Demokrasi
Itu Indah
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat
Penelitian Politik LIPI;
Saat Ini Menjadi Duta
Besar RI di Tunisia
|
KOMPAS,
17 Oktober
2017
Saat menjadi pembicara kunci
pada Bali Democracy Forum Chapter Tunis, di Tunis, Tunisia, Senin (2/10),
Menlu RI Retno LP Marsudi menekankan, demokrasi selayaknya tak dimajukan
melalui ”pressure, shaming and naming.”
Tak ada formula tunggal bagi
keberhasilan penerapan demokrasi. Nilai demokrasi bersifat universal, tetapi
model demokrasi tidaklah ”one size fit all” (satu ukuran cocok untuk semua),
tetapi perlu ada konteks lokalnya. Jalan menuju demokrasi tak mudah, tetapi
juga bumpy (penuh ganjalan).
Indonesia punya pengalaman serupa
dengan Tunisia dan negara Afrika Utara lainnya dalam proses demokratisasi
yang telah berjalan 20 tahun sejak 1998. Apa yang dikatakan Menlu benar.
Semua negara yang melakukan reformasi politik dari negara otoriter ke
demokrasi punya jalan demokrasinya sendiri. Demokrasi tak dapat dipaksakan
dari luar, tetapi berkembang sesuai karakteristik masing-masing. Amat tepat
jika Bali Democracy Forum Chapter Tunis (BDFCT) memilih tema ”Homegrown
Democracy: The North Africa Experience.”
Ini forum pertama yang diselenggarakan
di luar Indonesia. Ada empat alasan mengapa Tunisia dipilih jadi negara
pertama untuk forum ini. Pertama, negara ini punya hubungan kesejarahan amat
panjang dengan Indonesia, bahkan sejak sebelum Tunisia merdeka dari Perancis
pada 1956. Bapak bangsa Tunisia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan menjadi
perdana menteri (PM) pertama Tunisia pada 1956 dan kemudian presiden pertama
Tunisia pada 1957, Habib Bourguiba, memiliki hubungan erat dengan Soekarno.
Bourguiba mengunjungi Indonesia pada 1955, mendapat dukungan pada Konferensi
Asia Afrika untuk Tunisia merdeka, dan diberikan kantor di Jakarta untuk
corong kemerdekaan Tunisia di Asia.
Kedua, Tunisia negara pertama
yang mengalami Musim Semi Arab (Arab Spring) pada akhir 2010, diawali dengan
Revolusi Bunga (Jasmine Revolution). Hingga kini, Tunisia merupakan negara
Arab Magribi yang berhasil membangun demokrasinya dengan baik.
Ketiga, penduduk Tunisia amat
majemuk, baik dari segi etnik maupun agama, meski mayoritas penduduknya
beragama Islam (98 persen) dengan garis yang moderat seperti Indonesia.
Keempat, baik Tunisia maupun Indonesia, memandang demokrasi dan Islam
bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan kompatibel satu sama lain.
Jalan berliku
Setelah merdeka dari Prancis,
Tunisia tak langsung membangun sistem demokrasi. Bourguiba lebih mendahulukan
mengubah sistem monarki menjadi sistem republik. Ia juga tak anti-Perancis
dan tetap menjadikan bahasa Perancis bahasa untuk memodernisasi Tunisia.
Bourguiba memfokuskan kebijakannya pada peningkatan literasi rakyat,
pembangunan universitas, peningkatan anggaran pendidikan hingga 32 persen
dari APBN, pembangunan negara bangsa Tunisia yang modern, Tunisianisasi
ajaran-ajaran Islam, dan pemberdayaan perempuan.
Reformasi sosial-politik yang dilakukan
Bourguiba meliputi pula emansipasi perempuan, pendidikan publik, keluarga
berencana, sistem pelayanan kesehatan publik yang modern dan dikelola negara,
menata administrasi negara, sistem keuangan dan ekonomi modern yang awalnya
berbasis sosialis dan kemudian menganut ekonomi terbuka, serta membangun
infrastruktur di seluruh negeri.
Dalam kaitan dengan emansipasi
perempuan, Bourguiba dikenal sebagai pendukung hak-hak perempuan bahkan saat
dia masih menjadi PM. Dia memelopori dibuatnya Code of Personal Status yang
memberikan hak bagi perempuan memiliki usaha sendiri, membuka akun bank,
melarang poligami, meningkatkan usia menikah perempuan menjadi 17 tahun, dan
hak-hak perempuan lainnya.
Kebijakan ini banyak ditentang
oleh kalangan konservatif agama dan etnik, tetapi Bourguiba juga mendapatkan
dukungan dari sebagian kalangan ulama di Tunisia. Di era Bourguiba, para
perempuan juga memiliki kebebasan untuk tidak menggunakan kain penutup kepala
(jilbab). Ia juga memberlakukan satu sistem pengadilan sipil, menghapuskan
pengadilan agama.
Dari sisi politik, gerakan
perubahan sosial yang dicanangkan Bourguiba melahirkan suatu gerakan politik
amat dahsyat. Tak seperti di negara Arab lainnya, Tunisia adalah negara yang
meningkatkan keterwakilan politik perempuan, 22 sampai 31 persen di parlemen.
Namun, sayangnya, keterwakilan perempuan di kabinet amat minim. Dari 25 atau
28 anggota kabinet yang dibentuk, hanya dua atau paling banyak empat
perempuan.
Sisi positif lain yang
diwariskan Bourguiba, ia tak membangun dinasti. Anak laki-laki tunggalnya tak
diberikan jabatan menteri, tetapi membangun kariernya sendiri sebagai
diplomat. Bourguiba juga tak mewariskan kekayaan kepada anak laki-laki dan
anak perempuan angkatnya. Rumah di Monatsir juga satu-satunya rumah yang ia
beli melalui kredit bank. Sisi negatifnya, karena kondisi politik Tunisia,
Bourguiba menerapkan sistem politik yang menempatkan dia sebagai sosok utama
dalam politik Tunisia. Bourguiba juga terlalu lama berkuasa, 30 tahun.
Perubahan politik mulai terjadi
setelah ”Demonstrasi Roti” yang menentang desakan Dana Moneter Internasional
agar Pemerintah Tunisia mengurangi subsidi pangan kepada rakyat. Kebijakan
ini akhirnya dicabut kembali. Sejak itu pula Bourguiba menghapuskan sistem
satu partai. Posisi Bourguiba digantikan PM Zine al-Abidine Ben Ali pada 1987
melalui kudeta tak berdarah yang dikenal dengan ”Kudeta Kesehatan” karena
Bourguiba sakit parah. Ben Ali tetap memberikan rawatan kesehatan prima
kepada Bourguiba dan kadang mengunjunginya di Monatsir hingga Bourguiba wafat
6 April 2000.
Pasca-Revolusi Bunga
Ben Ali memerintah Tunisia
dengan tangan besi. Pada paruh pertama pemerintahannya, pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat terjamin. Namun, namanya menjadi rusak sejak
keluarga istri keduanya menguasai sektor bisnis di Tunisia. Tingkat
pengangguran yang tinggi, harga pangan yang mahal, korupsi, tiadanya
kebebasan berbicara dan kebebasan berpolitik, kondisi kehidupan yang
menyedihkan, menjadi pemicu terjadinya Revolusi Bunga yang juga menginspirasi
banyak negara Arab dan dikenal sebagai Arab Spring.
Demonstrasi besar di Tunis
dipicu tindakan Mohamed Boazizi, pemuda berpendidikan yang terpaksa menjadi
pedagang buah dan sayuran yang membakar diri pada 17 Desember 2010 sebagai
protes atas perlakuan aparat keamanan. Meninggalnya Boazizi pada 4 Januari
2011 meluapkan kemarahan rakyat dan menggulingkan Presiden Ben Ali yang
berkuasa 23 tahun. Ben Ali dan keluarganya lari ke Arab Saudi.
Pada pemilu Majelis Rakyat, 23
Oktober 2011, partai Islam Ennahda pimpinan Mohammed Ghannouchi memenangi
pemilu dengan 37,04 persen suara. Moncef Marzouki dipilih menjadi presiden
pada 12 Desember 2011. Meski pada Maret 2012 Ennahda menyatakan tak akan
mendukung syariah Islam sebagai sumber utama legislasi konstitusi baru, yang
berarti mempertahankan sifat sekuler dari negara Tunisia, ketakutan pada
gerakan Islam radikal begitu kuat di Tunisia. Terbunuhnya Chokri Belaid dan
Mohamed Brahmi, dua politisi pengkritik keras Ennahda pada Februari dan Juli
2013, menyebabkan pemerintahan dukungan Ennahda goyah dan membawa Tunisia ke
perang saudara antara kekuatan politik Islam dan nasionalis sekuler.
Pada saat itulah muncul empat
kekuatan masyarakat madani yang mendorong penyelesaian politik melalui dialog
dan bukan adu kekuatan; Organisasi Buruh (UGTT), Konfederasi Industri,
Perdagangan dan Kerajinan Tangan (UTICA), Liga Hak Asasi Manusia Tunisia dan
Persatuan Ahli Hukum (ONAT). Pendekatan mereka didukung semua kekuatan
politik yang tak ingin melihat perang saudara.
Pada pemilu parlemen Oktober
2014, Ennahda menjadi kekuatan politik kedua setelah Nidaa Tounes. Dua partai
ini mendukung Beji Caid Essebsi sebagai presiden pada pilpres November 2014.
Satu hal yang menarik, Presiden Beji Caid Essebsi bukan hanya kepala negara
simbol, melainkan memiliki kekuasaan eksekutif untuk menentukan siapa yang
jadi PM. Meski usianya sudah 91 tahun, Essebsi masih memiliki pemikiran
jernih, memiliki kekuatan politik besar, serta bisa menentukan siapa menjadi
PM dan siapa yang masuk kabinet.
Berbeda dengan sistem
parlementer pada umumnya, di Tunisia anggota kabinet bisa berasal dari para
teknokrat independen nonpartai, independen yang dekat dengan partai,
independen yang dekat dengan Presiden Essebsi atau independen yang dekat
dengan PM Youssef Chahed. Tantangan bagi demokrasi di Tunisia saat ini adalah
inflasi cukup tinggi, pengangguran terpelajar yang juga tinggi, dan masih
adanya gerakan radikal islam.
Bagi Tunisia, dan Indonesia
tentunya, demokrasi itu indah. Berbagai parpol Islam dan nasionalis non-agama
dan kalangan teknokrat bisa masuk ke kabinet persatuan nasional. Berbagai
perbedaan dan konflik diselesaikan secara konsensus sebagai hasil musyawarah
dan mufakat, bukan adu senjata. Dalam demokrasi—”kata” dan bukan
”senjata”—lebih diutamakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar