Legalitas
OTT KPK
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 09 Oktober 2017
Harian ini pada 5 Oktober 2017 menerbitkan artikel Prof
Romli Atmasamita dengan judul “Apakah
OTT KPK Legal atau Ilegal“ sebagai tanggapan atas artikel saya sehari
sebelumnya dengan judul “Legalitas OTT
KPK“.
Tulisan berikut ini membahas 4 isu yang diperdebatkan
antara Prof Romli dan saya.
Pertama, perihal tertangkap tangan.
Tertangkap tangan didefenisikan dalam Pasal 1 angka 19
KUHAP. Berdasarkan pasal tersebut, ada empat keadaan yang memungkinkan sese
orang dikatakan tertangkap tangan.
1. Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana. Dalam keadaan jika orang yang tertangkap tangan telah memenuhi
semua unsur delik, maka delik itu telah selesai (vooltoide delic). Jika
seseorang yang tertangkap tangan belum memenuhi semua unsur delik, hakikatnya
masih dalam delik percobaan.
2. Tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan. Dalam keadaan ini, jika delik dirumuskan secara
formil, tindak pidana itu vooltoide delic. Akan tetapi jika delik dirumuskan
secara materiil, sangat mungkin terjadi percobaan selesai (vooltoide poging). Artinya akibat yang
disyaratkan suatu rumusan delik belum terjadi.
3. Tertangkapnya seseorang sesaat kemudian setelah
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Dalam keadaan
ini, penjelasannya sama dengan keadaan pertama sebagaimana telah diutarakan.
4. Tertangkapnya seseorang sesaat kemudian pada orang yang
melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tin dak pidana itu.
Dalam keadaan keempat ini penjelasannya sama dengan
keadaan kedua sebagai mana telah diulas. Berdasarkan keempat keadaan tersebut
dalam hal tertangkap tangan, sangatlah mungkin seseorang tertangkap tidak
ditempat kejadian perkara. Ilustrasinya: beberapa orang merampok bank.
Seketika setelah keluar dari bank kemudian dikejar polisi
dan tertangkap, maka beberapa orang tersebut dikatakan tertangkap tangan
sesuai dengan keadaan kedua di atas. Di sini polisi menangkap beberapa orang
tersebut bukan pada locus delicti dan tidak sedang melakukan tindak pidana.
Kedua, perihal percobaan. Pasal 53 KUHP menyatakan, “Mencoba melakukan kejahatan dipidana,
jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya
sendiri”.
Percobaan adalah delik yang tidak sempurna dalam pemenuhan
unsur-unsurnya. Permulaan pelaksanaan secara subjektif didasarkan pada
postulat, voluntas reputabitur pro
facto yang berarti niat sama artinya dengan fakta yang ada. Adapun secara
objektif, permulaan pelak sanaan mendekati delik yang dituju.
Hal ter penting dari percobaan adalah tidak selesainya
permulaan pelaksanaan , bukan semata-mata disebabkan kehendak sendiri. OTT
KPK didahului pe nya - dap an yang selanjutnya diikuti pengintaian. Saat
calon tersangka beraksi, KPK kemudian melakukan penangkapan.
Perdefinisi tertangkap tangan di atas, sangat
terang-benderang OTT KPK sama dengan salah satu keadaan tertangkap tangan
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Jika uang atau barang yang
menjadi objek suap belum berada pada tangan yang dituju, delik itu belum
selesai.
Orang yang tertangkap tangan, tetapi belum meme nuhi semua
unsur, dalam teori hukum pidana dinamakan percobaan. Sebab tidak selesainya
permulaan pelaksanaan bukan karena kehendak sendiri, tetapi terhenti karena
ditangkap KPK. Pasal 15 UU Tipikor, percobaan sama dengan delik selesai.
Ber dasarkan keadaan tertangkap tangan di hubungkan dengan
percobaan, amat sangat mungkin pejabat publik yang tertangkap tidak berada di
tempat kejadian perkara dan tidak sedang melakukan tindak pidana.
Ketiga, perihal penjebakan.
Prof Romli dalam artikelnya menyatakan OTT KPK adalah
penjebakan dan tanpa kewenangan didasarkan pada argumentasi:
(1) kasus yang menimpa Khariansyah dan Probosutejo yang
telah menemui pimpinan KPK terlebih dulu, kemudian KPK melaku kan OTT;
(2) kewenangan penyadapan pasca-putusan MK harus diatur
dalam undang-undang dan tidak cukup dengan SOP KPK;
(3) pengintaian tidak diatur dalam UU sehingga ilegal;
(4) OTT KPK dilakukan pada saat penyelidikan;
(5) penetapan tersangka dilakukan saat penyelidikan,
padahal hasil penyelidikan harus dilaporkan paling lambat 7 hari.
Terhadap berbagai argumentasi Prof Romli, tanggapan saya
sebagai berikut.
Pertama, dalam kasus Khariansyah dan Probosutejo, saya
sepakat bahwa itu adalah penjebakan dan bukan tertangkap tangan.
Kedua, Prof Romli menggunakan logika pars pro toto yang
berarti sebagian untuk semua.
Artinya kasus yang menimpa Khariansyah dan Probosutejo
digeneralisasi berlaku pula untuk semua OTT KPK dalam kasus-kasus yang lain.
Analisis hukum tidaklah boleh berdasarkan logika pars pro toto atau
kebalikannya totem pro parte, tetapi harus berdasarkan realitas fakta yang
ada.
Mahkamah Agung Amerika pada 1932dalamkasus Sorrells vs US,
287 U.S 435 men definisikan sebagai berikut: “Entrapment is the conception and planning of an offence by an
officer, and his procurement of its commission by one who would not have per
petrated it except for the trickery, persuasion or fraud of the Office.”
Mahkamah kemudian menegaskan bahwa sesuatu dianggap
penjebakan bila adanya tindakan aktif dari penyidik untuk membuat seseorang
melakukan kejahatan. Richard G Singer dan Prof John Q la Fond dalam Criminal Law menyatakan bahwa
penjebakan harus ada dua pendekatan.
Pendekatan subjektif berarti harus ada ajakan dari penegak
hukum agar seseorang melakukan tindak pidana. Adapun pendekatan objektif
berarti ajakan tersebut meliputi pemberian informasi suatu tindak pidana
seakanakan bukan tindak pidana dan jaminan bahwa tindak pidana tersebut akan
ditanggung petugas yang menyamar.
Pertanyaan lebih lanjut, selain kasus Khariansyah dan
Probosutejo, adakah tindakan OTT KPK yang meliputi pendekatan subjektif dan
objektif sebagaimana dimaksud dalam penjebakan?
Ketiga, putusan MK tidak membatalkan kewenangan penyadapan
KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a UU KPK dan boleh dilakukan
pada tahap penyelidikan.
Keempat, pengintaian memang tidak diatur dalam UU, tetapi
apakah sesuatu yang tidak diatur secara mutatis mutandis dilarang atau
ilegal? Terkait dengan pengintaian, harap di ingat bahwa penegak hukum yang
melakukan penyelidikan/penyidikan pada hakikat nya juga melaksanakan fungsi
intelijen dalam penanganan suatu kasus.
Oleh sebab itu da lam institusi kejaksaan maupun Polri ada
bagian intelijen. Demikian pula dengan KPK yang memasukkan bagian intelijen
kedalam monitoring. Artinya pengintaian adalah hal yang wajar dilakukan dalam
proses penyelidik an/penyidikan.
Kelima, meskipun ada perbedaan terminologi penyelidikan
dan penyidikan, dalam penegakan hukum tidak ada sekat yang tegas antara kedua
tindakan tersebut.
Oleh karena itu dalam RUU KUHAP, sudah tidak ada lagi
terminologi penyelidikan dalam proses perkara pidana. Tidak selamanya proses
terhadap suatu tindak pidana dimulai dengan penyelidikan.
Adakalanya pada waktu melakukan penyelidikan, di saat yang
sama juga dilakukan penyidikan, terlebih dalam hal tertangkap tangan. Dalam
OTT, KPK tidak sertamerta menetapkan tersangka, tetapi selalu dilakukan
investigasi terhadap mereka yang ditangkap, baru kemudian ditetapkan sebagai
tersangka.
OTT KPK tidak melanggar ketentuan UU yang menyatakan hasil
penyelidikan harus dilaporkan paling lambat 7 hari karena yang diatur adalah
batasan maksimal sehingga satu atau dua jam setelah penyelidikan, hasilnya
dilaporkan, kemudian status perkara di naikkan ketingkat penyidik an dan
tersangka ditetapkan berdasarkan bukti yang sudah terang-benderang. Dengan de
mikian OTT KPK memiliki lega litas dan bukanlah perbuatan melawan hukum.
Keempat, terkait dengan analogi.
Prof Romli dalam artikelnya masih saja menyebut bahwa saya
menganalogikan hasil OTT dengan percobaan Pasal 53. Terhadap pernyataan
tersebut, perlu saya jelaskan sebagai berikut.
Pertama, analogi adalah perbuatan yang menjadi persoalan
tidak bisa dimasukkan kedalam aturan yang ada.
Selanjutnya perbuatan itu me nurut pandangan hakim
seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula. Karena termasuk intinya aturan
yang ada, maka perbuatan tadi lalu dapat di kenai aturan yang ada dengan
menggunakan analogi. Perdefinisi tersebut, meng hubungkan antara tertangkap
tangan danpercobaan bukanlah bentuk analogi, melainkan penjelasan keadaan
tertangkap tangan dihubungkan dengan delik percobaan.
Kedua, salah satu makna asas legalitas adalah nullum
crimen, nula peone sine lege stricta. Artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undangundang yang ketat. Berdasarkan postulat ini,
analogi dilarang.
Ketiga, larangan analogi hanya lah sebatas analogi yang
menimbulkan perbuatan pidana baru (rechtsanalogie) dan bukan analogi dalam
rangka menjelaskan undang-undang (gesetze analogie).
Keempat, KUHP Belanda, demikian pula KUHP Indonesia, tidak
mencantumkan larangan analogi secara expressive verbis.
Dalam Wetboek van Strafrecht terbitan 2011, dalam Bab I
dengan judul Omvang van de werking van de strafwet yang terdiri atas 8
Pasal—termasuk asas legalitas dalam Pasal 1—, tidak ada satu pun larangan
tentang analogi. Dalam konteks KUHP Indonesia, larangan analogi ini secara
tegas baru akan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP.
Keempat, perihal tafsir ekstensif dan bukan analogi
dihubungkan dengan kasus pencurian.
Sayangnya buku Prof Moeljatno yang dirujuk Prof Romli
tidak mengutip secara utuh putusan Hooge Raad 23 Mei 1921. Kalau saja kita
membaca literatur aslinya, pemahaman mengenai suatu permasalahan menjadi utuh
dan tidak secara parsial. Putusan Hooge Raad 23 Mei 1921 tidak hanya
menggunakan interpretasi ekstensif, tetapi juga menggunakan gesetze analogie.
Seorang dokter gigi di Den Haag kurang lebih sebulan meng
ambil listrik tanpa izin dari tetangganya untuk menjalankan praktik di
rumahnya. Dokter gigi kemudian dilaporkan ke polisi karena pencurian.
Putusan Pengadilan Negeri Den Haag 3 November 1920 dan
Putusan Pengadilan Tinggi Den Haag 26 Januari 1921 menjatuhkan vonis bebas
terhadap dokter gigi. Perkara tersebut kemudian dikasasi ke Hooge Raad.
Dalam pertimbangan dan putusannya yang berjudul
“Electriche energie is een goed, vatbaar voor wegneming“, secara kasatmata
terlihat bahwa menyangkut pengertian barang, Hooge Raad melakukan penafsiran
ekstensif dengan menyatakan bahwa sebuah barang dapat berupa barang berwujud
atau barang tidak berwujud dan energi listrik ditafsirkan sebagai barang tidak
berwujud.
Adapun terhadap kata “meng ambil”, Hooge Raad
menganalogikan inschakelen (perbuatan menaikkan dan menurunkan saklar
sehingga aliran listrik bisa berpindah) dipersamakan dengan wegneemt atau
meng ambil (lihat Burgersdijk en van Bemmelen, 1955, halaman 311-314). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar