Ramadhan
dalam Siklus Perekonomian
A Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 05 Juni 2017
Memasuki bulan suci Ramadhan ini, paling tidak ada dua
berita baik. Pertama, predikat layak investasi oleh Standard & Poor’s pada pertengahan Mei lalu. Kedua,
peningkatan daya saing global dari 48 menjadi 42 oleh IMD World Competitiveness Center pada akhir bulan. Keduanya tak
serta-merta membuat perekonomian bangkit karena dampaknya bersifat jangka
panjang.
Sementara itu, dalam jangka pendek ini, ada tantangan
kenaikan harga pada bulan Ramadhan dan Lebaran nanti. Badan Pusat Statistik
mencatat, inflasi bulanan Mei sebesar 0,39 persen sehingga inflasi tahunan
sudah mencapai 4,33 persen. Bisa dipastikan, inflasi sepanjang 2017 melebihi
inflasi 2016 (hanya sekitar 3,5 persen). Meski demikian, jika dibandingkan
dengan dampak Ramadhan dan Lebaran periode sebelumnya, tahun ini relatif
baik.
Upaya pemerintah menangani distribusi bahan pokok pangan,
disparitas harga, dan sistem logistik terlihat mulai menunjukkan hasil.
Dengan demikian, tekanan harga bukanlah persoalan penting dalam perekonomian
kita. Lalu apa isu utamanya?
Pelambatan konsumsi domestik tampaknya menjadi persoalan
penting. Selama ini, konsumsi domestik selalu memainkan peran penting dalam
perekonomian. Tahun lalu, proporsi konsumsi domestik mencapai 55 persen
terhadap produk domestik bruto. Akibatnya, apabila permintaan domestik
melambat, dampaknya pada perekonomian akan terasa.
Salah satu indikator permintaan domestik adalah penjualan
produk eceran. Riset Nielsen yang dirilis pada Maret lalu menunjukkan, pada
triwulan I-2017, pertumbuhan penjualan produk ritel hanya 3,9 persen atau
terendah dalam satu dekade terakhir. Dibandingkan dengan triwulan I-2016 yang
pertumbuhannya mencapai 11,3 persen, telah terjadi penurunan drastis.
Sepanjang 2016, sektor ritel masih tumbuh moderat sebesar 7,7 persen.
Pada triwulan I-2017, produk makanan tumbuh sebesar 4,7
persen, sementara produk nonmakanan hanya 2,2 persen. Secara lebih rinci,
volume penjualan mi instan turun 3,4 persen, kopi turun 0,6 persen, dan teh
turun 10,5 persen. Kalaupun nilai penjualannya masih positif, itu akibat
kenaikan harga yang relatif tinggi. Nilai penjualan kopi, misalnya, masih
tumbuh 7 persen karena kenaikan harga rata-rata sebesar 8,8 persen.
Dari kelompok nonmakanan, hampir semua produk, baik volume
maupun nilainya, sudah negatif, mulai dari sabun mandi, sampo, detergen,
pasta gigi, hingga pelembut kulit. Pelambatan penjualan produk tak hanya
terjadi di pasar modern yang pada triwulan I tahun ini hanya tumbuh 3,7
persen, tetapi juga menimpa pasar tradisional yang hanya tumbuh 4,1 persen.
Bahkan, untuk kelompok supermarket, tingkat penjualannya sudah negatif 0,7
persen.
Pelambatan produk eceran ini disebabkan oleh turunnya
tingkat pendapatan masyarakat. Penurunan konsumsi domestik memang sudah
diprediksi akibat penurunan siklus perekonomian domestik yang terjadi selama
beberapa tahun terakhir. Konsumsi biasanya melambat paling akhir setelah
ekspor dan investasi. Ketika pemulihan ekonomi sudah mulai terjadi, konsumsi
juga paling lambat bereaksi. Jeda waktunya juga selalu paling lama jika
dibandingkan sektor lain.
Momentum positif
Ramadhan tahun ini bisa menjadi momentum positif dalam
mempercepat pemulihan perekonomian, khususnya dari sisi permintaan domestik.
Sejak terjadi peningkatan harga komoditas akhir tahun lalu, beberapa daerah
penghasil komoditas ekspor sudah mulai menggeliat. Demikian juga beberapa
daerah yang terkena dampak langsung pembangunan infrastruktur, khususnya di
luar Jawa. Mendorong siklus pertumbuhan memang tak semudah membalik telapak
tangan. Namun, kebijakan yang konsisten akan mendorong perbaikan secara
sistematis.
Pembangunan berbagai infrastruktur di luar Jawa, seperti
Trans-Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, membutuhkan waktu cukup
panjang, selain anggaran yang besar. Namun, begitu jadi, infrastruktur akan
mendorong investasi dan aktivitas bisnis. Hal ini akan menyebabkan permintaan
konsumsi domestik merangkak naik secara lebih merata.
Bagi sektor ritel, persoalannya adalah membangun sistem
logistik yang bisa menembus hingga ke daerah. Pada era digital seperti
sekarang ini, tak sulit merancang sistem distribusi hingga ke pelosok
sehingga sektor ritel tetap bisa memanfaatkan ceruk pasar yang selama ini tak
terjangkau.
Ramadhan tahun ini amat menentukan karena mulai terjadi
perbaikan siklus, khususnya konsumsi domestik. Karena itu, momentumnya harus
dijaga. Jangan sampai pemulihan siklus konsumsi domestik yang sudah mulai
merangkak naik ini kembali melorot akibat kegaduhan politik yang terus
terjadi. Apalagi jika kegaduhan politik itu sampai meletup menjadi kekisruhan
yang merusak rasa aman, momentum perbaikan akan terancam tak berlanjut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar