TNI
dan RUU Antiterorisme
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus
Setara Institute, Jakarta
|
KOMPAS, 08 Juni 2017
Dukungan terhadap pelibatan TNI dalam pemberantasan
terorisme melalui revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme menunjukkan banyak pihak ahistoris dengan regulasi TNI dan praktik
pemberantasan terorisme yang selama ini dijalankan.
Pasal 7 Ayat 2 dan 3 UU No 34/2004 tentang TNI
sesungguhnya telah mengatur bahwa TNI memiliki tugas memberantas terorisme
sebagai salah satu dari 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP). Dengan
demikian, tanpa mempertegas pengaturan peran TNI dalam RUU Antiterorisme yang
sedang dirancang DPR dan pemerintah, TNI sudah mengemban mandat tersebut.
Buktinya, dalam beberapa operasi di mana Polri memerlukan bantuan TNI, dua
institusi ini mampu bekerja profesional dan efektif.
Sebaliknya, mempertegas peran TNI dalam RUU Antiterorisme
justru akan bertentangan dengan Pasal 7 UU No 34/2004 yang mengharuskan
adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam melibatkan TNI pada OMSP,
termasuk dalam soal terorisme. Keharusan ini konsekuensi dari prinsip
supremasi sipil (civilian supremacy) dalam negara demokrasi.
Pidana terorisme
Sebagai sebuah operasi, OMSP, termasuk dalam memberantas
terorisme adalah keputusan ad hoc dan temporer oleh karena
suatu situasi darurat di mana terorisme dianggap mengancam kedaulatan negara.
Dengan demikian, pelibatan TNI secara permanen melalui RUU Antiterorisme,
sama artinya menyerahkan otoritas sipil pada militer untuk waktu yang tidak
terbatas dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil.
Terorisme adalah transnational crime (kejahatan
lintas negara) yang oleh dunia internasional dianggap sebagai kejahatan dan
hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum dengan kewenangan preventif
yang lebih luas untuk mencegah segala potensi terjadinya terorisme melalui
prinsip preventive justice. Sebagai sebuah kejahatan,
pemberantasan terorisme tunduk dan patuh pada sistem peradilan pidana yang
dianut setiap negara.
Dalam batas-batas tertentu, terorisme memang bisa
mengancam kedaulatan negara, sebagaimana diperagakan oleh kelompok teror yang
tergabung dalam Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Namun, pendefinisian
ancaman terhadap kedaulatan negara mensyaratkan adanya kebijakan dan
keputusan politik negara yang bersifat sementara hingga ancaman sirna.
Sementara dalam konteks Indonesia, sekalipun terorisme
tetap mengancam, tetapi tak dalam tingkat keberbahayaan yang mengancam
kedaulatan negara. Dalam konteks pemberantasan dan mitigasi tindakan
terorisme itulah kerangka hukum pidana jadi pilihan demokratis untuk
mengatasinya. Dengan meletakkan terorisme sebagai tindak pidana, segala
potensi abusif dalam penegakan hukum pidana dapat dipertanggungjawabkan.
Mekanisme peradilan pidana memiliki perangkat akuntabilitas agar HAM tak
dilanggar, termasuk hak para terduga, tersangka, terdakwa, dan terpidana
terorisme. Sistem peradilan pidana juga memungkinkan tersedianya ruang
koreksi atas kekeliruan tindakan- tindakan penegak hukum dalam memutus
perkara.
Sebagai aparat pertahanan yang memiliki mandat menjaga
kedaulatan dan keutuhan negara, tidaklah tepat jika TNI diberi mandat sebagai
penegak hukum. Selain bertentangan dengan sistem peradilan pidana, operasi
TNI adalah salah satu tindakan keamanan yang paling sulit diminta
pertanggungjawabannya.
Dengan berlindung di balik tugas mempertahankan kedaulatan
dan keutuhan negara, di masa lalu bangsa Indonesia membukukan banyak operasi
militer yang tak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Sementara sederet
pelanggaran HAM berhenti di depan tembok impunitas. Selain itu, hingga kini
UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer masih memberikan privilese pada TNI
yang tak tunduk pada peradilan sipil, meski melakukan tindak pidana di luar
tugas kemiliterannya.
Wibawa TNI
Menyimak perdebatan di seputar pelibatan TNI dalam RUU
Antiterorisme, tanpa disadari sesungguhnya rencana itu mengikis kewibawaan
dan profesionalitas TNI. Desain keamanan dan pertahanan negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 Ayat 3 UUD Negara RI 1945 telah secara limitatif
mengatur tugas utama TNI sebagai alat pertahanan yang bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Desain itu pula merupakan ikhtiar baru atas kekeliruan di masa lalu, yang
memberikan ruang bagi TNI untuk berpolitik dengan mantra Dwifungsi
ABRI.
Dukungan dari berbagai pihak untuk melibatkan TNI dalam
pemberantasan terorisme harus dipandang sebagai upaya melemahkan sistem
peradilan pidana terorisme sekaligus melemahkan wibawa TNI. Bagaimana mungkin
mandat reformasi yang menuntut TNI profesional sebagai aparat pertahanan dan
telah berjalan selama hampir 19 tahun, kemudian diupayakan kembali menjadi
bagian dari penegakan hukum? Usulan ini membahayakan bagi akuntabilitas
sistem peradilan pidana dan berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi
pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme, yang mengabaikan due
process of law dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Presiden Joko Widodo harus memastikan keinginannya
melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme secara permanen melalui RUU
Antiterorisme tak bertentangan dengan Konstitusi RI dan sejumlah peraturan
perundang-undangan lainnya. Jokowi harus jernih menangkap aspirasi banyak
pihak yang menghendaki pelibatan TNI sebagai bagian dari ekspresi politik
beberapa pihak yang terus-menerus mendorong TNI tampil kembali dalam kancah
politik nasional.
Meskipun tindakan terorisme membahayakan keamanan warga,
tindakan terorisme adalah one time event yang hingga kini
belum bisa dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Kalaupun
suatu waktu Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi menganggap situasi
telah mengancam kedaulatan dan keutuhan negara, Presiden Jokowi bisa
menggunakan TNI untuk terlibat dengan mekanisme yang disediakan UU TNI,
khususnya pada aksi-aksi terorisme di wilayah-wilayah pertahanan dan
obyek-obyek vital strategis.
Agar di masa depan pelibatan TNI dalam OMSP memiliki
pijakan kokoh, RUU Perbantuan Militer semestinya segera menjadi prioritas
untuk dibentuk dan dibahas DPR dan pemerintah. Selain merupakan mandat
reformasi, RUU Perbantuan Militer juga akan mengatur mekanisme akuntabilitas
setiap operasi yang sering kali mewarisi kontroversi.
Sebagai salah satu role model pemberantasan
terorisme di dunia, pendekatan hukum pemberantasan terorisme, termasuk
sinergi dengan institusi TNI dan intelijen yang selama ini berjalan,
semestinya pula dapat apresiasi dari para politisi. Hingga saat ini, belum
ada raison d'être yang valid untuk mengubah tindak pidana
terorisme menjadi ancaman atas kedaulatan republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar