Kompleksitas
Amnesti TKI di Arab
Sali Susiana ; Peneliti Utama pada Pusat Penelitian, Badan
Keahlian DPR
|
KOMPAS, 05 Juni 2017
Pada 26 April 2017, Tim Pengawas DPR terhadap Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia memaparkan kinerja mereka dan menyampaikan progress
report revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri, terkait TKI sektor informal kita di Arab
Saudi.
Anggota Tim Pengawas TKI, Rieke Diah Pitaloka,
menyampaikan bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi saat ini sedang
memberlakukan kembali kebijakan amnesti (pengampunan) yang berlangsung selama
90 hari (29 Maret-26 Juni 2017) kepada WNI yang melewati masa izin tinggal
(overstay) untuk menyerahkan diri secara sukarela dan mengurus kepulangan
atas biaya sendiri. Apabila mengikuti program pengampunan ini, mereka tidak
akan dikenai denda dan tidak akan dilarang masuk kembali dengan visa baru.
Ada tiga langkah yang perlu dilakukan TKI yang tak
terdaftar untuk dapat amnesti: (1) mendapatkan salinan data keimigrasian dari
Kantor Imigrasi Arab Saudi; (2) mengurus surat perjalanan laksana paspor
(SPLP) di KBRI atau KJRI; dan (3) mengurus visa atau izin keluar dari
Pemerintah Arab Saudi.
Bagi TKI yang tidak memiliki dokumen, mereka harus membuat
print out paspor di Kantor Imigrasi Arab Saudi terlebih dulu. Atas dasar data
itu, KBRI kemudian membuat SPLP. TKI overstay, yang biasanya tidak terdaftar,
pada umumnya tak punya dokumen karena dokumen ditahan oleh majikan lama
setelah berganti majikan atau kabur dari majikan sebelumnya.
Ada enam kriteria overstayer yang dapat mengikuti amnesti:
(1) jemaah haji/umrah yang tetap berada di Arab Saudi setelah masa berlaku
visanya habis; (2) haji tanpa surat izin haji; (3) orang yang masuk ke Arab
Saudi melalui perbatasan tanpa melalui pemeriksaan/lolos pemeriksaan; (4)
iqamah (surat izin tinggal/ permit) sudah habis; (5) kerja kepada
majikan/perusahaan yang tidak dibuatkan surat izin; dan (6) mereka yang sudah
dilaporkan kabur oleh majikan sebelumnya.
Amnesti saat moratorium?
Kebijakan amnesti yang diberikan kepada TKI ini bukanlah
yang pertama kali. Pada 2013, Pemerintah Arab Saudi juga memberikan amnesti
bagi TKI yang tidak terdaftar untuk memperpanjang izin tinggal dan kerja.
Namun, amnesti tahun 2017 ini berbeda karena hanya memberikan ”pengampunan”
untuk keluar dari negara tersebut tanpa harus masuk daftar hitam dan tidak
dilarang masuk kembali dengan visa baru.
Meski jumlah TKI yang akan mengikuti amnesti ini
diprediksi lebih sedikit daripada 2013, karena amnesti yang diberikan hanya
untuk keluar dari negara itu, tidak tertutup kemungkinan tetap akan ada
ribuan TKI yang memanfaatkan kebijakan ini. Terlebih jika mengingat TKI di
Arab Saudi selama ini relatif lebih sulit ”keluar” dari negara itu ketimbang TKI
di negara lain. Jumlah itu akan membengkak jika kemudian ditambah TKI yang
pada 2013 gagal memanfaatkan amnesti karena berbagai sebab.
Dari sekitar 105.000 TKI overstayer yang tercatat pada
2013, yang berhasil pulang ke Tanah Air hanya 31.500 orang atau sekitar 30
persen dari total TKI overstayer. Jumlah ini tidak proporsionaljika
dibandingkan jumlah WNI yang telah diberikan dokumen oleh KBRI Riyadh dan
KJRI Jeddah yang berjumlah 101.067 orang. Data Kementerian Luar Negeri
menunjukkan, 17.259 orang pada saat itu telah mengurus perbaikan status untuk
bekerja di Arab Saudi dan sekitar 6.000 WNI yang telah mendapatkan exit
permit untuk kembali ke Tanah Air.
Jika dicermati, suatu hal yang aneh jika TKI berstatus
overstayer di Arab Saudi masih tetap banyak, sementara penempatan TKI sektor
informal ke negara ini sebenarnya telah dihentikan sementara sejak 2011,
tepatnya mulai 1 Agustus. Moratorium tersebut diambil oleh pemerintah setelah
banyaknya kasus yang menimpa TKI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga
(PRT) di negara tersebut. Kasus terakhir yang banyak diberitakan oleh media
massa pada saat itu adalah eksekusi hukuman mati terhadap Ruyati, TKI asal
Bekasi, yang terpaksa membunuh majikannya untuk mempertahankan diri.
Pertanyaannya kemudian, mengapa setelah hampir enam tahun moratorium
diberlakukan, Pemerintah Arab Saudi kembali menerapkan kebijakan amnesti
untuk TKI?
Jawaban pertanyaan itu sebagian ada pada enam kriteria
overstayer yang dapat mengikuti amnesti yang telah disampaikan pada awal
tulisan ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan KJRI di Jeddah pada saat
kunjungan kerja TimKhusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi tahun
2011 (yang pada saat itu dibentuk salah satunya untuk menyelesaikan masalah
TKI yang telantar di Arab Saudi), WNI/TKI overstayer yang berada di Arab
Saudi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori.
Pertama, TKI resmi yang melarikan diri dari majikan (70
persen). Kedua, eks jemaah umrah yang bekerja secara ilegal (28 persen).
Ketiga, WNI yang masuk dengan visa kunjungan dan bekerja secara ilegal.
Keempat, WNI yang masuk dengan calling visa langsung dari majikan warga
negara Arab Saudi dan tidak melalui PPTKIS/PPTKAS, kemudian melarikan diri
dari majikan. Kelima, WNI yang masuk dengan calling visa sebagai pengemudi
tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk belajar, tetapi kemudian majikan tidak
bersedia memperpanjang iqamah/izin tinggal.
Setelah moratorium untuk TKI sektor informal diberlakukan,
tampaknya terjadi perubahan modus keberangkatan TKI ke Arab Saudi. Banyak TKI
yang masuk ke negara tersebut dengan menggunakan visa ziarah (umrah). Jadi,
jika pada 2011 saja ada sekitar 28 persen TKI overstayer yang berasal dari
eks jemaah umrah, maka dapat diprediksi bahwa persentase ini semakin
meningkat tajam setelah moratorium.
Tidak heran jika kemudian dua di antara enam kriteria TKI
yang boleh mengikuti amnesti adalah: (1) jemaah haji/umrah yang tetap berada
di Arab Saudi setelah masa berlaku visanya habis dan (2) haji tanpa surat
izin haji. Hal ini tidak lepas dari motivasi para TKI untuk bekerja di Arab
Saudi, yang selain ingin bekerja mendapatkan penghasilan uang juga karena
ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Pengetatan mekanisme
Harus diakui, permasalahan overstay para TKI di Arab Saudi
seolah jadi permasalahan klasik. Pada 2011, misalnya, pemerintah bahkan harus
mengerahkan kapal milik PT Pelni untuk memulangkan TKI overstayer yang
jumlahnya mencapai ribuan. TKI yang berstatus overstay juga pernah
dipulangkan dengan pesawat Garuda yang kembali ke Tanah Air setelah
mengangkut jemaah haji. Meski demikian, sampai saat ini masalah itu kembali
terjadi dan tak kunjung selesai.
Moratorium seolah tak berdampak apa pun karena TKI yang
bekerja di Arab Saudi tetap saja banyak. Bahkan, diprediksi jumlah TKI yang
berangkat secara ilegal ataupun yang tidak berdokumen semakin banyak setelah
moratorium diberlakukan.
Terkait dengan banyaknya TKI yang menggunakan visa umrah,
solusi yang diusulkanoleh KJRI di Jeddah tahun 2011 tampaknya masih relevan.
Pertama, membentuk mekanisme pemantauan dan pengontrolan terhadap jemaah
umrah. Mekanisme tersebut harus dapat memastikan jumlah jemaah yang berangkat
sama dengan yang pulang. Kedua, mengajukan kepada Pemerintah Arab Saudi agar
menerapkan sistem muasasah dalam pelaksanaan umrah. Ketiga, meminta Kedutaan
Besar Arab Saudi di Jakarta memberikan visa umrah atas rekomendasi dari
Kementerian Agama (melalui travel biro yang telah diakreditasi oleh
Kementerian Agama).
Sebagai catatan, saat ini masalah umrahtidak termasuk ke
dalam pelayanan di Kementerian Agama. Sifatnya baru sebatas pembinaan. Yang
sekarang ada adalah Direktorat Pelayanan Haji dan Pembinaan Haji sehingga
tidak menjangkau jemaah umrah. Dalam kaitan ini, DPR melalui Timwas TKI dapat
mendorong, bahkan mendesak, Kementerian Agama agar mengambil peran lebih
besar dalam penanganan ibadah umrah. Hal ini penting mengingat penyalahgunaan
visa umrah jadi salah satu sumber masalah tingginya TKI overstayer di Arab
Saudi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar