Apakah
OTT KPK Legal atau Ilegal?
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 05 Oktober 2017
Kemarin artikel Prof Edward Hiariej dari Universitas
Gadjah Mada yang berjudul ”Legalitas OTT KPK” diterbitkan oleh harian ini
menanggapi artikel saya dengan judul ”OTT KPK ” yang diterbitkan harian ini
Senin, 2 Oktober 2017.
Artikel saya tersebut tidak membahas secara khusus karakter
KUHAP-UU RI Nomor 8 Tahun 1981, apakah menganut crime control model atau due
process model. Karena secara historis dan teologis terdapat justifikasi
mengapa HIR produk hukum acara pemerintah Kolonial Belanda diganti UU RI Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari sini kemudian dianut model due process karena sejalan dengan
pendapat H Packer telah memenuhi karakteristik model tersebut dibandingkan
dengan crime control model.
Packer sendiri menegaskan bahwa kedua model tersebut tetap
memiliki karakter nor matif dan beda yang nyata. Model crime control mengutamakan efektivitas, sedang kan model due process mengutamakan efisiensi.
Efektivitas yang dimaksud bertumpu pada output (keberhasilan), sedangkan
efisiensi bertumpu pada outcome
(dampak) dari sistem peradilan pidana. Dalam konteks efisiensi, maka kecermatan,
ketelitian disertai dengan sistem pengawasan horizontal merupakan hal
strategis yang menentukan tercapainya tujuan penegakan hukum tanpa cara-cara
melanggar prinsip praduga tak bersalah dan tanpa penyalahgunaan wewenang oleh
aparatur penegak hukum.
Keberadaan lembaga praperadilan merupakan salah satu
parameter pengawasan horizontal sebagai karakter due process of law, termasuk yang diatur dalam KUHAP(Pasal 77
KUHAP). Dalam konteks efektivitas yang merupakan karakter crime control
sering dikonotasikan tujuan menghalalkan cara. Karena yang diutamakan sebanyak-banyaknya
keberhasilan (output) penangkapan, penahanan, dan penghukuman yang sering
abai tentang cara-cara dibenarkan menurut ketentuan undang-undang. Jika pemahaman
model crime control yang masih
terjadi dalam praktik proses peradilan saat ini, saya sepakat dengan Profesor
Edward (Eddy), tetapi bukan dalam konteks karakteristik KUHAP yang dilahirkan
setelah kemerdekaan 1945.
Fokus diskusi saya dan Prof Eddy justru dalam tataran
operasionalisasi KPK dalam melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, termasuk UU RI No 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU RI
Nomor 20 Tahun 2001 dan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu di
antaranya pelaksanaan tugas dan wewenang KPK melakukan penyadapan tanpa izin
pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KPK yang digolongkan ke dalam
lex specialis. Ketika kasus MWK
(alm) berusaha menyuap Khariansyah, auditor BPK RI dalam pengadaan barang KPU
tahun 2009, maka Khariansyah menemui pimpinan KPK (Taufiequrachman Ruki cs)
kemudian diatur strategi penjebakan (entrapment).
Ketika Probosutedjo dimintai sejumlah uang oleh oknum
pegawai MA, maka diatur penjebakan dengan sejumlah uang senilai Rp6 miliar
(milik Pak Probo) dan akhirnya pengacara Pak Probo yang ditangkap. Menurut
keterangan pengacara Pak Probo, Indra Syahnun Lubis, petugas KPK bersembunyi
di rumah Pak Probo untuk melakukan penangkapan. Peristiwa tersebut mengawali
proses bagaimana KPK melakukan ”operasi tangkap tangan”.
Sebutan ini sekilas mirip pengertian ”tertangkap tangan”
yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yaitu ”...tertangkapnya seorang
pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah
beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau ...sesaat kemudian padanya
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan
atau membantu melakukan tindak pidana”.
Penjebakan KPK dilanjutkan pada kasus UTG, mantan jaksa di
Kejaksaan Agung terkait penerimaan suap dari Artalyta, pegawai SYN-kasus
BLBI. Setelah peristiwa tersebut, masih banyak lagi kasus OTT KPK yang telah
berhasil menuntaskannya di pengadilan tindak pidana korupsi di PN Jakarta
Pusat. Kebiasaan praktik OTT KPK terus berlanjut sampai pada kasus Wali Kota
Batu di Malang yang menurut keterangan KPK telah ditangkap dalam OTT.
Sedangkan bersangkutan tidak sedang melakukan tindak pidana dan menurut
informasi yang bersangkutan baru selesai mandi di rumahnya.
Begitu pula kasus Bupati Kutai Kartanegara yang baru-baru
ini ditangkap dan menurut keterangan KPK juga ditangkap dalam OTT, sedangkan
yang bersangkutan sedang berada di Jakarta, bukan di tempat kejadian perkara
(TKP).
Mengamati serangkaian proses yang dilakukan KPK, jelas
peristiwa OTT tersebut terjadi dalam proses penyelidikan karena sehari
setelah kejadian, ditetapkanlah yang dikenai OTT sebagai tersangka dan
dilakukan penahanan terhadap bersangkutan. Menyimak peris tiwa OTT yang
terjadi pada proses penyelidikan KPK, dipastikan bahwa dasar formal OTTadalah
surat perintah penyelidikan (SprintLidik) bukan Sprint Dik atau yang saya
dengar hanya dengan surat tugas pimpinan KPK saja.
Aspek hukum dari serangkaian proses OTT tersebut ada lah
apakah dibenarkan penangkapan (bukan tertangkap tangan) dalam proses
penyelidikan yang notabene sesuai KUHAP harus ditujukan untuk menemukan
peristiwa pidana sekalipun dalam UU KPK dalam penyelidikan KPK dapat menemukan
bukti permulaan yang cukup namun tidak mutatis mutandis, penyelidik dapat
menetapkan seseorang dijadikan tersangka. UU KPK mewajibkan penyelidik
melaporkan hasil lidik kepada Pimpinan KPK dalam waktu selambat-lambatnya
tujuh hari untuk kemudian ditentukan di lanjutkan ke tingkat penyidikan atau
tidak dilanjutkan atau di hentikan.
Penetapan tersangka oleh KPK menurut UU KPK harus dilakukan
oleh pimpinan KPK dalam akhir tahap proses penyidikan vide pertimbangan Putusan
Pra peradilan atas nama Pemohon SN. Pendapat Prof Eddy di harian ini kemarin
menanggapi artikel saya telah menjelaskan bahwa OTT bukan penjebakan, dalam
kalimat, ”dengan demikian OTT yang dilakukan KPK adalah mengonkretkan bukti
yang telah diperoleh dari hasil penyadapan. Tegasnya, OTT KPK adalah legal
bukan hasil penyadapan”.
Penggunaan kalimat, ”mengonkretkan” untuk membenarkan OTT
bukan penyadapan. Langkah KPK ini tentu bertujuan ”membuat terang atau lebih
terang mengenai siapa yang terlibat, locus, dan tempus delicti”, melalui cara
pengintaian (interdiction) yang
tidak diakui atau diatur dalam baik UU Tipikor No 31 Tahun 1999 yang diubah
UU No 20 tahun 2001 maupun UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam praktik KPK telah menggunakan hasil sadapan untuk
melakukan pengintaian (interdiction)
terhadap calon tersangka dan kemudian dijadikan barang bukti untuk bahan cross-examination (pemeriksaan silang)
dalam pemeriksaan saksi dan tersangka. Masalah penyadapan yang dilanjutkan
dengan peng intaian dan penangkapan oleh KPK, sesungguhnya telah menyimpang
dari tugas dan wewenang KPK yang utama, yaitu koordinasi dan korsup (Pasal 6
huruf a danbUUKPK). Karenaitu, fungsi Lid, Dik, dan Tut seharusnya dilakukan
setelah fungsi korsup tidak efektif, karena difungsikan menurut UU KPK
sebagai lembaga ”trigger-mechanism”, bukan lembaga penyidikan dan penuntutan
semata-mata.
Terkait wewenang penyadapan KPK, maka setelah putusan MK
RI, wewenang tersebut wajib diatur dan didasarkan pada ketentuan UU dan tidak
cukup memiliki alasan hukum dengan peraturan pimpinan KPK. Seharusnya
peraturan SOP penyadapan pimpinan KPK terbuka kepada publik. Karena KPK
adalah lembaga penegak hukum, bukan badan intelijen negara di mana akuntabilitas
dan integritas menjadi taruhannya kepada publik, termasuk mereka yang
ditetapkan sebagai tersangka. Keter bukaan SOP penyadapan harus jelas
ditujukan terhadap siapa, alasannya, berapa lama dan bagaimana akuntabilitas
dan kontrol di dalam pelaksanaannya.
Mengenai hasil OTT KPK yang menurut Prof Eddy O Hiarej
disamakan dengan percobaan, maka Pasal 53 ayat (1) KUHP berbunyi: ”Mencoba melakukan kejahatan dipidana,
jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri”. Dalam OTT KPK, justru yang terjadi adalah tindakan
KPK direncanakan dan dengan sengaja untuk tujuan menggagalkan terjadinya
tindak pidana dan menangkap yang diduga menjadi pelaku tipikor melalui
penjebakan. Hasil OTT yang dianalogi kan dengan percobaan eks Pasal 53 KUHP
justru keliru, jika para ahli hukum pidana telah sepakat bahwa sistem hukum
pidana menganut positivisme hukum atau asas legalitas.
Doktrin hukum pidana tentang analogi (Muljatno dan
Remmelink) dan penjelasan dalam KUHP Belanda (1996) menegaskan kembali
prinsip legalitas yang melarang tafsir analogi, jika ditujukan untuk
membentuk norma tentang perbuatan yang dapat dipidana. Sekalipun terdapat perbedaan
di kalangan ahli hukum pidana di Belanda, akan tetapi Muljatno menegaskan,
larangan analogi tersebut bukan saja diakui dalam sistem hukum pidana
(positif) di Belanda, juga dalam sistem hukum pidana Indonesia hingga saat
ini.
Ada pun pendapat yang menerima tafsir analogi di kalangan
sarjana Belanda bukan justru pada tafsir analogi, melainkan menerima tafsir
ekstensif (memperluas arti dari norma suatu undang-undang), seperti tafsir
ekstensif mengenai pengertian ”barang” (goedern)
di dalam Putusan HR di Belanda terkait perkara pencurian listrik dihubungkan
dengan Pasal 362 KUHP. Namun demikian, dalam doktrin diakui pula bahwa tafsir
ekstensif tidak mutatis mutandis
sama atau bisa dipersamakan dengan analogi. Pembolehan tafsir analogi untuk
tujuan baik (doelmatigheid) tertentu
dibolehkan, tetapi merupakan wewenang hakim bukan wewenang penyidik atau
penuntut.
Singkatnya dalam konteks OTT KPK ada dua hal penting yang
perlu dikaji para ahli hukum pidana dan KPK beserta penasihat KPK, yaitu
pertama, mengenai prosedur OTT yang didahului dan disertai dengan penyadapan.
Kedua, mengenai hasil OTT KPK itu sendiri. Penulis berpendapat bahwa prosedur
(tata acara) OTT, (bukan wewenang), yang merupakan kelanjutan dari penyadapan
dan tidak ada pengaturannya di dalam UU KPK dan UU Tipikor dengan cara
pengintaian dan penangkapan adalah penjebakan (entrapment) yang melanggar
prinsip due process of law dan
praduga tak bersalah.
Hasil OTT KPK berasal dari prosedur hukum yang melanggar
UU merupakan bukti ilegal (illegal
evidence) dan tidak memiliki kekuatan bukti di muka persidangan. Akibat
hukum penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang di hasilkan dari OTT
KPK merupakan perampasan kemerdekaan bergerak dari seseorang yang dilarang
dan diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 333 KUHP. Tegasnya, OTT KPK
tidak sah dan batal demi hukum dengan akibat tindakan OTT dapat
dipraperadilankan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar