Bangkit
dengan Inovasi
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri Semarang
|
KOMPAS, 19 Juni 2017
Perubahan cara hidup manusia selalu dipengaruhi oleh
temuan teknologi. Inovasi mengantar umat manusia merambah kehidupan baru yang
belum pernah dibayangkannya. Fakta
demikian membuat inovasi tak bisa diabaikan jika sebuah komunitas bangsa
ingin bangkit meraih kemajuan.
Catatan sejarah menunjukkan, teknologi menjadi hulu
perubahan peradaban. Abad informasi dimulai dengan penemuan mesin cetak oleh
Guttenberg. Abad industri dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt.
Internet dan kemudian media sosial hadir kemudian dan mengubah cara manusia
terhubung satu sama lain ke tahap yang benar-benar baru.
Ekonom Jerman, Klaus Schwab (2016), menyebut masyarakat
dunia sedang berada di ambang revolusi industri keempat. Era ini ditandai
dengan berkembangnya teknologi nano dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Bahkan,
lebih jauh lagi, umat manusia sedang bersiap memasuki era genetic editing.
Ketiga hal itu akan membuat kehidupan manusia benar-benar memasuki fase baru
yang penuh kejutan.
Gejala itu tidak mungkin dihindari oleh bangsa Indonesia
sebagai anggota komunitas dunia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu
mempersiapkan diri menjadi pemain aktif yang turut menentukan arah
perkembangan teknologi. Salah satunya, dengan memperkuat riset di berbagai
bidang kehidupan agar melahirkan aneka inovasi.
Peta jalan (roadmap) riset telah dikembangkan oleh
pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan
diterbitkannya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045. Rencana jangka
panjang itu digunakan agar riset berkembang terarah untuk memperkuat
pembangunan nasional yang bermuara terhadap kesejahteraan rakyat dan
menguatnya posisi Indonesia dalam masyarakat dunia. Riset didudukkan sebagai
sarana meningkatkan daya saing bangsa.
"Daya saing" menjadi topik yang menarik karena
dunia berkembang menuju arah yang lebih kompetitif. Di satu sisi, integrasi
dan kerja sama kawasan membuat hubungan antarbangsa menjadi relatif mudah.
Akan tetapi, di sisi lain, bangsa satu dengan bangsa lain harus siap
berkompetisi secara head to head. Karena itulah pengelolaan riset dalam
kerangka penguatan daya saing nasional menjadi sangat relevan.
Secara umum, Indonesia memiliki keuntungan alamiah yang
membuatnya berpeluang menjadi bangsa dengan daya saing kuat. Selain bonus
demografi, ekonomi Indonesia menguat menjadi salah satu kekuatan ekonomi
besar di dunia. Namun, kedua keuntungan itu akan kurang bermakna jika tidak
diiringi dengan tradisi inovasi yang baik. Alih-alih menjadi kekuatan
kompetitif, bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi justru bisa membuat
Indonesia hanya menjadi pasar produk dunia.
Sebaliknya, jika keuntungan alamiah itu didukung oleh
tradisi riset dan inovasi yang baik, bangsa Indonesia "menunggu
waktu" untuk segera menjadi pilar utama kekuatan ekonomi dunia.
Modal demografi akan membawa kita menyaingi China, Amerika
Serikat, dan India yang saat ini tampil dominan. Ketiga negara besar itu
tumbuh, antara lain, karena berhasil memadukan jumlah penduduk dengan
kemajuan teknologi.
Tantangan dan modal
Tentu saja, untuk membangun tradisi inovasi ada sejumlah
persoalan yang mesti diatasi dari pangkalnya. Sebab, riset tidak hanya
berkaitan dengan ilmu pengetahuan, infrastruktur, dan keuangan. Variabel
kebudayaan, sosiologis, dan mentalitas juga memiliki pengaruh yang besar.
Ketiga hal itu bahkan kerap lebih sulit
diatasi karena kompleks dan bersifat irreversible.
Masalah kultur, misalnya, menjadi penyebab rendahnya
publikasi ilmiah Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indeks SCImago
pada kurun 1996-2014 menunjukkan, indeks publikasi Indonesia berada di
tingkat 57 dunia. Di tingkat ASEAN, Indonesia kalah dengan Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Meskipun
mengalami kenaikan, publikasi ilmiah masih tetap berada di bawah tiga negara
tetangga tersebut.
Kondisi ini berkorelasi dengan stagnasi jumlah paten
Indonesia di pasar internasional. Hingga tahun 2015, paten Indonesia yang
terdaftar pada Kantor Paten Amerika hanya 312 paten (Sumber: dokumen RIRN).
Dari tahun ke tahun, trennya masih tetap. Padahal, negara-negara lain
(khususnya Singapura) mengalami kenaikan yang progresif.
Faktor kebudayaan itu berjalin kelindan dengan faktor
sosiologis dan mental. Lazimnya orang Indonesia meyakini bahwa sumber daya
alam yang dimiliki demikian melimpah. Keyakinan ini diwariskan dari generasi
ke generasi, baik melalui pendidikan formal maupun cerita lisan.
Akibatnya, muncul perasaan "nyaman" karena
merasa bisa bertumpu pada eksplorasi kekayaan alam. Padahal, beberapa sektor
sumber daya alam telah mengalami overeksplorasi dan terancam habis.
Cara pandang demikian perlu diubah agar cara kita
memanfaatkan sumber daya alam secara lebih efisien, salah satunya dengan
membangun tradisi inovasi. Selain itu, kita juga perlu serius mengembangkan
bidang ekonomi baru yang berbasis pada ide dan kreativitas. Bidang kreatif
itu memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa harus mengeksploitasi kekayaan
alam.
Belajar dari beberapa negara maju, Indonesia perlu
mengoptimalkan tiga modal besar yang dimiliki, yaitu sumber daya manusia,
anggaran, dan iklim. Di Jepang dan Korea Selatan, sumber daya manusia menjadi
modal yang sangat berpengaruh.
Kedua negara ini berinvestasi secara besar-besaran agar
dapat memiliki ahli iptek dalam jumlah besar dan dengan kemampuan mumpuni.
Diperkirakan, total tenaga peneliti yang dimiliki Korea Selatan mencapai
angka 400.000 pada 2016. Angka ini setara dengan 8.000 peneliti per sejuta
penduduk. Adapun di Indonesia baru memiliki 1.071 peneliti per sejuta
penduduk. Itu pun jika semua dosen diasumsikan sebagai peneliti aktif.
Namun, Indonesia tidak semestinya inferior. Sebab, investasi
Indonesia melalui dana pendidikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
akan segera melahirkan generasi intelektual baru yang sebagian akan berkiprah
sebagai ilmuwan.
Pada saat yang sama, skema beasiswa bagi mahasiswa miskin
berprestasi (bidikmisi) juga akan melahirkan generasi pemikir baru. Modal ini
perlu dipelihara agar dapat menopang ketercapaian rencana induk riset
nasional.
Modal lainnya adalah anggaran. Pada era ekonomi berbasis
pengetahuan, anggaran yang dimiliki negara perlu dialokasikan dalam investasi
riset. Langkah ini perlu dilakukan karena telah terbukti adanya relevansi
antara kemajuan ekonomi dengan investasi dalam bidang penelitian yang
disalurkan melalui Gross Expenditure on Research and Development (GERD).
Negara-negara yang memiliki GERD besar memiliki peluang
lebih besar bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Peran perguruan tinggi
Kebangkitan nasional yang berbasis inovasi hanya mungkin
terjadi jika perguruan tinggi memberi kontribusi. Sebab, tenaga peneliti
produktif Indonesia memang lebih banyak yang berbasis di perguruan tinggi.
Para dosen adalah peneliti produktif di berbagai bidang ilmu.
Agar tradisi riset terus berkembang, peran perguruan
tinggi tidak boleh diabaikan. Bahkan, tren menunjukkan, perguruan tinggi menjadi
pemain terdepan.
Bagi perguruan tinggi riset adalah bagian integral dari
kewajiban sosial yang terhimpun dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Artinya,
riset memiliki relevansi yang sangat tinggi terhadap pendidikan dan
pengabdian kepada masyarakat.
Di sinilah keunggulan riset perguruan tinggi dapat kita
temukan. Selain berbasis kepada kebutuhan industri, riset perguruan tinggi
berorientasi pada pendidikan dan kebutuhan riil masyarakat. Karakter itu akan
memberi warna yang khas dan dapat berkontribusi secara riil terhadap kemajuan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar