideal dalam konstitusi sebagai
”negara dalam keadaan diam” tidaklah dengan sendirinya dapat dibumikan dalam
realitas ”negara dalam keadaan bergerak”. Nomokrasi harus berenang di atas
landasan etika-moralitas yang kuat.
Hal inilah
yang diingatkan dalam pokok pikiran keempat Pembukaan Konstitusi Proklamasi,
”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar itu harus mengandung
isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur”.
Sebaik apa
pun kandungan nilai-nilai Pancasila dan turunannya UUD 1945, hanyalah
keluhuran di atas kertas, tanpa kesungguhan untuk mendagingkan nilai-nilai
itu dalam etika penyelenggaraan negara. Seperti diingatkan oleh Soepomo:
Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan
dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang
yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para
penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan,
undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar