Tiada
”Pesta” bagi Komisioner OJK
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM; Faculty Member Bank Indonesia Institute
|
KOMPAS, 19 Juni 2017
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan periode 2017-2022
sudah dipilih DPR. Meski terjadi perbedaan pendapat antara panitia seleksi
dan DPR, hasil akhirnya bisa dibilang sesuai ekspektasi.
Sengitnya persaingan dalam proses pemilihan bisa jadi
menimbulkan persepsi bahwa menjadi komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
adalah hal menyenangkan, sebagaimana layaknya sebuah pesta. Namun,
sesungguhnya tidak demikian. Tidak ada ”pesta” bagi komisioner OJK. Sebagai
lembaga yang baru berusia lima tahun, dan kehadirannya memicu polemik
panjang, tantangan OJK sangat tidak mudah. Berikut ini beberapa di antaranya,
yang dapat dipilah jadi tantangan organisasi secara internal dan substansi
industri keuangannya, terutama perbankan.
Pertama, secara internal organisasi, OJK dituntut
menerapkan standar tata kelola dengan level tinggi. Penggunaan anggaran Rp
4,7 triliun per tahun yang berasal dari iuran anggota dari industri finansial
(bank, pasar modal, dan lembaga keuangan nonbank) harus dikawal dengan
konservatif agar memenuhi standar tata kelola yang tinggi.
Kedua, industri finansial merasa dibebani karena dikenai
biaya iuran 0,45 persen terhadap aset total. Ini menambah beban biaya serta
mempersulit industri (terutama perbankan) dalam upaya menurunkan suku bunga.
Padahal, isu suku bunga tinggi menjadi perhatian dan prioritas tinggi
pemerintah.
Ketiga, organisasi yang cenderung ”gemuk” di jajaran
eksekutif puncak menimbulkan pertanyaan besar tentang efisiensinya. Banyaknya
eksekutif puncak menimbulkan implikasi besarnya remunerasi. Dalam proses
seleksi, umumnya para kandidat komisioner OJK telah menyadari hal ini dan
berjanji untuk menata ulang agar lebih ramping, gesit, dan efisien.
Keempat, komposisi pengeluaran OJK yang mencapai 80 persen
untuk remunerasi dan sewa gedung menyisakan 20 persen untuk pengawasan. Ini
merupakan rasio yang tidak ideal. Semestinya biaya operasional lebih tinggi
agar dapat meningkatkan kualitas pengawasan di tengah dinamika sektor
finansial yang kian tinggi dan kompleks.
Kelima, dari sisi substansi, OJK sebenarnya mempunyai
pekerjaan rumah lama (warisan dari era Bank Indonesia, yang dulu berupa
”arsitektur perbankan Indonesia”), yang tak kunjung bisa dilakukan dengan
signifikan, yakni konsolidasi atau perampingan jumlah bank. Jumlah bank yang
kini masih 116 bank—meski sudah turun dari 250 bank pada saat krisis
1998—masih terlalu banyak dan tidak efisien.
Dalam industri perbankan, tidak berlaku adagium small is
beautiful, tetapi yang relevan adalah size does matter. Artinya, dari 116
bank umum yang ada, sesungguhnya yang benar-benar efisien hanya sekitar 20
bank. Selebihnya, hampir 100 bank lain, kesulitan bersaing menghadapi
bank-bank besar. Kini, semua bank dituntut memiliki modal besar agar bisa
memitigasi risiko dengan baik. Kita tahu, krisis ekonomi dan perbankan akan
senantiasa mengintai di kemudian hari. Yang kita tidak ketahui adalah kapan
dan bagaimana asal mula krisis itu terjadi serta seberapa besar ukuran krisis
tersebut.
Oleh karena itu, bank-bank harus melakukan antisipasi
dengan baik untuk menghadapi setiap krisis, tidak peduli skalanya kecil
(krisis mini) ataukah krisis besar (resesi dan bahkan depresi). Dalam
krisis-krisis sebelumnya, otoritas moneter-perbankan dan pemerintah
memberikan talangan sementara (bail-out), juga suntikan modal dan mengambil
alih kepemilikan (rekapitalisasi). Namun, pada masa mendatang, strategi ini
akan diubah menjadi bail-in, yakni pemilik atau investor harus menyuntik
sendiri modal untuk menyelamatkan banknya. Oleh karena itu, diperlukan
bank-bank bermodal besar agar bisa menghadapi krisis dengan baik.
Terlalu banyaknya jumlah bank kecil juga menyulitkan upaya
penurunan suku bunga. Bank-bank kecil terpaksa melakukan ”perang harga” atau
menaikkan suku bunga deposito untuk merayu nasabahnya agar dana pihak ketiga
tidak tersedot ke 20 bank terbesar yang memiliki reputasi, kapasitas, dan
jaringan cabang yang luas.
Di lingkup Asia Tenggara, berdasarkan data aset 2016, bank
terbesar kita, Bank Mandiri, hanya berada pada peringkat ke-10, jauh tercecer
dibandingkan tiga besar bank Singapura, yakni DBS, OCBC, dan UOB. BRI berada
pada peringkat ke-11, BCA ke-15, dan BNI ke-19. Kalau saja empat bank BUMN
itu dimerger (bukan cuma dibentuk holding company), akan lahir sebuah bank
besar dengan aset 205 miliar dollar AS. Ini akan menempatkannya ke peringkat
keempat ASEAN, mengungguli Maybank (164 miliar dollar AS), CIMB (108 miliar
dollar AS), serta Bangkok Bank dan Public Bank Bhd (84 miliar dollar AS),
tetapi masih di bawah DBS (332 miliar dollar AS), OCBC (283 miliar dollar
AS), dan UOB (235 miliar dollar AS).
Tugas OJK adalah meyakinkan bank-bank swasta untuk segera
melakukan merger dengan berbagai skema insentif serta meyakinkan Presiden
Joko Widodo untuk menyetujui ide merger bank-bank BUMN.
Tentu masih ada lagi isu-isu krusial lain, misalnya soal
harmonisasi koordinasi mikro-makro yang mesti dilakukan OJK dengan Bank
Indonesia (BI). OJK sebagai pengawal mikroprudensial memiliki banyak irisan
dengan BI yang mengawal makroprudensial. Dalam praktik, egoisme sektoral acap
kali muncul dari irisan ini. Tim manajemen OJK yang baru dan segar diharapkan
dapat mengikisnya. Tentu ini tidak mudah, tetapi Wimboh Santoso dan timnya
harus bisa melakukannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar